7. First Kiss

1025 Kata
"Jika aku punya seratus anak kandung seperti kakakmu, aku rela menukarnya demi satu anak angkat sepertimu..." ─Anta─ *** Anta melirik Ayana, menenggak minumannya, lalu tersenyum kecil. Anta tidak berniat datang ke klab, karena ini bukan kebiasaan baik. Dia bukan dari golongan atas yang hedonis dengan menghambur-hamburkan uang. Dia tipe yang sangat hemat, malah dikesankan pelit. Tapi hari ini berbeda. Ada kecelakaan kontruksi di perusahaan abang iparnya, dan perusahaan justru menuntut abang iparnya dengan sejumlah dana untuk mengobati kontraktor yang terluka, bahkan disuruh mengganti biaya produksi. Anta yang memiliki sedikit tabungan dari kerja paruh waktu pun terpaksa membantu untuk mengurangi beban kedua orangtuanya. Terkadang, dia benci keluarganya yang miskin. Sialnya, kedua kakak kembarnya malah memilih orang miskin pula sebagai pasangan hidup. Hanya sedikit uang yang tersisa di saku Anta saat ini. Karena kesal jeri payahnya lenyap bukan untuk kepentingannya, dia memutuskan menghabiskan sisa uang dengan mentraktir teman-temannya di klab ini. Anta pun melihat Ayana. Stelan pakaian gadis itu dari merk terkenal. Sepatu, tas dan jam tangannya juga kualitas tinggi. Dari aura dan cara bicara gadis itu, Anta bisa yakin kalau dia berasal dari keluarga kaya. Dia sering berganti pacar dari satu gadis ke gadis lainnya, dan dari kelas bawah sampai kelas atas. Jadi, dia sangat memahami aura para gadis. Rian, teman di seberang Anta nyeletuk begini, "Anta, kau sudah sering berganti-ganti pacar, kan? Apa nggak bisa memberikan satu untukku?" Anta tertawa saja. Rian kembali berkata, "Sudah berapa banyak uang yang kau dapat dari mantan-mantan pacarmu yang kaya itu? Ajari kita, lah, caranya." "Kau seperti kekurangan uang saja," kata teman di sebelah Anta, Rendi namanya. Anta tidak senang dengan ucapan Rian. Dia bergonta-ganti pacar karena mudah bosan dengan mereka. Dia pacaran untuk menghilangkan stres akibat kemiskinan keluarganya, bukan untuk memoroti gadis-gadis kaya itu. Dia juga punya harga diri sebagai seorang pria! Ini bukan pertama kali Anta mendengar cemoohan seperti itu, dan dia selalu berhasil menutupi kekesalannya dengan tersenyum, tapi hari ini berbeda. Dia sedang dalam kondisi terburuknya. Menyadari perubahan ekspresi Anta, Rendi mengalihkan pembicaraan ke Ayana lagi. "Hei, lihat, dia sudah mabuk. Ini pertama kali aku melihatnya mabuk." Rian membalas, "Ini kesempatan bagus. Ada motel di dekat sini." Rendi tertawa. "Boleh juga idemu. Masalahnya, siapa yang akan membawanya?" Teman di pojok yang sedari tadi diam, yakni Rasya, kedua tertampan di geng setelah Anta, buka suara, "Kalian ingin mencobanya secara bergiliran? Cckckck... sungguh tercela!" Rian dan Rendi tertawa. Rian lalu merangkul bahu Rasya, "Nggak mau gabung?" "Enak aja! Ada barang bagus harus dibagi." Ketiganya tertawa. "Kau ikut, Anta? Meski mungkin kau sudah sering melakukannya dengan pacarmu, tapi melakukannya bersama teman akan menimbulkan sensasi yang sedikit berbeda." Rasya tertawa. "Benar. Kita bisa taruhan, teknik siapa yang lebih baik." Ketiganya kembali tertawa. Anta menenggak minumannya, memandang ketiganya bergantian. Kenapa aku harus berteman dengan pecundang seperti mereka? Ah, ya, karena uang! "Menjijikkan!" seru Anta, yang sebenarnya mengutuk dirinya sendiri karena mau-maunya berteman dengan tiga keturunan keluarga kaya ini hanya demi uang mereka. Ya, dibandingkan dengan memoroti para pacarnya, Anta lebih suka membantu tiga temannya menghamburkan uang jajan mereka. Rian kesal. "Kau lebih menjijikkan, Gigolo! Nggak usah munafik! Katakan saja, sudah berapa banyak Tante girang yang tidur denganmu, hah?" Anta melirik tajam Rian. "Tarik kembali ucapanmu!" Rendi melerai. "Rian, jangan begitu dengan Anta. Baiklah, Anta, kalau kau nggak mau ikut, nggak apa-apa. Jangan bertengkar. Juga jangan menganggu." Anta melirik Rendi. "Aku akan membawanya." Kemarahan Rian sedikit menguap, tapi dia masih berkata sinis, "Dasar munafik!" "Rian!" bentak Rendi. "Jangan begitu." Anta mengabaikan mereka, sudah berdiri, dan menuju tempat Ayana. "Masih boleh taruhan?" tanya seorang pria, yang langsung duduk di tempat bekas si bapak. Ayana menyipitkan mata, mencoba melihat wajah tampan di depannya. Dia mengamati dari ujung kepala Anta sampai kaki. Mulai menilai harga jaket kulit hitam di badan pria ini, dan sneakers lusuh biru tuanya. Bukan orang kaya, tapi ganteng! Ayana tersenyum, menopang dagu. "Boleh saja. Tapi aku sudah menang banyak hari ini. Kalau taruhanmu nggak menarik, aku akan menolak." Anta mengambil botol minuman dari tangan Billy, lalu menuangkan ke gelas Ayana yang sudah kosong, menuang pula ke gelasnya. Dia memegang gelas Ayana, memberikan secara langsung kepada gadis itu untuk sedikit merasakan lembut kulitnya, dalam rangka menggoda. Anta mengangkat gelasnya, lalu menyenggolkan pelan ke gelas gadis itu. Ting! Anta menyeringai ketika Ayana menenggak minuman dengan kening mengernyit. Gadis itu sudah tidak bisa melanjutkan lagi, tapi bersikeras minum, dan bertanya, "Apa taruhannya?" Anta lebih mendekat ke Ayana, sampai tahap dia bisa melihat lentiknya bulu mata gadis itu, dan t**i lalat kecil di pipi kirinya. Dia kemudian berbisik, "Aku mempertaruhkan hidupku." Ayana tertawa terbahak-bahak. Jantung Anta berdebar cepat. Dia sudah sering melihat gadis cantik dan seksi, dan banyak yang lebih cantik dari Ayana, tapi tawa ini, menggetarkan hatinya. Ada sesuatu yang salah dengan tawa Ayana. Tawa itu menular, menyebarkan aura positif ke sekitar. Dalam sekejap, beban di pundak Anta seolah hilang terbawa tawa Ayana. Anehnya, dia ikut tertawa kecil bersama gadis itu. Rekan-rekan Anta geleng-geleng kepala melihat pria itu. "Nggak salah gelar playboy-nya," celetuk Rasya. Ayana melipat tangan di meja, lebih mendekat ke Anta, mendahului tersenyum sebelum berkata, "Apakah hidupmu sangat berharga bagiku? Berapa nilainya kalau kujual? Aku butuh uang, bukan hidup seseorang." Anta bagai dituang seember air dingin, tapi tidak menyerah. Dia menelan ludah, memberanikan dirinya berkata, "Aku bisa melakukan apapun untukmu. Memanjakanmu, menemanimu ke mana pun kamu pergi, dan memberikan seluruh perhatianku hanya untukmu. Perlakukan aku seperti pelayanmu." Ayana diam, sekitarnya mulai berputar-putar, dan suara Anta tidak jelas terdengar. Anta mengernyit dengan reaksi diam Ayana. Dia melanjutkan aksi dengan mengelus bekas tamparan di pipi Ayana, kemudian bertanya dengan sangat lembut, "Apa ini nggak sakit? Kenapa kamu mengabaikannya, bukan mengobati?" Ayana tertegun sejenak, mengingat-ingat kapan terakhir kali ada yang bertanya apakah dia sakit. Ah, ya, dia ingat. Itu saat dia jatuh dari sepeda pada usia tujuh tahun. Rasti yang bertanya. Sudah sangat lama tidak ada yang menanyakan keadaannya. Yah, dengan perangai Ayana yang galak, dan pemarah itu, siapa yang berani bertanya? Lagipula, orang-orang selalu melihatnya sebagai gadis tangguh. Mereka lupa kalau dia juga bisa merasakan sakit. Kehangatan tangan Anta sangat nyaman, tapi juga segera menyentaknya ke kenyataan. Dia menepis kuat tangan itu. "Jangan lancang, Tuan. Saya bukan w************n yang bisa disentuh sembarangan." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN