BAB 003. ILMU SILAT JADIAN

2095 Kata
Motor yang dinaiki oleh Pakdhe Rusman, dimana Deva ikut dengan duduk diboncengannya meninggalkan Desa Talang, melewati Jalan Basuki Rahmat, lalu berbelok dan melintasi jalan sepi yang akan menuju ke Kali Akar, selanjutnya jalanan kini menanjak curam. Sesampainya di Desa Sukarame Dua, Pakdhe menghentikan motornya setelah memasuki sebuah halaman luas, tampak sebuah rumah yang cukup besar berdindingkan bata merah, beberapa anak-anak terlihat bermain berlarian di halaman. Pakdhe Rusman turun dari motornya, Diikuti oleh Deva di belakang, dia melangkah menuju pintu rumah yang terbuka lebar, tanpa mengetuk pintu Pakdhe Rusman berseru, “Kulo nuwun!” “Monggo.” Terdengar suara seorang wanita dari dalam rumah, seorang wanita yang usianya berkisar empat puluhan keluar, ketika mengenal sosok yang datang bertamu, wanita itu lantas mempersilahkan Pakdhe Rusman dan Deva untuk masuk. “Kang Danu ono, Mbakyu?” “Ono, lungguh sek, tak mlebet arep nyeluk Danu.” “Monggo, Mbakyu” Wanita itu masuk, Pakdhe Rusman dan Deva duduk di kursi. Terlihat dari ekspresi wajah Pakdhe Rusman yang tak tenang, sepertinya kejadian semalam saat orang yang mencuri dengar pembicaraannya dengan Deva dan akhirnya bisa lolos itu masih menjadi pikirannya. Tak lama keluar seorang lelaki yang tak lain adalah Kang Danu yang di cari Pakdhe Rusman. “Wah, nggak biasanya kamu ke sini, Rusman. Ada kabar penting apa ini?” Kang Danu menyalami Pakdhe Rusman dan Deva. “Perkenalkan, Kang. Ini keponakanku, anak dari Almarhumah adikku, Shofia.” Kang Danu hanya senyum-senyum memandang Deva seraya menganggukkan kepalanya, “Ya, lalu ada kabar apa ini?” Dengan ringkas Pakdhe Rusman segera menceritakan semua kejadian sejak Deva dan Pakdhe Karta berkelahi dengan dua orang tak dikenal, sampai pada kejadian semalam yang masih merisaukan Pakdhe Rusman, setelah itu barulah Pakdhe Rusman terdiam menatap Kang Danu menunggu responnya. Kang Danu menatap Deva dengan pandangan tak percaya, “Kalau benar Deva ini adalah ksatrio yang terpilih sebagai pewaris Ajian Brajamusti, satu-satunya orang yang bisa mengantarkan Deva mencapai tingkatan ketujuh hanya ada satu orang, yaitu kakeknya sendiri, Bapakmu, Rus. Mbah Sastro Brajantara Mahaputra. “Aku tahu kekhawatiranmu, meninggalnya Shofia pastilah masih membekas di hatimu, aku pun punya firasat yang sama denganmu, bahwa kejadian itu bukan kecelakaan biasa, tapi ada yang sengaja melakukannya.” Deva yang mendengar kembali nama ibunya disebut, apalagi soal kecelakaan yang selama ini dipercaya Deva adalah murni kecelakaan, tetapi kenyataanya Pakdhe Rusman dan Pakdhe Karta menolak menganggap itu sebagai sebuah kecelakaan, kali ini malah bertambah lagi satu orang yang mengatakan itu, rasa penasaran Deva kembali bangkit, “Maaf, Mas Danu, Deva ingin penjelasan lebih jauh, kenapa Mas tidak percaya kalau kematian Bapak dan Ibuku murni karena kecelakaan?” Sebelum Kang Danu menjawab, dari dalam keluar seorang gadis berparas cantik, Deva menerka kalau usia gadis itu tentulah tak jauh dari usianya sendiri. Gadis itu meletakkan tiga gelas kopi panas di meja, lalu kembali masuk ke dalam. “Ceritakan saja semuanya, Kang. Sudah saatnya Deva mengetahui kebenaran kisahnya,” kata Pakdhe Rusman. “Baiklah. Begini ceritanya. Kedua orang tuamu dikabarkan meninggal karena kecelakaan, mobilnya masuk ke jurang, lalu terbakar. Kedua jasad kedua orang tuamu ditemukan sudah hangus. Sementara aku dan Pakdhemu ini yang sehari sebelumnya hendak bertamu ke rumah orang tuamu, melihat Bapakmu sedang bertengkar dengan seorang lelaki yang tak kami kenal, melihat kedatangan kami sepertinya membuat lelaki itu jadi sedikit ciut nyalinya, dia pun pergi, tetapi sempat menunjuk-nunjuk kepada Bapakmu, seperti orang yang sedang mengancam, ketika kami menanyakan kepada Bapakmu, siapa orang itu? apa masalahnya? dan apa yang dikatakannya saat sebelum pergi? Bapakmu hanya tersenyum tak mau menjawab, cuma bilang nggak apa-apa. Kami yang tahu kalau Bapakmu sedikit banyak punya juga kepandaian silat tinggi tak merasa khawatir. Sampai keesokan harinya kabar meninggalnya kedua orang tuamu kami terima. Saat itu kami pun langsung teringat pertengkaran Bapakmu dengan lelaki asing itu, dan kami menduga pastilah kematian kedua otang tuamu itu ada sangkut pautnya dengan orang asing tersebut, saat dicek kendaraan yang dipakai oleh Bapakmu ternyata kondisinya semua baik. Bapakmu juga orang yang cukup hati-hati saat berkendara, apa yang kuduga dan Pakdhemu duga ternyata sama, kalau kematian Bapakmu tak lain karena terkena santet.” “Santet?!” tanya Deva menyela Kang Danu bercerita. Deva bingung dengan kata-kata Kang Danu, karena meskipun saat itu masih kecil, Deva tahu betul kalau Bapak dan Ibunya berangkat dalam keadaan sehat, tidak sedang mengalami menderita satu penyakit aneh. Pakdhe Rusman mengerti kebingungan yang Deva rasakan, “Kamu pikir Santet itu hanya menyerang manusia dengan penyakit aneh ya, Deva?” Deva mengangguk, membenarkan tebakan Pakdhenya akan apa yang baru saja dipikirkannya. Kang Danu kini yang bicara, “Santet itu sangat banyak jenisnya, Deva. Kebanyakan memang yang dituju adalah tubuh seseorang yang dibuat jadi sakit, tetapi inti dari Santet itu sendiri adalah membunuh tanpa menyentuh, atau secara globalnya menghancurkan tanpa terlihat menghancurkan, maka caranya bisa bermacam-macam. Jadi ada jenis Santet kecelakaan, yaitu orang yang di Santetnya akan dibuat mati dengan cara kecelakaan, bukan dengan cara disakiti fisiknya, Santet ini termasuk jenis Santet yang tinggi. Ada juga Santet yang digunakan untuk membakar rumah atau gedung dengan membuat korslet dan lain-lain. Sekarang Deva paham, kan?” Deva hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, bagi Deva ini jelas sebuah pengetahuan baru.” “Oh ya. Pakdhe. Semalam pertanyaanku belum Pakdhe jawab, soal foto itu.” Kang Danu melihat kepada Pakdhe Rusman, Pakdhe Rusman lalu berkata, “Itu loh, Kang. Foto Eyang Gunapathi Brajantara Mahaputra.” Kang Danu lantas menyela,” Deva, sebaiknya soal siapa Eyang Gunapathi dan kedua istrinya itu, Deva tanyakan saja langsung pada Kakekmu, dia akan lebih bisa menjelaskan dengan medetil kisahnya. Tetapi yang pasti, jangan Deva berpikir tentang sesuatu yang buruk terhadap Eyang Gunapathi. Kenapa Beliau sampai memiliki dua orang istri itu, juga kenapa sampai rela melakukan tirakat untuk mencapai tingkatan ketujuh Ajian Brajamusti. Semua itu ada cerita dibaliknya, yang penting saat ini adalah dirimu. Aku tak perlu mengetes Ajian Brajamustimu, aku bisa merasakan bahwa dalam dirimu memang saat ini mengalir Ajian Brajamusti tingkat dasar, seperti tingkatan yang dimiliki semua keturunan Eyang Gunapathi yang terlahir sebagai laki-laki. Kamu jelas termasuk yang di luar adat kebiasaan, karena seharusnya Ajian itu terputus di ibumu. Berdasarkan penglihatanku, ada orang-orang yang tahu kalau Deva masih keturunan Shofia, dan mereka khawatir kalau Deva mewarisi Ajian Brajamusti ini, karena sejak awal mereka ingin memutus habis keluarga Shofia dan suaminya, Masruri Habiburrahman. Secepatnya kamu harus bertemu dengan kakekmu, tetapi sangat disayangkan, baik aku maupun Pakdhe-Pakdhemu tak ada yang bisa mengantarkannya. Kamu harus pergi sendiri, karena kalau kami antar tentulah orang-orang itu akan tahu. Namun meskipun kamu pergi sendiri, aku akan membekalimu satu Ilmu Silat Jadian, untukmu berjaga-jaga selama perjalanan. Karena kalau untuk melatihmu silat saat ini sudah tak mungkin, waktumu sangat mendesak. Tentu berbeda jika kamu berhasil menemui kakekmu. Di sana kamu akan aman dalam pengawasannya, dan leluasa untuk mengasah dan meningkatkan kemampuan Ajian Brajamustimu. Aku tahu, Deva. Saat ini kamu masih bingung pada apa yang kamu alami dan sebenarnya kamu tak mau berada dalam masalah ini, tetapi inilah takdirmu. Kamu bersedia atau tidak, orang-orang yang mengincarmu pasti akan selalu mencari jalan untuk menyakitimu, bahkan membunuhmu.” Deva terdiam, terpaku meresapi apa yang secara panjang lebar barusan dipaparkan oleh Kang Danu. Memang benar, jauh dalam hatinya, Deva tak menginginkan ini semua, dia tak mau sakti, Deva yang terlahir di jaman yang sudah modern ini tak berminat masuk ke dalam dunia yang baginya seperti dongengan semata, dunia yang hanya ada di dalam film-film, namun kenyataannya kini dia sudah ditarik oleh takdir untuk masuk dalam lingkaran dunia itu. Akhirnya mau tak mau Deva memutuskan bersedia menerima Ilmu Silat Jadian yang akan diajarkan Kang Danu padanya. “Bagus kalau kamu akhirnya bersedia, malam nanti kita akan mulai. Ini tak akan butuh waktu lama. Hanya saja kalau kita lakukan siang hari ini, waktu dan kondisinya tidaklah tepat.” Selanjutnya obrolan antara Kang Danu dan Pakdhe Rusman berganti topik. Mereka membicarakan soal pekerjaan masing-masing, sebuah topik yang tak Deva minati, maka dia pun berpamitan untuk duduk saja di luar dengan alasan mencari udara segar. Deva pun beranjak dari kursinya menuju ke luar, duduk di kursi teras rumah Kang Danu. Menatap anak-anak yang sedang bermain di halaman rumah Kang Danu yang luas. === Dalam sebuah kamar berukuran 2x4 meter itu, Kang Danu berdiri berhadap-hadapan dengan Deva. Deva sebenarnya merasa risih, ini benar-benar pengalaman baru baginya. Dilihatnya Kang Danu tengah berdiri dengan memejamkan mata, tangannya tepat menyentuh d**a Deva, sedang tangan satunya lagi memegang tasbih yang diputar-putar pelan, tanda Kang Danu tengah melafalkan dzikir-dzikir khusus. Malam ini sebagaimana yang dikatakan Kang Danu siang tadi, akan memberinya sebuah ilmu silat secara instan, di sebut dengan Ilmu Silat Jadian. Sebelumnya Kang Danu sempat menjelaskan kepada Deva, bahwa silat jadian adalah sebuah ilmu yang mampu membuat seseorang yang memilikinya akan bisa melakukan gerakan-gerakan silat secara otomatis. Gerakannya lebih mengandalkan energi ghaib yang sifatnya sangat sensitif dan ekstra reflek. Hanya cukup membacakan doa pembuka kunci Ilmu Silat Jadian, seseorang yang tubuhnya telah diisikan energi Ilmu Silat Jadian akan segera melakukan gerakan-gerakan silat secara diluar kendali si pemilik tubuh. Meski pun demikian, bagi si pemilik Ajian tersebut tetaplah akal sehatnya masih berfungsi dan sadar. Deva merasakan ada hawa hangat yang menyejukkan menjalari dadanya yang keluar dari telapak tangan Kang Danu yang menempel di dadanya, hawa hangat dan sejuk itu perlahan mulai menjalar ke seluruh tubuh Deva, juga dirasakannya ada seperti kejutan-kejutan seperti listrik. “Deva, Kakang sudah menyalurkan Ilmu Silat Jadian sama kamu, sekarang Kakang ingin menguji apakah ilmu itu sudah manjing ke dalam tubuhmu dengan sempurna.” Kang Danu mundur beberapa langkah, lalu gerakan kakinya berubah, seperti layaknya orang yang akan berkelahi, memasang kuda-kuda tangguh, dengan dua tangan dilebarkan ke samping. “Berkonsentrasilah, Deva. Baca doa yang sudah Kakang ajarkan padamu sore tadi.” Masih jelas ada keraguan dalam hati Deva, otaknya yang terbiasa berpikir secara logis dan rasional sepertinya menolak untuk percaya kalau ini akan berhasil. Tetapi untuk menghargai apa yang sudah dia terima, Deva mulai membaca doa dengan khusyuk. Matanya perlahan terpejam. Sesaat kemudian suasana terasa hening, bahkan suara televisi di rumah Kang Danu yang tadi terdengar jelas kini lenyap. Deva membuka matanya, dan terkejut karena kini dia sudah melakukan gerakan persis seperti yang Kang Danu lakukan. Melihat lawannya tampak sudah siap, tanpa keraguan sedikitpun Kang Danu menyerang Deva dengan satu terjangan yang bukan main-main. Deva jelas terkejut dan pasrah menerima hantaman Kang Danu. Namun entah mengapa secara reflek dia bisa menghindarkan serangan Kang Danu, bahkan malah balik melancarkan pukulan dan tendangan dengan kecepatan yang Deva sendiri tak mempercayainya. Belum sampai semenit mereka bertarung, terlihat jelas kalau Kang Danu terdesak hebat, beberapa pukulan dan tendangan Deva secara cepat dan kuat telak mengenai tubuh Kang Danu di bagian wajah dan badannya. “Cukup, Deva. Cukup!” teriak Kang Danu yang sudah terkapar akibat terlempar menghantam tembok berdinding bata merah terkena tendangan Deva. Deva membaca beberapa Asma-ul Husna penutup Ilmu Silat Jadiannya, dan seketika itu juga Deva kembali bisa bergerak sesuai dengan kesadarannya lagi. “Gila! ini benar-benar gila! Wajar kalau sampai Pakdhemu, Karta, sampai menarik kesimpulan bahwa kamu memang pewaris terakhir dari Ajian Brajamusti, karena tubuhmu ternyata bukan hanya menyerap Ilmu Silat Jadian yang kuberikan, tetapi mampu menjadikannya berlipat-lipat lebih kuat dan cepat, bahkan melampaui silatku sendiri.” “Maafkan saya, Mas Danu, Mas Danu jadi terluka parah begini ....” Deva jadi serba salah. Kang Danu berdiri dengan terhuyung, lalu mengajak Deva keluar dari ruangan itu. Pakhde Rusman tak kalah terkesima menyaksikan kondisi fisik Kang Danu yang babak belur itu. “Kok bisa begini kondisimu, Kang?” tanya Pakdhe Rusman bingung. “Tak apa-apa, Rusman. Aku malah bangga. Akhirnya ada juga seseorang yang berhasil mengalahkan ilmu silatku. Lucunya, dia adalah Deva yang basic-nya sama sekali tak memiliki kepandaian silat apapun. Aku kalah justru oleh Ilmu Silat Jadian yang kuberikan sendiri kepada Deva. Hahaha ....” Walau terlihat menahan rasa sakit, tetapi Kang Danu malah tertawa terbahak-bahak, mungkin ingin menepiskan kekhawatiran Deva yang terlihat sangat merasa bersalah dengan kondisi Kang Danu. “Keponakanmu ini, sudah siap berangkat menemui Kakeknya, aku tak ada rasa khawatir sedikit pun. Ilmu Silat Jadian yang kuberikan telah meningkat berkali lipat di tangan Deva, belum lagi Ajian Brajamusti dasar yang dimilikinya. Kurasa siapa pun yang mencoba menghalangi perjalanan Deva nanti, haruslah berpikir berkali-kali sebelum meneruskan niatnya.” Pakdhe Rusman pun berpamitan, ditariknya sebuah amplop dari saku celananya untuk diberikan kepada Kang Danu. “Apa-apaan kamu ini, Rusman! Aku memberikan ilmuku ikhlas, sudah, bawa kembali uangmu. Kalau kamu memaksa, berarti kamu tak menghargai persahabatan kita selama ini.” “Eh ... Siapa bilang aku memberikan ini karena Ilmu Silat Jadian yang kamu berikan pada Deva? Ini untuk pengobatan luka-lukamu, anggap saja sebagai bentuk perhatian seorang sahabat. Kamu menolaknya berarti kamu yang tak menghargai persahabatan kita selama ini.” Kedua sahabat lama itu tertawa lebar, Deva cuma senyum-senyum saja melihat hal itu. Deva dan Pakdhe Rusman pun meninggalkan Desa Sukarame Dua menuju rumah mereka kembali di Desa Talang. ===
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN