First Kiss (2)

934 Kata
"Jangan lancang, Tuan. Saya bukan w************n yang bisa disentuh sembarangan." Ayana buru-buru memasukkan hasil kemenangannya ke tas, tak lupa meletakkan lima lembar uang merah ke meja bar untuk Billy, lalu berjalan terhuyung ke luar klab. Pikiran Ayana dipenuhi pertanyaan, "Apa ini nggak sakit?" Anta memerhatikan gadis itu, ada perasaan tidak rela ketika berpisah. Dia pun mengikuti Ayana keluar dari klab. Ayana mabuk, dan meracau di jalan. Pertama, dia melepas sneakersnya, melemparkan ke udara kosong, lalu berteriak, "Aku mau jurusan broadcasting, lalu apa? Menentangku?" Anta pertama terkejut melihat tingkahnya, lalu tersenyum saat Ayana bilang, "Aku cantik, kaya, dan suaraku seksi. Kalian nggak tahu, kan, ada berapa juta orang yang memujiku di luar sana dan iri kepadaku? Suaraku ini bisa mengubah dunia! Kalian harusnya bangga punya putri sepertiku!" Ayana terus mengomeli udara kosong, kini dia terduduk di aspal, bibirnya merengut. "Aku juga ingin diperhatikan seperti kakak." Anta menghela napas, mendekat. "Hei, di sini dingin. Ayo, aku antar kamu pulang." Ayana seolah tidak mendengar atau melihat Anta, dia terus mengeluh, mengeluarkan unek-uneknya. "Aku nggak sepintar kakak, tapi aku bisa belajar... Aku nggak bisa terlihat sakit dan lemah kayak kakak, bukan berarti aku nggak ingin diperhatikan. ... Aku nggak bisa sebaik kakak yang selalu taat aturan keluarga, tapi kan aku nggak buat malu keluarga. Bahkan aku menyembunyikan identitasku sebisa mungkin biar nggak ada yang tahu kalau aku cucu kedua seorang Freddy... “Teman sekolah hanya tahu aku anak orang kaya, tapi nggak tahu seberapa kaya aku ini... Aku nggak pernah datang ke pertemuan kalangan elit itu karena khawatir buat malu keluarga, tapi Mom malah bilang aku pembangkang... Aku nggak bisa pakai gaun dan heels kayak kakak, karena itu membuatku sesak napas dan sulit bergerak... Aku cuma mau bernapas dengan baik... Bukankah nggak masalah melakukan semua yang aku suka selama itu nggak mengganggu orang lain? Kenapa begitu banyak larangan hanya untuk bersenang-senang? Kenapa ada begitu banyak larangan yang nggak aku tahu manfaatnya? Kenapa nggak ada yang mau menjelaskan kepadaku?" Anta tertegun sejenak, jongkok di depan gadis itu, memakaikan kembali sepatunya. "Kamu hebat!" Ayana mendongak, akhirnya menatap Anta. Tersenyum, Anta lanjut berkata sambil memakaikan jaketnya ke badan Ayana, "Jika aku punya seratus anak kandung seperti kakakmu, aku rela menukarnya demi satu anak angkat sepertimu." "Apa manusia bisa menghasilkan seratus anak?" Anta tertawa, "Hahaha... Kita berdua bisa, kalau kamu mau." Anta lalu membawa Ayana ala bridal style sementara gadis di pelukannya masih mengoceh tentang manusia yang memiliki seratus anak. Anta membawa Ayana ke motel. Pria di resepsionis memberikan sekotak k****m gambar strawberry sebagai bonus karena mengira pasangan itu akan b******a. Anta tidak ingin kotak itu, tapi Ayana lebih dulu meraihnya dan tampak menyukainya. Anta pasrah saja. Sampai di kamar, Anta meletakkan Ayana di kasur. Gadis itu masih mengagumi kotak di tangannya. "Kamu nggak bilang di mana rumahmu, dan aku juga khawatir keluargamu semakin memarahimu kalau kamu pulang dalam keadaan seperti ini. Aku juga nggak bisa bawa kamu ke rumahku karena keluargaku bisa salah paham. Terpaksa aku membawamu ke sini. Jangan khawatir, aku nggak akan melakukan apapun ke kamu." Anta menghentikan ocehannya saat Ayana malah membuka kotak k****m itu dan mengeluarkan satu dari sana. "Apa yang─" kau lakukan? Ayana memasukkan k****m ke mulutnya, mengunyahnya. "Eh? Kenapa rasa permen ini sedikit aneh?" Anta tertawa terbahak-bahak, sambil memegang perutnya, sampai air matanya keluar. "Ya ampun, gadis ini!" Ayana meludahkan sesuatu di mulutnya, lalu membuang kotak itu. "Permennya nggak enak. Aku harus protes sama cowok jelek itu." Anta menghentikan Ayana yang mencoba bangkit, dan memaksa gadis itu tetap di tempat tidur. "Aku akan memarahinya untukmu. Sekarang, diam di sini dulu. Aku mau cari obat untuk pipimu. Oke?" Ayana tertegun penuh kekaguman saat melihat Anta, lalu meraih wajah pria itu dengan jemari lentiknya. "Kamu sangat tampan." Menarik tengkuk Anta, Ayana langsung mendaratkan ciuman ke bibir pria itu. Anta membeku. Ada berapa banyak gadis yang telah memujinya dan berinisiatif menciumnya lebih dulu? Sangat banyak! Tapi kenapa, saat datang ke Ayana, dia jadi tersipu, kikuk dan bodoh? Ayana merengut setelah kecupan ringannya. "Itu ciuman pertamaku. Kamu mencuri ciuman pertamaku! Kembalikan!" "Hah?" Ayana kembali mengecup bibir Anta, kemudian memarahinya. "Hei, kamu berani menciumku lagi?" Anta tertawa. "Kamu yang menciumku. Lagipula itu bukan ciuman. Begini baru namanya ciuman." Anta pun mulai mencium Ayana dengan lembut. Dimulai dengan mengemut bibir gadis itu bagai mengemut permen, melumatnya perlahan, lalu memaksa memasukkan lidahnya ke mulut Ayana. Tangannya terus menekan tengkuk pihak lain, takut menjauh sedikit saja darinya. Aroma vanila dari leher Ayana membuat sesuatu bangkit dalam diri Anta. Dia hampir lepas kendali membuka pakaian gadis itu andai tidak mendengar erangan pihak lain akibat hampir kehabisan napas. Anta mengakhiri ciuman panjang mereka. Dia sudah sering mencium banyak gadis, dan kesemuanya mampu mengimbangi Anta, tapi gadis amatir nan kaku di depannya adalah yang pertama, yang membuatnya begitu berdebar-debar. Dia ingin melakukannya dengan baik dengan Ayana, ingin mengajarinya perlahan-lahan, dan ingin terus menciumnya tanpa akhir. Dia suka ekspresi puas dan tatapan sayu gadis itu yang seolah menginginkan lebih. Ketika Ayana yang berpenampilan menggoda itu dengan polos berkata, "Itu enak. Lagi!", Anta kehilangan kendali. Dia mendorong Ayana ke kasur, menindihnya. Sekali lagi mencium gadis itu, kali ini sedikit liar, bahkan mencium leher dan mengecup tulang selangka yang indah itu pula. Anta berhasil membuka pakaian Ayana, menyapa setiap inchi kulit mulus gadis itu. Dia semakin semangat saat gadis di bawahnya mengerang tertahan ketika dia memijat lembut dadanya. Anta baru berhenti memberi kecupan di seluruh tubuh Ayana ketika dering ponselnya berbunyi nyaring. Seketika kewarasannya kembali, dan segera dia menjauh. Mengusap wajahnya kasar, lalu duduk di tepi ranjang. Untung adiknya belum benar-benar bangkit, kalau tidak, entah bagaimana nasib Ayana dengan Anta yang juga terpengaruh alkohol. "Apa yang kulakukan?!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN