Save Me 42

1144 Kata
Alfa menyaksikan aku memasukan cincin ke dalam jari manis sebelah kiri. Aku bisa melihat dengan jelas raut wajahnya terpancar kebahagiaan. "Kamu terima lamaran aku?" Alfa terlihat tak percaya. "Gimana jadi? Mau nggak cincinnya aku pakai? Apa Aku lepas lagi aja?" ujarku. "Jangan, Septi! Jangan... aku mau kamu selalu pakai cincin itu! Makasih banyak Ti... makasih banyak!" Aku tak percaya pemuda tampan nan gagah itu meneteskan air mata. "Kamu kenapa, Fa?" aku terheran. Pemuda itu menghapus butiran bening yang sudah terlanjur keluar. "Nggak apa-apa, Septi... aku terharu. Aku bahagia! Aku janji nggak akan nyakitin kamu. Aku akan selalu jaga kamu dengan baik!" "Jangan janji saat kamu sedang bahagia!" "Aku tulus menyayangi kamu, Septi!" "Aku percaya itu, kok! Tapi... keluarga kamu dan kamu sendiri apa nggak keberatan? Aku penyakitan! Nggak akan bisa melakukan hal terbaik secara maksimal untum suami aku kelak." "Aku dan keluarga tahu itu dan kami tidak mempermasalahkan." Aku pun tersenyum. "Makasih banyak, ya, sudah menyayangi aku dengan tulus. Tapi maaf, Alfa... untuk sekarang aku benar-benar tidak ada perasaan sayang dan cinta. Lebih tepatnya mungkin belum ada." "Nggak apa-apa Septi... tandanya kamu sedang berusaha untuk mencintai aku. Makasih banyak, ya." Lima hari kemudian, aku pun diperbolehkan untuk pulang. *** Aku pun memberi kabar pada Rere bahwa aku telah dilamar. Namun, respon pemuda itu benar-benar mengejutkan aku. "Septi, kamu nggak bercada, kan?" tanya Rere di seberang telepon. "Enggak, A. Kenapa emnagnya?" "Siapa yang udah berani lamar kamu?" "Alfarizki, kenal?" tanyaku. "Kakaknya Vino?" "Iya!" "Kenapa sebelum terima lamaran dia nggak bilang dulu sama aku?" Rere terdengar emosional. "Kamu akhir-akhir ini jarang hubungani aku. Bahkan sudah dihubungi." Aku terdiam. "Kenapa emangnya?" tanyaku. "Septi... kenapa kamu buru-buru terima lamaran orang?" "Aku nggak buru-buru. Aku butuh seseorang untuk mendampingi hidup aku. Aku malu, kalau Papa ke Jakarta ke mana-mana selalu pergi sama Mas Irfan. Dia memang masih keluarga. Tapi bukan mahram aku. Malu kalau orang mengira dia pacar aku!" "Tadinya aku mau melamar kamu, Septi!" Aku terkejut mendengar ucapan Rere. "Becanda kamu nggak lucu, A." "Aku nggak lagi ngelawak apa lagi becanda. Aku serius mau lamar kamu jadikan kamu istri aku!" "Terus, kenapa nggak lamar aku dari dulu?" Aku protes. "Karena aku pikir kamu mau nikah itu nanti setelah lulus kuliah. Aku sedang menabung untuk mengimbangi gelar kamu!" Aku terdiam. Aku bingung. Kenapa Rere seserius itu? "Maaf, A... tapi aku udah terima lamaran Alfa. Aku memang berniat ingin menikah setelah lulus. Tapi... kalau ada yang datang melamar. Insya Allah aku siap menikah." Aku benar-benar dibuat dilema oleh Rere dan Alfa. Andai saja teman sebayaku itu datang lebih dulu, jelas aku akan menerima lamaran dia dari lada pemuda yang empat tahun lebih dewasa di ataaku. Namun, ini sudah takdirnya. Aku meminta Alfa untuk datang bersama keluarganya di awal Februari nanti. Selama sebulan itu aku tidak mau ada komunikasi dalam bentuk apa pun dengan Alfa. ***   Setelah 9 bulan penuh merasakan sakit dan harus beberapa kali dirawat, tepat di awal tahun 2017, ketika aku melakukan kontrol kesehatan untuk yang ke sekian kali, dokter menjelaskan tentang keadaanku. "Bu, Alhamdulillah... sekarang ini penyakit yang mematikan di tubuh Septi sudah hilang. Hanya saja... masih butuh pemulihan." Dokter melihatkan beberapa hasil pemeriksaan pada Mama. Lalu, beliau kembali bersuara. "Wajar aja kalau nanti masih merasakan sakit di kepala. Karena, ibarat luka belum kering dan harus benar-benar istirahat dengan total," ujar dokter. Mendengar kalimat tersebut, jelas membuat Mama senang. Aku pun seperti tak percaya. Walau belum sembuh total, setidaknya perjuanganku selama ini melawan penyakit meningitis tidaklah sia-sia. Memang benar, bahwa semua penyakit pasti ada obatnya. Banyak kejadian yang mungkin terlewatkan dan sangat sulit untuk diceritakan. Seperti: ketika muncul benjolan di leher, aku benar-benar depresi dan takut. Mungkin, hal itu juga yang mendorongku untuk bunuh diri. Aku takut karena mengingat almarhum Olga Syahputra yang dulu pernah terdapat benjolan di leher.  Aku juga pernah pingsan di jalan saat tidak ada satu pun keluarga di rumah hingga saat itu mendatangkan banyak tetangga juga kerabat dekat. Serta masih banyak lagi kejadian yang sangat menyedihkan jika kuingat. Setelah mendapat kabar bahagia bahwa aku sudah terbebas dari virus meningitis tersebut, akhirnya kami mengadakan syukuran. Kami mengadakan pengajian, sholawatan dan membaca surat yasin bersama, serta doa tolak bala yang diadakan di rumah setiap seminggu sekali. Setelah sekian lama tak berkabar pada teman-teman remaja masjid dan meninggalkan tanggung jawab sebagai ketua karena terhalang sakit. Aku pun mengundang mereka ke acara syukuran ini. Ketika mereka diundang ke acara syukuran, pertanyaan pertama yang mereka ajukan bukan tentang kesehatan, justru.... "Teh Septi mau nikah?" Sungguh, saat itu jiwa jombloku pun seketika meronta-ronta. Kenapa mereka menanyakan hal tersebut? Apa berita bahwa aku telah dilamar Alfa benar-benar sudah tersebar? Padhal, kan, orang tua dan keluarga Alfa belum ke sini. Aku sengaja menunda kedatangan mereka karena inginku seperti itu. Aku mau tahu seberapa sabar Alfa menungguku dan menjauhi aku sebelum ada ikatan halal. Hari ini hari terakhir syukuran di rumah setelah tujuh minggu berturut-turut. Setelah dokter mengatakan bahwa penyakit mematikan itu telah sirna, ia tetap memintaku untuk kontrol setiap minggu seperti biasanya. Di acara marhabanan, salah satu dari adik-adik remaja masjid bertanya, "Teh, konsumsi obat apa aja selama ini? Kok, bisa sampai sembuh?" "Obat, mah, macam-macam, Dek. Terpenting itu, kita harus selalu libatkan Allah. Kalau diceritain, ya, bisa panjang, mungkin," ujarku. "Ya udah, poin-poinnya aja, deh." "Jadi, pas sebelum operasi itu, Teteh, mah, cuma bisa pasrah aja sama Allah. Kalau emang saat itu harus meninggal, ya berusaha pasrah. Eh, ternyata koma, dan alhamdulillah bisa bangun lagi. Setelah itu... katanya kalian melakukan doa, kan? Khotmil Qur'an dalam semalam? Nah, itu juga bisa jadi sebab kesembuhan Teh Septi. Terus... Teteh sendiri nggak mau tinggalin tilawah, jadi, berusaha untuk selalu membaca Al-Qur'an walau pernah dalam keadaan rebahan karena nggak bisa duduk." Aku terdiam sejenak. "Terus?" "Terus... Teh Septi juga lakuin ruqiyah. Waktu itu ngundang guru dari Kuningan, habis itu disuruh minum ramuan daun bidara. Kalau dari ilmu agama, kayaknya cuma segitu, deh," ungkapku. "Kalau obat-obatan lainnya?" "Obat dokter itu pasti, Dek. Rutin aja konsumi obat dari dokter yang kita dapat kalau kita kontrol. Tapi, Teh Septi juga ke tabib, dikasih obat herbal dari beliau, minumnya beda waktu. Selain ramuan itu, Teh Septi juga konsumsi madu sama vitamin Dari HPAI. Sumpah, ya, ini bukan promosi, deh.", Aku terdiam sejenak. "Oh iya, sama obat tropikal, obat yang waktu itu buat p******a. Pokoknya, minumnya itu beda waktu sama obat kimia. Terus, ini... Teh Septi, mah, konsumsi s**u juga." "Aduh, Teh... ternyta banyak juga, ya, ikhtiar yang dilakukan! Aku pikir nggak seribet itu." "Iya, Dek... namanya ikhtiar, emang harus apa aja dilakuin selagi tidak melanggar syariat. Ya, walau belum sembuh total, tapi Mba udah bersyukur banget." Obrolan kami terhenti ketika acara marhaban dimulai. Usai melantunkan solawat diiring dengan taburan hadro yang sangat khas, aku dan seluruh tamu memakan hidangan yang sudah disiapkan oleh Mama dan anggota keluarga yang lain. Aku benar-benar bahagia bisa kembali tersenyum lebar seperti sedia kala. Aku harap kesehatan ini lekas membaik. ***  Bersambung ...                                                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN