BAB 002. RAHASIA TRAH BRAJANTARA MAHAPUTRA

2060 Kata
Aumannya yang nyaring menggema di antara bebukitan di sekitarnya, sungguh menggetarkan hati dan menciutkan nyali siapapun yang mendengarnya, tetapi benar-benar tak ada pilihan untuk lari bagi Deva yang berdiri tepat ditengah-tengah bukit sempit namun datar itu. Hanya ada dua pilihan, melawan makhluk itu dengan segenap kemampuannya yang jelas sangat tak sepadan, akal sehatnya masih bisa berpikir cepat dan menyadari bahwa hanya dalam hitungan detik tentulah makhluk besar berbulu putih itu akan dapat mengkoyak-koyakkan tubuh Deva. Betapa tak sebandingnya tubuh Deva jika harus bertahan atau melawan makhluk besar itu, fisiknya yang kurus itu ditambah lagi tak memiliki sedikit pun kepandaian ilmu beladiri, memilih maju melawan sama dengan menjemput kematian. Pilihan kedua lebih konyol dan gila lagi, yaitu dia melarikan diri dengan melompati bibir bukit tempat Deva berdiri, yang akibatnya bisa dipastikan tubuh Deva akan bergulingan menuruni bukit berbatu-batu runcing dan tajam. Belum lagi tubuh Deva mencapai bagian bawah bukit, nyawanya sudah dipastikan melayang dan tubuhnya akan hancur berkepingan saat tiba di dasar bukit. Belum lagi Deva memutuskan diantara dua pilihan sulit paling mungkin yang akan terjadi, sosok berbulu putih besar yang tak lain adalas seekor harimau putih itu secara tiba-tiba melompat menerkamnya dengan kecepatan yang tak bisa diikuti pandangan mata biasa, satu terkaman itu sudah cukup membuat Deva berkeringat dingin, jantungnya serasa copot turun ke perutnya dan berhenti berdetak. Tinggal sekejapan mata lagi kedua kaki depan harimau putih dengan kuku-kuku runcing mengkilat lagi kokoh akan merobek hancur tubuh Deva, tiba tiba terdengar satu suara yang terdengar lembut dan pelan di telinga Deva, “Cucuku, merunduklah cepat dan hantamkan tangan kirimu sekuatnya ke atas.” Tak ada waktu berpikir, bahkan memilih, membuat Deva reflek mengikuti kata-kata bisikan tadi, secepat yang Deva bisa, dia pun merunduk serendah-rendahnya, tanpa melihat kepada harimau tadi tangan kiri Deva secara reflek pula mengepalkan tinjunya dan dihantamkan ke atas. Sejak sebelum harimau putih itu menyerangnya Deva memang sudah memejamkan mata, seakan dia sudah pasrah, bersiap ikhlas menerima kematiannya tanpa bisa mengelak di tangan makhluk putih ganas itu. Hingga suara itu terdengar, suara auman yang berbeda, lebih mirip jeritan harimau kesakitan, masih dalam posisi terpejam Deva seakan tak percaya dengan apa yang di dengarnya, dibukalah kedua matanya umtuk memastikan melihat sendiri apa yang terjadi. Saat itulah Deva melihat harimau yang tadi menerkamnya kini berdiri dengan posisi tubuh tampak goyah, jelas terlihat oleh deva di dekat leher harimau putih itu bulu-bulunya yang gosong bagai bekas terbakar, tetapi naluri bertarung makhluk itu jelas masih berkobar-kobar. Kembali harimau itu mengaum meski tak sekuat dan sesangar sebelumnya. Harimau putih itu kembali menerkam meski lebih lambat dibandingkan terkaman sebelumnya, kali ini giliran nyali Deva yang naik, Deva merasa di atas angin. Kini dia siap menghadapi makhluk itu. Deva mulai yakin kalau kedua tangannya memang memiliki kemampuan pukulan dahsyat sebagaimana yang dikatakan oleh kedua pakdhenya, sebuah pukulan yang tak kan bisa di bendung dan sangat menghancurkan, yaitu puklan Ajian Brajamusti. Dengan lebih tenang kini Deva mengepalkan tangan kanannya, mengeraskannya dan langsung diayunkannya ke muka, tepat ke arah kepala harimau tersebut. Sebuah pemandangan mengerikan akan segera terjadi, dimana kepala harimau itu tentulah akan remuk, karena kali ini Deva memusatkan seluruh kekuatannya di kepalan tangan kanannya itu. Sejengkalan lagi kepalan Deva akan sampai menghantam tepat di kening harimau itu, meremukkan dan membuat hangus wajahnya, tiba tiba satu tangan yang teras alembut namun begitu kuat dan kokoh memegang tepat di lengan kanan Deva sehingga pukulannya pun dipaksa terhenti tak mengenai sasarannya. “Cukup, Deva. Sekarang kembalilah, bangunlah, karena yang kamu alami ini hanyalah sebuah mimpi. Jangan ceritakan mimpimu ini kepada siapapun.” Sesosok lelaki berpakaian seba putih, bersorban putih dengan wajah yang teduh dan tatapan penuh ketenangan itu berkata kepada Deva, dia juga ternyata yang telah menangkap lengan Deva saat melepaskan pukulan dengan tangan kanannya itu. Sedang harimmau putih yang tadi hendak menyerangnya untuk kedua kalinya sudah hilang lenyap tanpa bekas, menghilang begitu saja tanpa jejak. Lelaki bersorban yang kelihatan sudah berumur dengan keriput yang terlihat jelas di wajah dan tangannya itu melepaskan pegangan tangannya dari lengan Deva, namun dengan gerakan cepat tangan kanan lelakitua bersorban itu mengembangkan telapak tangannya, langsung dihantamkan ke d**a Deva, tetapi Deva tak merasakan kesakitan, justru seperti ada hawa sejuk mengalir dari telapak tangan lelaki bersorban itu yang masuk ke dadanya kemudian menjalar ke sekujur tubuhnya. Hantaman itu membuat posisi berdiri Deva tak seimbang dan terdorong ke belakang, Deva berusaha membuat gerakan untuk kembali membuat posisi berdirinya kembali tegak, sayangnya puncak bukit datar itu terlalu sempit, Deva tergelincir dan langsung terjengkang tanpa ampun lagi ke belakang, tubuhnya meluncur deras kebawah, sayup sayup Deva masih bisa mendengar lelaki bersorban itu berkata untuk terakhir kali, “Namaku Kyai Abdul Qahhar. Ingat nama itu cucuku.” Tubuh Deva masih meluncur deras saat sekilas matanya melihat salah satu gundukan batu di tebing bukit yang ujungnya runcing siap menembus kepalanya, Deva bertakbir kuat dan memejamkan matanya. === Budhe Yuni langsung kaget mendengar suara seperti sesuatu terjatuh dari kamar anaknya, Kholil, dia pun teringat bahwa Deva tadi masuk kedalam kamar itu. Bergegas Budhe Yuni keluar kamarnya menuju kamar Kholil, terlihat pintunya yang setengah terbuka, yang memang tadi tak sempat ditutup oleh Deva yang langsung tertidur saat merebahkan tubuhnya di pembaringan. Budhe Yuni masuk dan dilihatnya Deva tengah terduduk bersila di lantai sambil cengar-cengir. “Suoro opo iku mau, Dev?” “Hehe ... Deva Jatuh dari springbed, Budhe.” “Ngimpi opo kowe awan-awan ngene sampek iso tibo, Dev. Ndang adus sek, terus mangan. Budhe dan Pakdhemu, juga Anita sudah duluan, tadi mau bangunin kamu, cuma kamu sepertinya tidur cukup pulas, ndak tega budhe buat banguninnya.” Budhe berbalik dan kembali ke kamarnya. Deva masih melongo dan mencoba mengingat-ingat lagi mimpi aneh yang baru saja dia alami, mimpi yang singkat tetapi sangat menakutkan, sekujur tubuh Deva berkeringat, seolah benar-benar seperti habis bertarung sungguhan. “Kyai Abdul Qahhar ....” Deva menggumamkan lagi nama itu, masih terngiang jelas ditelinganya suara lelaki yang tadi memperkenalkan namanya di akhir mimpinya, seorang lelaki tua bersorban yang memanggil dirinya dengan panggilan ‘cucuku’. === Deva keluar dari kamarnya kholil setelah menulaikan sholat isya, dia menuju ruang depan dimana pakhe Rusman sudah menunggunya sambil menikmati kopi panas buatan Budhe Yuni, menghisap dalam-dalam rokok kreteknya. Pakde Rusman melihat ke arah Deva saat Deva membuka tirai pemisah ruang tengah dan ruang depan, “Reneo, Dev. Duduk sini, sebentar, ya. Pakge akan menunjukkan sesuatu kepadamu.” Pakdhe Rusman berjalan ke arah lemari kayu tua yang ada di ruamgan itu, membuka rak bagian bawahnya, lalu diantara tumpukan-tumpukan kertas itu Pakdhe Rusman mengambil sebuah Album foto besar yang tampaknya sudah lama sekali tersimpan disana, tak ternah terjamah selama mungkin belasan tahun. Ya, meski sekarang era dimana segalanya serba canggih, untuk mengabadikan sebuah moment cukup menggunakan handphone saja, tak perlu mencetak fotonya kedalam bentuk kertas foto lalu di tata rapi dalam sebuah album, karena hasil jepretannya sudah bisa dilihat langsung hasilnya di layar handphone. Setelah kembali duduk di kursi kayu tua yang tadi Pakdhe Rusman duduk, dia meletakkan Album foto lawas itu dihadapan Deva, kemudian mulai membukanya. Terlihat foto-foto tua yang sebgaian berwarna hitam putih, tampak warna putih dari foto-foto itu sudah mulai memudar jadi kekuningan, foto-foto itu tentulah diambil pada tahun-tahun sebelum tahun 70an. Di halaman pertama album tua itu tampak wajah seorang lelaki tua mengenakan blangkon dengan wajah teduh, memakai baju khas orang-orang tua jawa tempo dulu, berdiri tegap menatap ke depan, rambut kumis dan jenggotnya sudah terlihat putih semua, Deva mengira-ngira usia lelaki dalam foto itu tentulah lebih dari 80 tahun usianya saat itu, tetapi melihat tubuhnya yang masih tegap dan wajahnya yang memancarkan ketegasan, tentu lelaki itu adalah sosok yang kuat dan tangguh di masa mudanya. Sedangkan di sebelah kanannya, duduk dikursi, seorang wanita yang usianya terlihat berbeda cukup jauh, dia masih terlihat cantik meski jelas bukan lagi belia, rambutnya yang di gelung kebelakang itu mengingatkan Deva pada sosok Ibu Kartini. Wanita itu memakai baju kebaya bermotif bunga-bunga, sementara bawahannya adalah kain jarik motif batik, meski aura kecantikan terpancar kuat, Deva merasakan bahwa tatapan wanita yang ada di sebelah kanan lelaki tua itu sangatlah tajam. Tunggu dulu, masih ada satu sosok lagi yang berada di sebelah kiri lelaki tua itu, wajahnya jauh lebih tua dari wanita yang posisinya duduk, tetapi masih lebih muda jika dibandingkan sosok lelaki tua yang ada di tengahnya, wanita itu juga masih terlihat rona kecantikan diwajahnya. Wanita ini memakai pakaian yang sama dengan wanita satunya, yang membedakan adalah bahwa wanita yang posisinya berdiri itu mengenakan kerudung, tatapan wanita ini jauh lebih tajam dari wanita yang lebih muda. Wajahnya sedikit tertutup oleh kerudung yang dikenakannya. Deva terpana melihat foto tersebut, hanya ada satu foto tapi dicetak ukuran besar, sehingga memenuhi satu halaman awal album foto itu. Deva menatap pakdhe Rusman, tetapi tak ada yang terucap sepatah kata pun dari bibirnya, Deva ingin meminta kejelasan tentang siapa ketiga sosok itu, tetapi Deva sudah bisa merasakan kalau dirinya tentulah memiliki keterkaitan dengan mereka, membayangkannya saja Deva sudah merinding, tentulah lelaki itu bukan seorang lelaki biasa. Pakdhe rusman dapat merasakan kalau tatapan Deva sarat keingin tahuan tentang sosok-sosok di dalam foto itu, Pakdhe Rusman maklum melihat Deva tidak membalik halaman berikutnya dari album foto itu, pakdhe Rusman mengerti bahwa dari satu foto itu saja sudah sedemikian membuat Deva tertarik. “Pakdhe akan ceritakan kepadamu, sebuah kisah tentang latar belakang keluarga besar kita, keluarga yang menyandang nama besar Trah Brajantara Mahaputra. Kamu pasti bertanya-tanya kenap pakdhe baru bercerita sekarang, bahkan Pakdhemu sendiri, Karta, tak akan berani memulai menjelaskan tentang kisah ini kepadamu, tetapi memang saatnya sudah tiba, cepat atau lambat kamu pasti akan pakdhe beritahu juga, walau Pakdhe tak akan menjelaskan dengan rinci, seandainya saja kamu bukanlah yang terpilih itu. Sebelumnya Pakdhe meminta maaf, jujur … Pakdhemu ini belum bisa percaya sepenuhnya kalau kamu adalah yang terpilih sebagai Pewaris terakhir Ajian Sakti Pukulan Brajamusti, Ajian yang secara turun temurun sebenarnya akan tetap dimiliki oleh setiap keturunan Trah Brajantara Mahaputra secara otomatis jika dia adalah seorang laki-laki, biasanya jika ada keturunan Trah Brajantara itu seorang wanita, maka wangsit Aji Brajamusti akan terputus untuk keturunannya, sepatutnya meskipun kamu seorang laki-laki keturunan Trah Brajantara, tetapi kamu terlahir dari garis keturunan wanita, yaitu ibumu, Shofia Brajantara Mahaputra. Kamu tidak mungkin bahkan mustahil menerima wangsit Ajian Brajamusti tersebut. Maka pakdhemu ini sangat kaget saat kamu dan Pakdhemu, Karta datang dengan tubuh penuh luka, tahu-tahu dia mengatakan bahwa kamu juga mewarisi wangsit Ajian tersebut. Pakdhemu, Karta, adalah orang yang lempeng sejak dulu, nggak suka neko-neko dalam hidup, ngomong itu apa adanya, nggak suka dilebih-lebihkan, hal itulah yang mau tak mau membuatku meladeni omongannya. Mungkin kalau orang lain yang berkata, sudah pakdhe usir, karena aturan itu sudah baku secara turun temurun, tak pernah sekalipun terjadi kejanggalan atau penyimpangan terwariskannya Ajian itu.” Pakdhe Rusman menenggak kopinya beberapa teguk, menghisap rokoknya dan di semburkan ke udara, ada beban berat yang dirasakannya untuk melanjutkan melulai cerita tentang sosok dalam foto itu. Deva menunggu. Kepala Pakdhe menengok kekiri dan kekanan, sejenak kemudian terdiam, matanya terpejam, seakan ingin memastikan tak ada orang lain yang mencuri dengar tentang apa yang selanjutkan pakdhe rusman katakan. Pakdhe Rusman menatap Deva tajam, wajahnya sedikit didekatkan mengarah ke wajah Deva, suaranya sedikit lebih pelan sekarang, ”Lelaki tua yang berdiri ditengah itu, tak lain adalah Eyang Gunapathi Brajantara Mahaputra, dia adalah buyutmu, Bapak dari kakekmu dari pihak kita, pihak ibumu. Dialah pemilik pertama Ajian Sakti Pukulan Brajamusti tingkat ketujuh! Tetapi Eyang Gunapathi mencapai tingkatan itu dengan melalui tirakat topo yang sangat berat, hampir-hampir merenggut nyawanya, tetapi tekad baja Eyang Gunapathi untuk mencapa tingkatan ketujuh itu melampaui semua ujian berat yang ditanggungnya, hingga Beliau berhasil mencapai tingkat ketujuh.” Pakdhe Rusman berhenti, nafasnya seperti tersengal, seolah berat untuk melanjutkannya, Deva yang rasa penasarannya sudah memuncak itu langsung bertanya, “Apa tujuan Eyang Gunapathi sampai bersusah payah memaksakan diri untuk mencapai tingkat ketuju itu, Pakdhe?” Pakdhe Rusman tak menjawab, matanya melirik ke arah jendela yang posisinya terkunci dari dalam, seketika seperti terdengar suara langkah kaki menjauh dari jendela itu, dengan cepat Pakdhe berusaha berlari ke arah pintu, membukanya dan berlari keluar untuk mengetahui sosok yang secara diam-diam mencuri dengar omongannya tadi. ‘Kirik! Penguntit itu ternyata menguasai ajian Saipi angin, dengan cepatnya dia menghilang begitu saja tanpa jejak, siapa dia sebenarnya? Lantas apa tujuannya mencuri dengar omonganku?’ batin Pakdhe Rusman memaki kelambatannya menyadari kedatangan sosok yang sudah lenyap tanpa jejak itu. Udara malam mulai terasa dingin, Pakdhe Rusman hanya menatap jalanan beraspal di halaman rumahnya dengan tatapan kosong, namun penuh dengan kekhawatiran. ===
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN