Save Me 1
Kisah ini berawal ketika aku masih duduk di bangku sekolah kelas 2 SMA. Dulu, aku sangat ceria, mampu pergi ke mana saja tanpa harus ada sosok lelaki yang menemani. Ya, walau sesekali ditemani adik sepupu dan kerabat dekat jika ada kepentingan, tetapi aku tak pernah bergantung pada mereka. Tidak seperti sekarang.
Masih teringat jelas, di tahun 2013, hari itu adalah kali pertamanya aku mengendarai motor sendiri dengan jarak yang begitu jauh. Siang itu aku melajukan kendaraan roda dua berwarna putih itu ke salah satu toko buku besar di Kota Bandung bersama salah satu teman sekelas yang sengaja kuajak.
"Septi, emang kamu mau beli Al-Qur'an yang gimana?" tanya May seraya melihatku yang memandangi tumpukan Al-Qur'an.
Aku memiringkan kepala seraya menyipitkan kedua mata. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu.
"Al-Qur'an beludru warna pink soft. Tapi dari tadi dicari malah nggak ada," gumamku.
"Emang sebelumnya udah pernah lihat?"
"Udah, May... Bulan lalu aku ke sini sama Juwi dan Wiwit. Tapi nggak bawa uang banyak. Papa juga baru transfer uang buat beli Al-Qur'an itu kemarin."
"Ya udah... Septi cari-cari dulu aja, ya. May mau lihat-lihat buku, boleh?"
"Boleh, May."
Setelah gadis dengan tubuh sepuluh senti lebih tinggi dariku itu berlalu, aku kembali fokus mencari kitab suci yang kuinginkan. Tetapi, usaha ini tidak membuahkan hasil. Akhrinya, aku pun pergi menemui pegawai toko yang bertugas dan menanyakan keberadaan Al-Qur'an tersebut.
"Oh, Al-Qur'an yang itu, ya... Iya, Kak, di sini stoknya sudah habis seminggu yang lalu," jelas petugas toko.
"Owalaa... cepat banget, ya."
Sebenarnya dalam hatiku sangat kesal. Kenapa Al-Qur'an itu harus laku semua? Masa aku pulang dengan tangan kosong?
"Banyak Al-Qur'an terjemahan dengan sampul baru, Kak. Kakak bisa pilih di sebelah sana," ujarnya seraya mempromosikan produk baru di toko tersebut.
"Butuhnya Al-Qur'an yang kecil, Kak. Biar bisa dibawa di sekolah."
"Ada, kok, Kak. Mari saya antar untuk lihat-lihat koleksinya."
Aku pun berjalan membuntuti pegawai toko tersebut. Perempuan berseragam itu berhenti tepat di kelompok buku-buku religi. Tempat tersebut tidak begitu jauh dari area yang sebelumnya kusinggahi.
Walau tidak ada Al-Qur'an yang kuinginkan. Akhirnya aku tetap membeli kitab suci umat Islam dengan sampul yang berbeda. Lagi pula, isinya sama. Jadi, sepertinya tidak masalah. Aku bisa membeli Al-Qur'an dengan sampul beludru di kemudahan hari.
Perjalanan pertamaku sangat lancar, hingga aku bisa pulang dengan selamat dan sampai tujuan tepat waktu. Sejak hari itu, Mama sudah tidak melarangku menyetir motor ke Kota Bandung.
***
Tak bisa berbohong, walau aku ceria dan terlihat kuat dari segala sudut pandang, tetapi setiap hari Senin aku selalu pingsan di sekolah.
Benar saja, hari ini aku pingsan di tengah berjalanannya upacara bendera. Sebelum mata ini terpejam aku melihat banyak orang memandang sinis ke barisan tempatku berdiri. Sebenarnya wajar saja bila hal itu terjadi. Karena, siswa-sisi yang ada di area ini adalah daftar murid yang terlambat datang.
Kebiasaan burukku di SMA adalah selalu terlambat ke sekolah. Dalam satu minggu aku bisa terlambat dua sampai tiga kali. Parah memang!
Pagi itu matahari benar-benar memancarkan sinarnya dengan gembira. Terlebih, aku baris tepat di bawah pancaran cahaya terang itu. Selain panas, aku pun tidak kuat dengan sengatan silau yang menyerang kedua alat penglihatanku.
Setelah beberapa kali mengedipkan mata mencoba mencari kenyamanan, akhirnya aku pingsan. Entah bagaimana yang terjadi setelah itu, yang kuingat, saat sadar sudah berada dalam UKS.
"Alhamdulillah sudah sadar," ujar beberapa petugas PMR.
Setelah itu datanglah salah satu guru favoritku, Bu Tita.
"Septi lagi... Septi lagi... kenapa hobi banget pingsan, sih?" ujar Bu Tita seraya terkekeh.
Bu Tita memang sangat murah senyum. Beliau juga sering tertawa walau obrolan tidak ada yang lucu.
Saat itu terjadi berbagai topik obrolan di antara kami, salah satunya membahas tentang Papa, karena Bu Tita adalah teman papaku ketika duduk di bangku sekolah dasar. Namun, tiba-tiba saja di tengah obrolan kami terdengar keributan dari arah luar.
Pintu UKS pun dibuka dengan cepat oleh petugas PMR, dan terlihat ada sebuah tandu dengan seorang siswi yang terbaring di atasnya.
"Siapa lagi itu yang pingsan?" teriak Bu Tita dengan lantang.
"Siktas, Bu." Beberapa petugas PmR menjawab berbarengan.
"Itu juga kebiasaan, setiap upacara pasti pingsan! Senin depan jangan izinkan Siktas upacara," ujar Bu Tita.
Setelah upacara bendera selesai dilaksanakan, semua murid yang sudah pulih kembali ke kelas. Sedangkan pasien yang pingsan seperti aku dan Siktas harus istirahat lebih lama lagi.
Tak lama setelah beberapa murid kembali ke kelas masing-masing, Juwi dan Wiwit masuk ek ruang UKS dan menemui aku.
"Mau ke kelas enggak?" tanya Juwi.
"Gimana keadaan kamu?" tanya Wiwit.
"Alhamdulillah udah mendingan, Wit. Tapi ke kelasnya nanti dulu. Habis jam istirahat aja, ya. Punggung aku masih sakit."
"Ya udah kamu istirahat dulu aja, SMS aja, ya, kalau mau ke kelas. Nanti kita jemput," ujar Juwi.
"Nggak usah, nanti aku ke kelas sendiri aja insya Allah bisa."
"Ya udah, kalau biru apa-apa SMS aja. Kita ke kelas dulu, ya." Wiwit dan Juwi pun berlalu.
Belum genap satu semester berada di kelas baru, aku sudah memiliki sahabat Mereka adalah Juwi dan Wiwit. Kemana-mana kami selalu bertiga.
Setiap berangkat dan pulang sekolah Juwi selalu diantar ayahnya dan Wiwit naik angkutan umum. Sedangkan aku, naik motor sendiri. Tetapi, tak jarang ketika pulang sekolah aku-lah yang mengantarkan Juwi dan Wiwit pulang ke rumahnya masing-masing. Hal itu kulakukan karena mereka sangat baik dan peduli kepada aku.
***
Setelah badan ini terasa lebih baik, aku berusaha kembali ke kelas tanpa meminta Juwi ataupun Wiwit menjemput.
Sampai di depan pintu ruang kelas XI-IPA-1 aku melihat banyak teman lelaki yang sedang berkumpul seraya duduk menghalangi jalan.
Tak pernah mengerti, apa yang ada dipikiran teman laki-lakiku. Setiap melihatku pingsan mereka banyak mem-bully.
"Hei, Septy, kamu tadi pingsan jatuhnya di pagar besi tahu! Sakit enggak?" tanya salah satu di antara mereka.
Kupikir dia bertanya karena rasa simpati.
Akhrinya, aku pun menjawab, "Waktu pingsan, sih, nggak sakit. Baru sakitnya sekarang pas udah sadar."
Bukannya prihatin, setelah mendengar jawabanku mereka justru seketika tertawa secara bersamaan.
"Haha... lagian, suruh siapa pingsan?" Siswa itu menatap teman di sampingnya.
Bodohnya, yang lain pun ikut bersuara. "Benar-benar! Nyari simpati siapa, ya? Dia pikir punggungnya besi kali, jadi diadu sama besi lagi."
Keempat teman lelaki itu tertawa dengan suara yang sangat lantang.
Aku geram mendengarnya. Mungkin, aku memang harus mulai beradaptasi lagi dengan teman-teman baru di sini.
***
Beberapa hari berikutnya, tibalah pada mata pelajaran Biologi.
Seorang guru cantik yang merangkap tugas sebagai pembina ekstrakurikuler PMR itu tiba-tiba menyampaikan sesuatu di tengah pelajaran.
"Septi, mulai minggu depan kamu jangan ikut upacara, ya."
Aku heran mendengar ucapan Bu Tita.
"Kenapa, Bu?" tanyaku.
"Mengantisipasi, supaya kamu nggak pingsan. Mending kamu di UKS aja."
Aku tersenyum mendengar jawaban Bu Tita. Kabar itu membuat hati ini senang dan sedikit sedih. Senang karena nanti aku nggak kepanasan lagi dan sedikit sedih karena nggak bisa menikmati indahnya suara para anggota Kreasi Seni Pelajar yang selalu merdu melantunkan lagu kebangsaan tiap kali bendera ditarik serta dikibarkan di atas tiang.
Akhirnya, sejak saat itu, aku tidak mengikuti upacara hari Senin. Ada beberapa orang yang merasa iri denganku. Bahkan, beberapa juga mengira bahwa aku pura-pura lemah supaya dikasihani.
***
Selang beberapa bulan aku kembali bertemu dengan pelajaran Biologi yang diajar oleh Bu Tati. Menjelang waktu zuhur aku dan Juwi berniat izin untuk pergi ke toilet. Siang itu sangat terik, aku berpikir bahwa matahari memancarkan cahaya lebih tajam dari biasanya.
"Panas banget ya, Ju," ujarku.
"Enggak, ah. Biasa aja, kok, kayak hari-hari sebelumnya."
Keningku mengerut, masa iya Juwi tidak merasa silau seperti yang kurasakan?
"Tapi aku, kok, ngerasa beda banget, lho. Lebih silau dari biasanya."
Kita berdua pun mengobrol sepanjang perjalanan membahas sinar matahari yang amat terik ini.
Di jalan, saat melintasi arena taman sekolah aku sudah tak kuat menahan rasa silau akibat cahaya matahari ini. Aku mulai pusing, dan beberapa detik kemudian malah pingsan.
Kejadian itulah yang paling kuingat, kali pertamanya merasakan lebih peka terhadap cahaya.
***
Bersambung ...