Save Me 28

1103 Kata
Setelah beberapa lama tak sadarkan diri, pendengaranku kembali berfungsi. Aku mendengar suara orang-ora.g di dalam kamar. Aku berusaha keras membuka mata, tetapi tak bisa. Mencoba berteriak memanggil Mama, tapi bibirku kelu. Aku berusaha menggerakan jari. Setelah berhasil, aku coba meraba sesuatu yang bisa terjangkau oleh jari. Lalu, aku merasakan ada seseorang duduk di samping dan bersandar pada tempatku berbaring. Aku berusaha sekuat mungkin membuka bibir untuk memberi isyarat bahwa aku ingin Mama mendekat. Om Rahmat pun membangunkam Mama, yang sedang tertidur pulas. Setelah Mama bangun, beliau mendekat padaku. "Kenapa, Sayang? Septi mau apa?" tanya Mama terdengar panik. Aku berusaha sekuat mungkin untuk membuka mata dan mulut ini, tetapi tak bisa. Aku hanya bisa mngeluarkan bisikan lembut. "d**a aku sesak, Mah." Air mataku keluar begitu saja. Walau saat itu penglihatanku samar,  tetapi aku tahu bahwa Mama juga ikut menangis. "Sesak, Nak? Iya... terus harus gimana ini? Mama panggil dokter atau suster, ya?" Suaranya terdengar semakin lirih menahan tangisan. Aku pikir, saat itu aku akan mati. Tiba-tiba, aku ingin semua keluarga hadir di sini. "Ma... Mah... A-a-aku... mau Teh Wi-di datang ke... si-ni," kataku terbata-bata. "Jangan dipanggil, kasian Teh Widi lagi kerja. Nanti aja, ya, sore." Derasnya air mata ini sudah tak bisa terbendung lagi. Saat itu aku hanya ingin kakakku datang. Rasa sakit ini mulai terasa. Rasa sesak benar-benar mengikat d**a sehingga membuataku kesulitan untuk bernapas. Entah mengapa, rasa sakit ini juga semakin menjalar ke kepala, mungkin lebih tepatnya sampai ke otak. Awalnya Mama kukuh tidak mau mengundang Teh Widi. Namun, aku memaksa dan merengek ingin bertemu dengan wanits terhebat setelah mamaku itu. Akhirnya, Mama pun menuruti permintaanku. Aku sempat mendengar beberapa kalimat yang Mama ucapkan lewat telefon. "Wa'alaikumussalam, Wid... kamu lagi apa?" Aku bisa menebak, Teh Widi pasti menjawab bahwa ia sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan di kantor. Mama kembali bersuara. "Ini... tadi pagi Septi habis dioperasi kecil-kecilan. Terus sekarang minta kamu untuk datang ke sini." Aku mendengar Mama berjalan menjauh dariku. Wanita itu menangis dengan isakan yang khas. Aku tahu kenapa beliau menjauh. Mama pasti tidak ingin aku tahu bahwa dirinya sangat sedih dan terpukul melihat keadaanku. "Kamu ke sini jangan ngebut-ngebut, ya... bilang aja sama atasan kamu kalau adik kamu sakit dan ingin ketemu. Mama mohon kamu jangan buru-buru bawa mobilnya. Doain Septi semoga baik-baik aja." Setelah menelfon Kakak, Mama pun mendekat dan menenangkan aku hingga  bisa tertidur walau hanya sesaat. Selang satu jam, aku mendengar isak tangis dua wanita di samping tempatku berbaring. Aku yakin mereka adalah Teh Widi dan Mama. Aku berusaha membuka kedua mataku secara perlahan. "Teh...." Aku ingin memanggil kakak terhebat dalam sepanjang kehidupanku itu. Mendengar aku memanggil, Teh Widi bergegas duduk di sampingku. Masih teringat dan bisa kurasa sampai detik ini, tangannya menggenggam lembut tangan kecilku. Beliau menciumi permukaan kulit tanganku yang ia genggam dan berkata, "Dek, yang kuat, ya. Septi yang kuat, kita semua sayang sama Septi. Septi semangat terus untuk melawan semua ini. Ada Papa, Mama, Teh Widi... dan di rumah ada Dede Avril yang menunggu Septi pulang. Septi harus lawan rasa sakit ini," ungkapnya menyemangatiku. Mata ini mulai membuka sedikit lebar, terlihat dengan jelas air mata Teh Widi mengalir begitu deras. Lalu, kakak dan mama terus membelai kepala, hingga aku kembali tertidur. Saat itu aku hanya bisa pasrah. Jika memang usiaku tak lama lagi, aku hanya ingin bertemu dengan orang-orang yang kusayang. Baik keluarga ataupun sahabat. *** Malam ini, aku berhasil membuka mata dengan sempurna, beberapa kali aku ingin salat dan pergi ke kamar kecil, tetapi dokter tak membolehkan. Mereka menyarankan aku untuk buang air kecil pada diapers saja. Ternyata aku memang tak berguna, saat itu aku sungguh payah, bagai anak bayi yang tak bisa apa-apa. Lantas, apa yang bisa kubanggakan? Dan apa yang harus disombongkan dari diri ini? Mama dan kakak memakaikan aku diapers, rasanya malu, karena usiaku sekarang sudah 19 tahun. Sampai jam delapan malam, aku belum juga buang air kecil, karena menahan dan tidak bisa dikeluarkan. Aku tak biasa buang air kecil di tempat tidur walau ada diapers. Sore itu Mama dan Teh Widi meminta izin untuk pulang. Aku mendengar ada Alfa datang masih memakai seragam. Aku tidak bisa melihat wajah lelaki itu karena keadaanku masih sangat lemah. Mama dan Teh Widi yakin meninggalkan aku bersama Papa karena di sini ada Alfa, mereka berpikir bahwa lelaki yang menyukai aku itu bisa membantu Papa menjagaku. Aku tidak tahu kenapa rasanya selalu mengantuk? Apa karena dokter telah menyuntikkan obat penenang? Aku pun kembali tertidur hingga menjelang waktu isya. Saat bangun, mataku benar-benar bisa terbuka dengan lebar. Aku bisa melihat di samping tempat tidur ini ada Alfa yang sedang duduk di kursi sembari membaca Al-Qur'an. Saat itu aku haus. Papa ke mana? Aku malu jika harus minta bantuan pada Alfa. Namun malangnya, pemuda itu keburu tahu bahwa aku telah bangun. "Sodaqollahul 'adziim...." Alfa mencium Al-Qur'an dan menutup. Pemuda itu melihat ke arahku. "Kamu mau perlu apa? Dokter nggak bolehin kamu makan sama minum, ya?" Aku hanya bisa diam. Merasa bingung harus menjawab apa. "Tapi Papa bilang sama aku tadi, katanya kalau udah jam tujuh malam kamu udah boleh minum. Ini udah jam tujuh, kamu mau minum enggak?" "Papa mana?" tanyaku. "Papa lagi salat isya." "Kamu nggak salat?" "Aku salat juga, tapi nanti gantian jagain kamu." "Mama sama Teh Widi ke mana?" tanyaku. "Mereka masih di rumah, katanya Mama mau masak dulu buat Avril dan dibawa ke sini. Kamu mau minum? Biar aku aja yang ambilin." Akhirnya aku terpaksa meminta bantuan pada Alfa untuk mengambilkan minum. Pemuda itu mengambil botol air mineral lalu membuka dan memasukkan sedotan. Alfa mendekatkan sedotan itu pada bibirku. Aku benci adegan ini! Aku benar-benar tidak suka dengan perlakuan Alfa yang sangat berlebihan ini. Aku risi dengannya. "Udah, makasih!" ungkapku. "Aku boleh lanjut baca Al-Qur'an?" tanya Alfa. "Silakan." Setelah Alfa kembali melanjutkan ayat-ayat Allah, tiba-tiba Papa memberi kabar, bahwa ada banyak teman-teman datang menjenguk dan menunggu di luar ruangan. Satu per satu dari mereka pun masuk. Tak menyangka, teman remaja masjid, teman main, hingga teman tugas di puskesmas pun hadir di sini. Hatiku terasa bahagia, begitu banyak para penyemangat yang datang dan menunggu kesembuhanku. "Septi yang semangat, ya... cepat sembuh, ya, kami semua remaja masjid dan teman-teman desa di sekitar akan mengadakan khotmil Qur'an satu malam, untuk merayu Allah. Agar Septi diberi kesembuhan," ungkap salah satu partisipan remaja masjid. Aku terharu mendengarnya, di tengah keasinganku karena teman-teman baru yang tak menyukai cara berpakianku, ternyata masih banyak orang-orang yang mencintaiku dengan tulus. Tugasku sekarang adalah semangat untuk mencapai kesembuhan. Berusaha untuk tidak meninggalkan tilawah, setiap saat. Aku jugs bertekat harus tetap bersama Al-Qur'an, agar jika aku mati detik itu, aku sudah membaca Al-Qur'an dan dalam keadaan suci karena wudhu. *** Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN