Save Me 41

1073 Kata
Beberapa saat setelah Mama memberikan aku kompres agar panas ini segera pergi, Papa meminta Mama untuk pergi ke ruang Teh Widi. "Mama ke sana dulu, ya?" Aku mengangguk. "Nanti Septi biar ditemenin Papa," ujar Papa. Beberapa lama kemudian, aku merasa butuh Mama.  "Pa, aku pengin sama Mama," pintaku. Tak lama, Mama pun datang dan segera menemaniku. ‘Ya Allah, betapa ribetnya Mama. Semoga ribetnya Mama menjadi pahala, karena telah mengurus kedua anaknya yang sakit secara bersamaan,’ batinku. *** Keesokan harinya, Alfarizki datang menjengukku. Pemuda itu membawakan aku parsel buah strawberry dan pir hijau serta serangkai bunga mawar. Belum sempat aku bersuara, Alfa mendahului aku. "Nggak usah ngomel aku bawa bunga!" "Aku ini bukan siapa-siapa kamu! Kenapa bawa bunga segala?" Mama seperti memperhatikan gerak-gerik aku yang memarahi Alfa dengan suara sangat pelan. "Kalau masih marah aja, aku bilangin mama kamu, lho!" Alfa mengancam. Aku melihat ke arah Mama. "Ma, boleh nggak aku ngobrol sama Alfa? Pintu kamar dibuka aja biar orang bisa lihat kita berdua." "Ya udah, kalau gitu Mama ke kamar Teh Widi dulu aja, ya." Aku mengangguk. Setelah punggung Mama tak terlihat, Alfa lebih dulu membuka suara. "Aku yakin kamu bisa menyewa kamar kelas satu atau VIP, tapi kenapa kamu selalu dirawat di ruang dua atau tiga? Sedangkan Teh Widi di kelas satu?" "Penting banget harus dirawat di kamar kelas berapa?" Aku terdiam sejenak. "Alfa! Dengar, ya... kamu inget nggak waktu aku nebeng di mobil kamu, aku minta tanpa AC?" Alfa mengangguk. "Iya aku ingat!" "Kira-kira kenapa tuh?" "Karena kamu nggak suka AC mungkin?" "Lebih tepatnya anti AC. Tubuhku ini sensitif kena AC. Kalau kedinginan bakal sakit. Yang ada aku dirawat bukannya sembuh malah makin sakit!" Alfa mengangguk-angguk. Aku rada pemuda itu mulai mengerti tentang yang kumaksud. "Terus... kamu ada apa ke sini?" tanyaku. "Astaghfirullah, Septi! Ya aku jenguk kamulah!" tegas Alfa. "Tahu dari mana aku suka strawberry sama pir hijau?" "Vino!" "Oh," sahutku. "Kenapa kalian bisa seakrab itu?" "Kamu nggak tanya sama Vino aja?" "Dia kalau jawab nggak pernah bener!" Alfa terlihat kesal. "Emang gimana jawaban dia?" "Katanya... karena dia tampan dan penakluk cewek-cewek cantik. Wajar bisa akrab sama kamu." Aku tertawa terbahak. Vino memang sangat humoris. Aku senang berteman dengan anak itu. Sangat ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. "Vino itu anak PMR, kan? Di SMP dan SMA," kataku. "Iya memang! Dulu juga aku sama!" "Nggak nanyain kamu." "Iya udah... terus emangnya kenapa kalau anak PMR?" "Dia aktif banget berorganisasi. Aku kan alumni Paskibra, jadi kalau ada acara-acara yang diadakan ekstrakurikuler sekolah, aku pasti datang. Aku sahabatnya Rere, jadi aku sering ketemu Vino kalauagi main sa.a Rere. Awalnya aku yang mau temanan sama Vino. Aku suka sama dia." "Kamu suka sama Vino?" Alfa salah sangka. "Bukan suka ingin jadi pacarnya!" Aku menjelaskan. Aku tahu kalau Vino itu adik kamu. Aku tahu di mana rumahnya. Dan, dulu... waktu aku berangkat sekolah SMP, aku sering banget lihat Vino di depan rumah. Anak itu lucu banget, putih, bibirnya merah, matanya hitam, alis tebal. Pokoknya lucu, aku suka!" Alfa terdiam dan fokus mendengarkan aku. "Waktu dia SMP kelas berapa, ya, aku lupa... dia itu masih tetap berbadan kecil dan lucu. Nggak setampan sekarang. Aku main ke ruang PMR mau ketemu Rere, terus ada dia. Dia nyapa aku. Aku tuh seneng." Aku terkekeh. "Aku tuh pura-pura sok kenal sama kamu. Terus nanyain, Dek... Kak Alfa kuliah di mana? Terus dia cerita dan kita berteman sejak saat itu. Sering ngadain permainan di organisasi dan aku pernah menyebut semua hal favorit aku." Alfa melihat ke arah jari tanganku. "Makasih atas penjelasannya. Sekarang aku udah nggak penasaran lagi.". Aku terdiam. "Septi...." Alfa kembali membuka suara. Alisku bertaut. "Kenapa?" "Kamu udah buka kado ulang tahun dari aku?" Mendengar pertanyaan tersebut aku benar-benar terkejut. Pasalnya, aku benar-benar lupa dengan kado yang Alfa berikan dua bulan lalu.. "Astaghfirullah, maaf! Aku lupa. Habis... kamu suruh aku buka di rumah. Ya aku lupa!" "Terus sekarang di mana?" Aku berusaha mengingat kembali di mana aku menyimpan kado tersebut. Ingatanku kembali pada masa di mana aku dirawat bulan Oktober lalu. "Minta tolong simpan ini, Ma." "Apa ini?" tanya Mama. "Nggak tahu apa isinya. Itu kado ulang tahun dari Alfa. Katanya nggak boleh dibuka sekarang." Mama meraih kotak tersebut. "Mama simpan di tas bagian depan, ya." Aku sudah tahu di mana kafo tersebut. Namun, apakah sudah ada orang yang memindahkan? "Aku boleh minta tolong?" tanyaku. "Apa?" balas Alfa. "Di lemari itu ada tas aku yang biasa dibawa ke rumah sakit. Warna toska. Tolong ambilkan dan bawa ke sini." Alfa memenuhi semua permintaan aku. Tas toska yang biasa digunakan untuk membawa baju ganti dan keperluan aku ke rumah sakit itu sudah ada di pangkuanku. Aku membuka resleting bagian kantong depan. Setelah meraba, benar saja! Aku mendapatkan benda kecil berbentuk kotak tersebut. "Boleh aku buka sekarang?" tanyaku. Alfa tersenyum dan mengangguk. "Sok." Setelah kertas pembungkus berwarna merah muda itu terlepas, aku membuka pita merah yang melingkar pada kotak inti. Setelah terbuka, ternyata kotar tersebut berisi lipatan kertas. Aku meraih benda putih itu dan k****a tulisan di dalamnya.   Assalamu'alaikum, Septi Lyan... Perkenalkan, aku Alfarizki. Terima kasih kamu sudah mau menjadi temanku. Karena kamu adalah temanku, maka... aku ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke 20 tahun wahai wanita tercantik di desaku.   Aku terbelalak membaca lima kata terkahir tersebut. Kedua bulan hitamku menatap tajam wajah Alfa. Tanganku refleks mendorong tubuhnya yang sedang duduk di kursi samping tempatku bersandar. "Ada apa?" Alfa terlihat heran. Aku terdiam. Aneh! Kalau aku wanita tercantik di desa, kenapa dia tidak mencari wanita lain yang ada di luar desaku? Aku pun melanjutkan membaca surat tersebut:   Septi... aku memberikan hadiah ini bukan hanya karena kamu sedang ulang tahun. Namun, aku benar-benar serius ingin meminang dirimu menjadi istriku. Pakailah cincin ini jika kamu mau menjadi teman hidupku. Jangan buang dan jual cincin itu kalau kamu tidak mau. Aku akan selalu menunggu sampai kamu benar-benar mau memakannya. Bahkan, jika kamu ingin aku yang memakaikan langsung (menikah) saat ini juga, aku bersedia. Dariku... seseorang yang sudah sejak kamu masih duduk di bangku sekolah selalu mengagumimu. Wassalamu'alaikum... Tertanda, Alfarizki.   Aku terdiam setelah membaca surat tersebut. Aku tidak tahu jika di balik surat ini ada cincin emas dengan permata yang cantik. Aku bingung harus menjawab apa? "Kamu suka dengan cincin itu?" tanya Alfa. "Aku suka cincinnya. Bagus! Pasti mahal, ya?" "Enggak... itu cincin emas biasa." Aku meraih cincin tersebut dan memandangnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, aku memasukan benda lingkaran berwarna putih mengkilap itu ke jari manis sebelah kiri. ***  Bersambung ...            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN