Deva memandangi wajah kedua Pakdhenya itu, juga wajah Budhe Yuni, walau pun Deva belum memahami sepenuhnya apa yang tengah diperbincangkan mereka, tetapi mendengar kata Brajamusti tentu bukan kata yang asing baginya, bahkan bisa dibilang sangat umum. Hampir semua orang akan tahu jika ditanya tentang Brajamusti, yaitu sebuah ilmu yang mana jika seseorang memiliki ilmu itu maka dia akan memiliki pukulan yang dahsyat, yang mampu menghancurkan batu, atau benda-benda keras lainnya dengan pukulan tangannya. Deva teringat dengan film-film lawas yang pernah ditontonnya tentang kedahsyatan ilmu ini, tetapi kini secara aneh kedua Pakdhenya mengatakan kalau dirinya adalah pewaris terakhir dari ajian hebat Brajamusti.
Pakdhe Rusman menatap wajah Deva, kali ini dengan tatapan mata penuh rasa kasihan, “Pantas saja, aku sudah menduga kalau garis keilmuan ini akan mengalir dalam diri keturunan salah satu dari Trah Brajantara Mahaputra. Sejak dulu aku berkeyakinan kalau kecelakaan mobil yang menimpa Adinda Shofia dan suaminya, Masruri Habiburrahman itu bukan murni kecelakaan.”
Deva yang saat itu mendengar nama kedua orang tuanya disebut oleh Pakdhe Rusman langsung terlonjak, “Maksud Pakdhe apa?”
Sebelum Pakdhe Rusman membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Deva, terlebih dahulu Pakdhe Karta menyela, “Sudah ... Sudah, mari kita minum dulu kopinya.”
Selanjutnya ketiganya segera menenggak kopi yang dibuatkan Budhe Yuni.
“Kalau benar Deva yang terpilih, bukannya aneh, Mas? Karena dia lahir dari garis keturunan ibunya, bukan dari garis saudara laki-laki ibunya. Maksudku, kenapa menitis pada keturunan Dinda Shofia?” Kali ini Budhe Yuni yang melontarkan pertanyaan kepada suaminya.
“Kita tidak bisa menentukan sendiri lewat garis keturunan siapa ilmu itu akan menitis, karena kesaktian Ajian Brajamusti itu lebih mampu mendeteksi lewat garis keturunan yang mana yang lebih tepat. Perubahan yang di luar akal logika kita,” ujar Pakdhe Rusman menjelaskan kepada istrinya.
Pakdhe Rusman lalu menatap Pakdhe Karta, “Bisa Dimas Karta jelaskan, kronologi kejadian yang menimpa Dimas dan Deva ini? Juga bagaimana sampai Dimas berkeyakinan tentang siapa pewaris terakhir dari Ajian Brajamusti?” tanya Pakdhe Rusman.
Pakdhe Karta lalu menceritakan kejadian yang tadi dilihatnya, bermula dari niatnya untuk menjemput Deva ke sekolahnya, karena entah mengapa Pakdhe Karta punya firasat buruk tentang Deva, hingga di tengah jalan tadi dia melihat sendiri Deva dikeroyok dua orang berjaket dan berkaca mata hitam tak dikenal. Pakdhe Karta sendiri meskipun pernah menjadi jawara, namun karena sekian puluh tahun tak lagi mengasah kepandaian beladirinya menjadi kesulitan untuk melawan dua lelaki itu, hingga akhirnya dia jatuh oleh pukulan lawan dan saat itulah dia melihat Deva bangkit dan menyerang dua lawannya dan menumpangkan keduanya hanya dengan satu pukulan di wajah masing-masing.
Pakdhe Rusman maklum, demi dilihatnya fisik Deva yang sebenarnya bukanlah fisik seorang petarung, dia bisa menduga-duga kekuatan dan kecepatan pukulan Deva dari fisiknya. Jangankan menumbangkan dua orang sekaligus dengan masing-masing satu pukulan, untuk sekedar melukai salah seorangnya saja rasanya sangatlah mustahil.
Lagi pula dari sorot mata Pakdhe Karta saat dia bercerita tidak tampak ekspresi kebohongan. Semua yang baru saja diceritakannya terasa nyata, tidak dibuat-buat atau dibumbui dengan yang tak sesuai dari kenyataannya.
“Baiklah, Deva. Sebaiknya kamu sekarang tinggal di rumah Pakdhe saja. Soal barang-barangmu di rumah Pakdhe Karta, nanti Pakdhe Karta yang akan mengantarkan ke sini, banyak hal yang ingin Pakdhe sampaikan dan ceritakan pada Deva. Untuk hari ini karena luka di wajahmu baru Pakdhe perban, kamu boleh mandi tapi jangan sampai kena bagian wajah.” Pakdhe Rusman lalu menarik napas panjang dan menghempaskan punggungnya.
“Kalau begitu aku pamit, Kangmas. Biar nanti anakku, Ayu yang kuminta mengantarkan pakaian Deva ke sini,” ucap Pakdhe Karta bangkit dari duduknya setelah mematikan rokok Jisamsu yang sudah pendek itu.
“Ya, Dimas. Hati-hati saja di jalan. Urusan Deva selanjutnya biar aku saja yang tangani.” Pakdhe Rusman mengantarkan Pakdhe Karta ke pintu rumah, sementara Pakdhe Karta melangkah cepat meninggalkan rumah Pakdhe Rusman.
===
“Ya ampun, Pak! Kamu kenapa?! Wajah dan tanganmu kenapa penuh perban begitu? Mana Deva?” Penuh kekhawatiran Budhe Ratih menatap suaminya setelah dia membukakan pintu.
Pakdhe Karta tak menjawab sepatah kata pun, dia menatap sekilas istrinya lalu berjalan masuk dan menghempaskan tubuhnya di kursi.
“Aku tadi dari rumah Kangmas Rusman, dia yang mengobati luka-lukaku ini. Deva masih di sana dan sepertinya akan tinggal di sana cukup lama. Soal luka-lukaku ini tadi ada orang tak dikenal yang cari gara-gara,” jawab Pakdhe Karta akhirnya.
Budhe Ratih dengan wajah cemas kemudian duduk di sebelah suaminya, “Kok Deva nggak pulang ke sini?”
“Biarlah, dia juga luka di wajahnya. Biar dia dirawat oleh Kangmas Rusman. Ayu mana?”
“Ayu belum pulang. Biarin saja, namanya juga hari kelulusan, mungkin sedang bersama teman-temannya.”
Ayu memang seumuran dengan Deva, meski usia mereka tak terpaut jauh. Keduanya bersekolah di SMA yang berbeda. Deva lahir beberapa bulan setelah kelahiran Ayu, sejak kecil Deva memanggilnya Mbak Ayu, mereka sangat akrab layaknya kakak beradik kandung. Dalam soal pelajaran pun keduanya sering kali terlihat belajar bersama.
“Kopi. Pak?” tanya Budhe Ratih seraya bangkit dari duduk.
“Nggak usah, Bu. Sudah ngopi tadi di rumah Kangmas Rusman.”
Budhe Ratna lalu berjalan ke dapur, menyiapkan makan siang untuk suami dan putrinya, Ayu.
“As Salaamu ‘alaikum! Ayu Pulang!” Ayu masuk kerumahnya yang tadi memang pintunya tak ditutup rapat oleh Budhe Ratih, melihat Bapaknya tengah duduk di ruang depan Ayu spontan ikut duduk setelah mencium tangan Bapaknya.
“Kok Bapak penuh perban ngene?” tanya Ayu khawatir, belum pernah dia melihat Bapaknya sama sekali mengalami luka sebanyak itu.
“Ndak apa-apa. Sudah sana salin dulu.”
“Deva ndi, Pak?” tanya Ayu lagi.
“Di rumah Pakdhe Rusman. Kalau kamu sudah selesai salin dan makan siang, tolong kamu masukkan pakaian-pakaiannya Deva, terus antarkan ke rumah Pakdhe Rusman, sementara waktu Deva akan tinggal disana.”
Ayu pun bergegas ke kamar untuk salin baju.
===
Deva duduk di dapur, ikut membantu Budhe Yuni memasak untuk makan siang, Budhe Yuni memang belum menyiapkan makan siang suaminya, lantaran dia pulang agak siang dari berdagang sayuran di Pasar Kangkung, Teluk Betung. Sehari-hari Budhe Yuni berjualan sayuran mentah di Pasar, berangkat bakda Shubuh dan pulang biasanya sebelum Zhuhur, tetapi hari ini dia pulang lewat waktu Zhuhur.
Cekatan Deva membuang isi perut dari ikan-ikan lele dalam baskom di hadapannya, “Saya belum paham apa yang dibicarakan oleh Pakdhe Rusman dan Pakdhe Karta tadi, Budhe.”
“Budhe sendiri ya ndak terlalu paham, Dev. Tetapi memang dulu pernah Pakdhemu itu cerita bahwa di garis keturunannya, Trah dari Kakekmu, yaitu Trah Brajantara Mahaputra, bahwa seluruh keturunan buyutmu dari pihak ibumu, semua keturunannya yang laki-laki pasti memiliki Ajian Sakti Brajamusti, tetapi tingkatannya ndak tinggi, hanya di tingkat dua sampai tiga, untuk mencapai tingkat lima kabarnya harus melalui topo, sementara orang yang terpilih akan bisa mencapai ke tingkatan terakhir di tingkat ketujuh dengan cepat dan mudah dibandingkan orang yang bukan terpilih. Masalah apa perbedaannya dari masing-masing tingkatan-tingkatan itu, Budhe ndak paham, Dev. Biar nanti Pakdhemu saja yang akan menjelaskan.” Panjang lebar Budhe Yuni menjawab pertanyaan Deva sambil tangannya mengulek cabe di campur tomat di gilingan yang terbuat dari batu.
Deva berpikir keras, berusaha memahami apa yang dikatakan Budhe Yuni barusan, karena selama ini yang Deva ketahui adalah bahwa Brajamusti itu hanyalah satu jenis-jenis ilmu pukulan, bisa dipelajari oleh siapa pun, asalkan mau menempuh laku yang kabarnya memang tidak mudah, tetapi Deva sama sekali tak tahu kalau ternyata Ilmu tersebut ada beraneka tingkatan. Lantas apa yang membedakan dari masing-masing tingkat tersebut? Pertanyaan itu meski terus berusaha Deva pecahkan tetap saja tak ditemui jawaban yang pasti, karena pengetahuannya akan Ilmu-ilmu Kejawen itu sangatlah minim.
Deva sendiri kadang merasa aneh, apakah ilmu semacam itu masih dibutuhkan dan bermanfaat di jaman yang sudah serba maju dan modern ini? Apalagi di negara ini sudah ada hukum negara yang melindungi warganya. Ada Polisi selaku penegak hukum, tindakan kekerasan apalagi sampai melukai bisa saja membuat orang yang melakukan tindak kekerasan itu justru akan berurusan dengan pihak yang berwajib, bahkan ujung-ujungnya bisa saja malah membawa ke jeruji penjara. Deva jadi merinding sendiri membayangkan kiranya dia sampai masuk ke dalam penjara gara-gara memukul orang, apalagi memakai Ajian Sakti Brajamusti, bisa-bisa langsung mati orang yang dipukulnya.
Deva kembali teringat pada dua lelaki berjaket dan berkacama hitam yang tadi menyerangnya, dan akhirnya kedua orang itu pingsan akibat pukulannya. Bagaimanakah nasib mereka sekarang?
Apakah benar dia tadi memukul kedua orang itu dengan pukulan Brajamusti? Bukankah selama ini Deva sendiri tak pernah mempelajari ilmu tersebut? Bisa saja kejadian siang tadi di jalan itu hanyalah sebuah kebetulan belaka, karena dilanda amarah maka kekuatannya jadi berlipat ganda.
Kenapa Pakdhe Karta sampai begitu yakin kalau dirinya memiliki Ajian Sakti Brajamusti? Apakah benar bahwa dia pewaris terakhir dari garis keturunan ibunya?
“Kok malah melamun to, Dev. Sini lelenya mau Budhe goreng, buat makan kita nanti.” Tersentak Deva pun sadar dari lamunannya, dia tersenyum dan menyerahkan baskom berisi beberapa potong ikan lele besar yang kini sudah bersih isi perutnya. Siap di goreng oleh Budhe Yuni.
“Sana, kamu tiduran saja dulu di kamar Masmu, sejak Masmu kuliah di Jogja kamarnya kosong tak ada yang mengisinya. Sedang adik Masmu nggak mau tidur di sana karena dia sudah punya kamar sendiri. Kamar Masmu sudah Budhe bersihkan kok,” kata Budhe Yuni memandang sebentar pada Deva, lalu melanjutkan memasukkan Ikan-ikan lele itu ke penggorengan yang sudah terlihat panas.
“Iya, Budhe, Deva mau istirahat ke kamar dulu. Ngomong-ngomong sudah berapa lama Mas kholil di Jogja, Budhe?” tanya Deva.
“Sudah dua tahun ini, Dev,” jawab Budhe Yuni tanpa menolehkan wajahnya.
Deva lalu melangkah menuju kamar anak pertama Budhe Yuni yang dipanggilnya tadi dengan panggilan Mas Kholil itu. Ketika Deva hendak meraih gagang pintu, tahu-tahu pintu kamar sebelahnya terbuka. Keluarlah seorang gadis cantik dari pintu itu, melihat sosok Deva di depan pintu kamar Mas Kholil, gadis itu kaget untuk sejenak, tetapi kekagetannya berubah menjadi senyuman lebar. Dia menepuk bahu Deva.
“Loh ... Mas Deva toh? Piye kabare, Mas? Sombong men loh, jarang maen ke sini. Eh ... Itu muka kenapa diperban gitu?” Tahu-tahu tangan gadis itu hendak memegang wajah Deva yang langsung ditepis pelan oleh Deva.
“Jo dicekel to, sakit iki. Panjang ceritanya. Kamu dah cantik gitu mau ke mana, Nit?” Deva memandang sepupunya itu dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Gadis yang bernama Anita Brajantara Mahaputra itu malah cengar-cengir, “Mau ke rumah teman,, Rencananya nanti malam mau ngadain pesta perpisahan bareng teman-teman SMP, di rumah salah seorang teman lainnya.”
“Pestanya nanti malam, kok berangkatnya sekarang? Tuh ... Budhe lagi goreng lele kesukaanmu,” kata Deva.
“Oh ya? Kalo gitu berangkatnya tunda dulu deh,” ujar Anita yang langsung ngeloyor ke Dapur, Deva yang tahu sifat sepupunya sudah maklum. Anita paling suka goreng lele buatan Ibunya itu, dia pun pergi ke dapur pasti cuma mau ngrecoki ibunya saja, sambil ngemil beberapa lele yang sudah di goreng, biasanya Budhe Yuni hanya ngomel sebentar, karena toh omelannya tak berpengaruh pada Anita yang akan tetap cuek sambil menikmati lele kesukaannya sampai bersih tinggal tulang.
Deva menggelengkan kepala dan senyum-senyum sendiri membayangkan tingkah sepupunya, dia melanjutkan membuka pintu kamar Mas Kholil lalu merebahkan tubuhnya yang masih terasa ngilu-ngilu dan lelah itu ke atas kasur springbed.
Beberapa menit kemudian Deva sudah terlelap tidur. Tanpa sempat mengunci kembali kamarnya, sehingga pintunya masih setengah terbuka.
===
“Sudah cukup, Eyang! Turunkan saya dari sini. Saya takut!”
“Tidak, Deva. Kamu takkan kubiarkan turun dari puncak bukit itu sebelum lolos dari ujianku!” Terdengar suara dari bawah, suaranya terdengar sedikit menggema di antara beberapa bukit yang ada di tempat itu. Sementara Deva kini berdiri di sebuah hamparan di puncak sebuah bukit yang luasnya tidak lebih sekitar ukuran tiga kali tiga meter, sementara itu dihadapannya ada sebuah goa yang terlihat gelap dari luar.
Deva menatap ke belakang, yang mana terdapat tebing curam, dan di ujung bawah sana meski jauh Deva bisa melihat sosok lelaki tua mengenakan pakaian serba putih dan ikat kepala menyerupai sorban yang juga berwarna putih.
Deva berbalik kembali menatap lubang goa yang gelap di depannya. Perlahan terlihat dua pancaran cahaya putih, Deva berusaha menerka cahaya apakah kiranya yang terlihat semakin besar itu.
Alangkah terkejutnya Deva saat akhirnya kedua cahaya terang itu semakin jelas dan keluar dari dalam goa. Jantung Deva serasa berhenti berdetak demi dilihatnya makhluk besar yang kini berjalan dengan empat pasang kakinya yang kokoh dengan jari-jarinya memperlihatkan kuku-kuku yang runcing.
Makhluk itu berjalan pelan mengitari Deva, Deva hanya bisa menggigil ketakutan melihat sorot tajam mata makhluk itu. Bahkan untuk sekedar berteriak minta tolong, meski itu pasti akan sia-sia, Deva merasa tak mampu. Lidahnya terasa kelu.
Sosok itu mengaum, mengibaskan bulu-bulunya yang berwarna putih dan memperlihatkan taring-taringnya yang tajam.
===