PROLOG (PEMBUKA)
Lelaki kurus berkaca mata itu hanya menatap kosong melihat teman-temannya berkerumun berebutan di papan pengumuman Sekolah, tidak terbersit niatan di dalam hatinya untuk berdesak-desakan dengan mereka hanya untuk sekedar melihat hasil pengumuman kelulusan. Dia bernama Deva Brajantara Mahaputra.
Suara sorak sorai terdengar riuh dari para siswa dan siswi SMAN 8 Teluk Betung, saat mereka melihat namanya tertulis sebagai nama yang dinyatakan lulus oleh pihak Sekolah. Mereka mengekspresikannya dengan beraneka cara, ada yang melompat kegirangan, ada yang berjoget ria, ada juga yang melakukan dengan bersujud syukur.
“Dev! Deva!” Sebuah suara membuyarkan lamunan sosok lelaki kurus berkacamata itu, siapa lagi kalau bukan Yunan Rinaldy,sahabatnya yang selama setahun terakhir menjadi teman sebangkunya.
“Ya, ada apa, Nan?” tanya Deva setelah Yunan mendekat, di tangan Yunan tergenggam dua buah teh botol dingin, satu disodorkan kepada Deva yang langsung menerimanya.
“Gw lulus dong.” Ekspresi ceria terpancar di wajah Yunan saat mengatakan itu.
Deva hanya tersenyum, dia tak menanggapi kata-kata sahabatnya. Yunan lalu duduk di sebelah Deva, saat itu memang Deva sedang duduk di sebuah bangku panjang, yang letaknya di bawah pohon jambu yang tumbuh di pinggir lapangan Sekolahnya. Tempat itu memang selalu jadi tempat favorit Deva selama ini.
Jika jam istirahat, Deva lebih banyak menghabiskan waktunya dengan duduk di situ, walau Yunan sering juga menemaninya, tetapi itu tidak berlangsung setiap hari, hanya kadang-kadang saja.
Deva dikenal punya sikap yang baik kepada teman-temannya, tetapi kepribadiannya yang pendiam membuatnya lebih banyak menyendiri dibandingkan bergaul dengan teman-teman satu kelas.
Hal itu berlangsung sejak pertama kali dia menginjakkan kaki di SMAN 8 ini sebagai siswa baru yang duduk di kelas satu. Hingga kini, di hari pengumuman kelulusannya. Tak banyak yang berubah dalam diri Deva.
Walau Deva terkenal pintar dalam beberapa mata pelajaran, khususnya pelajara Bahasa Indonesia, Agama dan Kesenian, tetapi untuk mata pelajaran Fisika, Matematika dan Bahasa Inggris nilainya bisa dibilang di bawah standard.
Tidak ada dalam kamus Deva untuk menyontek, baik itu saat mengerjakan soal-soal harian, ulangan, maupun saat ujian akhir. Jadi berapa pun nilai yang didapat Deva, maka itu adalah murni hasil usahanya sendiri.
“Woi, malah ngelamun, sih, bukannya seneng lulus ujian,” kata Yunan menepuk pundak Deva, lagi-lagi lamunan Deva buyar. “Lo dari dulu nggak berubah, gw nggak bisa bedain antara lo ngelamun atau lagi mikir, kelihatan sama aja. Hahaha ....”
Deva ikut sedikit tertawa mendengar kelakar sahabatnya, “Ngomong-ngomong, rencana lo mau lanjut kuliah ke mana?”
“Unila pastinya, itu juga kalo lolos. Hehe... lLo sendiri, Dev?” jawab Yunan lalu bertanya balik.
Deva hanya mengangkat bahu, “Oh ya, tadi lo lihat nama gw ada di papan pengumuman?”
“Ya ada lah, tahun ini semua lulus.”
“Alhamdulillaah.”
“Eh Dev, lo lihat gak. Dua orang yang pake jaket dan kaca mata hitam itu, gerak-geriknya mencurigakan, anehnya gw ngerasa dia kok kayak ngeliatin lo gitu.” Yunan mendekatkan badannya dan berbisik kepada Deva.
Deva melihat ke arah dua orang yang dimaksud oleh Yunan, jantungnya sedikit berdegup saat dia lihat dengan mata kepala sendiri bahwa benar salah satu dari dua orang itu pandangannya seakan tertuju kepadanya, meskipun lelaki itu mengenakan kaca mata hitam.
“Lo nggak lapor ke Pak Satpam?” tanya Deva.
“Gw nggak berani. Iya kalo bener itu orang asing yang punya niat jahat, kalau tenyata itu adalah wali murid yang lagi nungguin siswa di sini? Mampus deh gw.”
Namun Deva yang memang merasa gerak-gerik dua orang itu tampak mencurigakan segera berdiri, “Lo tunggu bentar di sini, Nan.”
“Mau kemana?” tanya Yunan heran.
“Pos Satpam.”
“Lo mau lapor?”Yunan tak yakin kalau sahabatnya akan senekat itu.
“Iya,” jawab Deva tanpa memandang wajah sahabatnya, dia melangkah cepat ke arah Pos Satpam. Dua orang Satpam yang sedang duduk dan melihat Deva berjalan mendekat segera berdiri.
“Ada apa, Dev?” tanya Satpam yang lebih muda.
“Itu, Mas. Ada dua orang mencurigakan, mereka mengenakan jaket dan kacamata hitam.”
“Yang mana, Dev?”
“Yang duduk di sana itu.” Deva memalingkan wajahnya dan mengarahkan jari telunjuk kepada dua lelaki itu, tetapi tampaknya tidak ada siapa-siapa di sana.
“Mana, Dev? Gak ada siapa-siapa gitu.”
“Beneran, Pak. Tadi saya lihat mereka duduk di sana.”
“Ya sudah, saya akan periksa dulu.” Satpam itu lalu berjalan ke arah yang ditunjuk Deva, sesekali matanya menatap berkeliling, kalau-kalau dia melihat sosok itu, bahkan sampai dia keluar pagar Sekolah, Satpam muda itu tak melihat sosok yang dimaksud oleh Deva. Akhirnya dia kembali dengan tanpa hasil. Deva pun kembali berjalan ke arah tempatnya semula duduk, ternyata Yunan masih di sana, menunggunya.
“Tadi gw lihat, pas lo berjalan ke Pos Satpam, dua lelaki itu sepertinya tahu kalau lo berniat melaporkan mereka, lalu mereka berdua bangkit dan berjalan keluar lewat pintu gerbang itu, jadi pas lo nunjuk tadi mereka jelas udah kabur keluar.”
“Ya sudahlah, mungkin memang benar mereka adalah wali murid saja. Yuk, ke kelas terus kita pulang.”
“Lo nggak ikutan muter-muter kota bareng teman-teman? Sambil coret-coretan baju?”
“Nggak, Nan. Gw mau langsung pulang aja.”
Kedua sahabat itu lalu berjalan menuju kelas mereka, mengambil tas dan segera meninggalkan Sekolah.
Di pintu gerbang keduanya berpisah, karena rumah Yunan dan Deva berbeda arah. Yunan ke Kota Karang, sedang Deva ke arah Talang.
Sepanjang jalan Deva berjalan gontai. Ada hal berat yang saat ini mengganggu pikirannya, tak lain adalah soal biaya sekolahnya selama ini.
Terakhir sebelum ujian, Pakdhenya terlibat cekcok mulut dengan Budhenya, lantaran Pakdhenya berhutang untuk melunasi biaya SPP Deva yang menunggak beberapa bulan. Jika Deva tak bisa melunasinya maka dia tidak akan bisa ikut ujian, hal itulah yang akhirnya memaksa Pakdhenya berhutang, semata-mata agar Deva, keponakannya itu bisa tetap ikut ujian seperti siswa-siswa lain.
Deva pun tahu diri, kalau selama ini Pakdhe dan Budhenya sudah mati-matian mengusahakan agar Deva bisa tetap sekolah. Deva akhirnya memutuskan membuang mimpinya jauh-jauh untuk bisa kuliah.
Deva terkejut ketika tiba-tiba pundaknya ada yang menyentuhnya, ketika pandangannya melihat sosok yang ada di belakang, tahu-tahu sebuah pukulan mendarat ke wajah Deva.
Deva yang sama sekali tak memiliki kepandaian ilmu bela diri tak bisa menghindar dari pukulan itu, apalagi pukulan tersebut dilayangkan dengan cepat dan bertenaga, sontak saja tubuh Deva langsung terhuyung ambruk.
Deva merasakan kepalanya pusing, pandangan matanya berkunang-kunang, dan sedikit gelap. Bahkan suara-suara di sekitarnya terasa terdengar begitu jauh. Tetapi tak lama pandangannya yang mulai samar itu dapat melihat dengan jelas sosok Pakdhenya yang datang dari arah berlawanan segera menghampiri Deva.
Deva terduduk lemah, sementara dilihatnya dua orang mengenakan jaket dan kacamata hitam sedang mengeroyok sang Pakdhe.
Walau dilihatnya sosok Pakdhe memiliki kepandaian silat, namun dikeroyok dua orang sekaligus tentulah membuatnya kewalahan.
Tak butuh waktu lama kedua orang asing itu berhasil menjatuhkan Pakdhenya, yang langsung menjadi sasaran empuk pukulan dan tendangan mereka.
Deva berusaha bangkit, dadanya bergetar, nafasnya tersengal, bukan karena menahankan rasa sakit bekas tinjuan salah seorang dari dua lelaki berjaket hitam itu, tetapi karena rasa marahnya yang mulai terpancing melihat orang yang selama ini membelanya, menghidupinya, kini terkapar di jalan beraspal.
Tangan kanannya terkepal kuat.
“Lihat bro, anak kemaren sore itu kelihatannya marah, hati-hati, hahaha,” ucap salah satu dari mereka.
Ucapan itu semakin membuat Deva naik emosinya, di mata Deva dua orang itu kini tampak kecil dan remeh saja, tak ada ketakutan dalam dirinya. Deva berjalan dengan mantap menghampiri mereka, salah seorang yang tadi meninju wajah Deva lalu maju.
“Lo berani? Gak terima lo gw pukul tadi? Mau gw tambah lagi? Atau ...” Lelaki itu tak melanjutkan kata-katanya, karena aneh, dengan gerakan yang sulit dilihat tangan kanan Deva sudah menghantam pipi orang itu.
Orang itu tampak melotot, mulutnya tak bisa mengatup, ada beberapa giginya yang tadi terpental akibat terkena pukulan Deva. Tetapi yang akhirnya membuat orang itu jatuh pingsan adalah karena rahangnya kini telah patah, rasa sakit yang luar biasa dirasakannya, sehingga tak kuasa untuk berteriak kesakitan.
Temannya yang satu lagi berusaha untuk maju juga, dia seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya, bagaimana mungkin temannya yang tubuhnya besar tinggi dan berotot bisa langsung tumbang terkena pukulan seorang anak SMA yang badannya kurus dan berkaca-mata itu?
Dengan sepenuh tenaga dia mencoba melayangkan pukulannya ke arah Deva.
Namun anehnya, lagi-lagi Deva bergerak lebih cepat dari orang itu. Kali ini tangan kiri Deva yang merangsek ke depan dan tahu-tahu sudah bersarang di dagu orang itu.
Seperti layaknya di film-film, orang itu terpental tinggi ke atas lalu jatuh kembali ke bawah, tubuhnya menghantam aspal dengan keras. Dia juga mengalami nasib yang sama, tak berkutik karena pingsan.
Beberapa orang yang ada di sekitar tempat perkelahian itu hanya melongo melihat perkelahian singkat Deva melawan dua orang itu yang berhasil dimenangkan oleh Deva.
Deva tak mempedulikan tatapan heran bercampur kagum mereka, karena yang kini ada dipikirannya adalah membawa Pakdhenya pergi meninggalkan tempat itu.
Dia sendiri tak peduli siapa dua orang itu sebenarnya. Apakah hanya dua orang jahat yang sengaja ingin memalaknya? atau justru dua orang yang sebenarnya menjadi suruhan seseorang? Deva tidak berpikir sampai sejauh itu.
Perlahan dia memapah Pakdhenya untuk bangkit, lalu setelah berdiri sempurna keduanya berjalan tertatih meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan tak ada obrolan di antara keduanya, tetapi saat mereka berdua tinggal satu belokan lagi ke arah rumah, Pakdhenya justru berbelok ke arah yang berbeda.
“Pakdhe mau kemana?” Tanya Deva penasaran.
“Sudah, Dev. Jangan banyak tanya, kamu ikuti Pakdhe saja.”
Deva tak membantah, langkah kakinya kini mengikuti Pakdhenya yang jelas semakin menjauh dari arah ke rumah Pakdhe.
Tak lama mereka tiba di sebuah rumah. Rumah itu adalah rumah Pakdhe Rusmanto, Deva sangat mengenal Pakdhe Rusman, karena Pakdhe Rusman tak lain adalah kakak dari Pakdhe Karta dan Ibunya.
Pakdhe Sukarta mengetuk pintu rumah Pakdhe Rusman yang terbuat dari papan triplek yang sudah terlihat kusam bercat hijau lumut itu seraya mengucapkan salam. Tak butuh menunggu lama, karena dari dalam rumah terdengar suara jawaban salamnya, sebuah suara yang sedikit berat disertai sedikit terbatuk.
“Masya Allah, Karta? Deva? Kalian kenapa ini? Kenapa wajah kalian pada babak belur begini? Ayo, mari masuk dulu.” Keterkejutan yang luar biasa terpancar dari wajah Pakdhe Rusman, ini adalah kali pertama Pakdhe Rusman melihat adiknya terluka begitu. Pakdhe Rusman sendiri tahu bahwa adiknya itu adalah seorang jawara pencak yang cukup disegani di masa mudanya, tetapi sejak menikah dengan istrinya yang sekarang, yaitu Budhe Ratih, Pakdhe Karta seolah berhenti total dari dunia silatnya dan memilih hidup normal sebagimana layaknya orang lain pada umumnya. Bekerja pagi pulang sore dan menghabiskan waktu kosongnya untuk keluarga.
Pakdhe Karta dan Deva lalu duduk di kursi kayu tua, sedangkan Pakdhe Rusman bergegas ke dalam. Terdengar pembicaraan dengan suara pelan antara Pakdhe Rusman dengan istrinya, tak jelas apa sebenarnya yang tengah diperbincangkan suami istri itu. Tak lama Pakdhe Rusman sudah keluar dengan membawa sebuah kotak P3K.
Dengan telaten Pakdhe Rusman membersihkan luka-luka di wajah dan tubuh Pakdhe Karta dan Deva, sampai akhirnya semua luka itu sudah tertutup rapi. Saat Pakdhe Rusman tengah membereskan alat-alat yang tadi dia gunakan, keluar Budhe Yuni dari pintu ruang tengah dengan sebuah nampan.
“Deva ngopi juga, kan?” suara Budhe Yuni yang ramah, matanya tertuju kepada Deva, Deva tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Budhe Yuni lalu meletakkan ketiga gelas kopi panas itu di atas meja kayu beralaskan kain berwarna krim dengan motif bunga. Selanjutnya Budhe ikut duduk di salah satu kursinya, dari mata Pakdhe Rusman dan Budhe Yuni sudah terlihat pandangan yang penuh tanda tanya besar tentang apa yang menimpa Pakdhe Karta dan Deva.
“Sekarang katakan apa yang terjadi. Kenapa kalian berdua bisa terluka seperti ini?” ucap Pakdhe Rusman dengan pelan kepada Pakdhe Karta.
Pakdhe Karta terdiam sejenak, menarik napas panjang lalu menghembuskannya, tangan kanannya meraih sebungkus rokok Jisamsu dan koreknya dari saku baju, mengambil sebatang dan menyalakan.
“Bukan kejadian yang kami alami ini yang sebenarnya mau kuceritakan, tetapi ini tentang Deva, Kangmas.” Saat berbicara itu, pandangan Pakdhe Karta melirik sekilas kepada Deva, Deva sendiri dapat merasakan suara Pakdhe Karta bergetar saat mengatakan itu, juga tangannya yang memegang sebatang rokok kretek itu ikut pula bergetar.
Semakin besar rasa penasaran dalam benak Pakdhe Rusman dan Budhe Yuni mendengar penuturan Pakdhe Karta itu, di saat terluka begitu Pakdhe Karta malah membicarakan hal lain.
“Maksudmu bagaimana?’ tanya Pakdhe Rusman meminta kejelasan.
“Kamu tentu ingat ucapan Bapak saat kita bertiga masih tinggal di desa 20 tahun yang lalu?”
Ekspresi wajah Pakdhe berubah mengeras. Dia berpikir sedikit mengingat-ingat, selanjutnya tampak ekspresi tidak percaya di wajah Pakdhe Rusman dan langsung menatap Deva lekat-lekat. Saat pandangan matanya menatap ke arah Pakdhe Karta untuk meminta penjelasan lebih lanjut, Pakdhe Karta sendiri hanya mengangguk pelan dengan mantap.
“Ja ... Jadi?” ucap Pakdhe Rusman terbata-bata.
Deva merasa bingung dengan apa yang tengah diperbincangkan kedua Pakdhenya itu.
“Iya, Kangmas. Kurasa Deva inilah ksatrio terpilih, seperti yang diceritakan Bapak dulu, aku menyaksikan sendiri kekuatannya. Deva lah sang pewaris Ajian Brajamusti Terakhir itu.”
Ruangan tamu itu seketika menjadi hening.
===