BAB 006. MURKA SANG NDORO

2298 Kata
Suasana dalam ruangan besar itu menjadi mencekam, ada lima orang tengah duduk di kursi yang terbuat dari ukiran kayu jati Jepara, tampaknya sudah lama mereka duduk di sana tanpa saling bicara, sementara di ujung meja ada satu kursi lagi yang masih kosong, sepertinya mereka tengah menantikan kedatangan seseorang yang begitu penting yang tak lain adalah tuan rumah yang kini mereka kunjungi kediamannya. Di dekat pintu tampak berdiri dua orang berbadan tinggi besar mengenakan setelan batik, dari penampilan dan gayanya bisa diduga kalau mereka berdua adalah pelayan atau semacam penjaga di rumah sebesar ini. Suasana mencekam itu kian menjadi-jadi saat terdengar suara langkah kaki yang mendekati pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang dalam milik tuan rumah. Pintu terbuka, keluar seorang lelaki mengenakan batik berwarna hitam dengan motif berwarna keemasan. Pria ini berkulit kecoklatan, meski kulitnya sedikit berkeriput tapi terlihat jelas otot-ototnya yang besar, tentulah bisa dibilang kalau sosok itu bukan seorang pria tua biasa, rambutnya yang mulai memutih terlihat di bagian kiri kanannya, dia mengenakan sebuah blangkon berwarna coklat muda dengan tonjolan di belakangnya, tetapi ikatan panjang di belakang blangkon itu dibiarkannya tergerai di bagian depan dadanya. Pria itu berjalan menuju tamu-tamunya kemudian duduk di kursi yang masih kosong. Matanya sedikit menyipit namun tetap terasa ketajamannya menatap satu persatu tamunya. “Tidak perlu terlalu kaku, anggap saja di rumah sendiri, ngomong-ngomong, silahkan diminum kopinya, sepertinya sejak tadi belum diminum, masih tampak penuh semua.” Tuan rumah mempersilahkan mereka untuk meminum kopi yang ada di hadapan mereka. Mereka seakan baru tersadar ada gelas kopi di depan mereka masing-masing, suasana mencekam itu yang membuat mereka lupa kalau sejak tadi pelayan di rumah itu telah menghidangkan kopi panas untuk mereka. Hampir bersamaan mereka meraih gagang cangkir kopi dan meminumnya barang seteguk dua tegukan. “Saya merasa terhormat dengan kedatangan panjenengan semua, namun saya harap kalian membawa kabar baik. Sebentar lagi kalian akan lihat sendiri akibat yang akan diterima bagi siapa yang gagal melaksanakan tugas yang saya embankan.” Pria dengan blangkon coklat muda itu merapikan letak blangkonnya, tetapi ucapannya barusan jelas membuat para tamunya menjadi pucat pasi. Belum lama berselang pria itu berkata-kata, pintu depan rumah terbuka dan masuklah dua lelaki bertubuh kekar berbaju batik hitam, masing-masing dari mereka membawa seorang yang matanya tertutup. Sesampainya di dalam dua orang dengan mata tertutup kain hitam itu dilemparkan ke tengah ruangan, membuat keduanya bergulingan. Sang tuan rumah bangkit lalu mendekati dua lelaki yang matanya tertutup itu, membantunya untuk dapat duduk dengan posisi bersimpuh. Lalu dengan satu kali tarikan masing-masing penutup matanya itu ditarik dari kepala mereka. Demi mengetahui siapa yang kini berdiri di hadapan mereka, kedua lelaki itu langsung pucat pasi dan menundukkan wajah, “Ampun, Ndoro Kanjeng. Kami memang gagal menangkap bocah itu untuk membawanya ke hadapan Ndoro Kanjeng.” “Ya ndak apa-apa to, kenapa kalian malah mencoba lari? Gagal itu biasa, apa karena bocah itu ada yang membantu? Katakan saja, ndak usah takut.” Lelaki yang dipanggil Ndoro Kanjeng berkata dengan pelan dan lembut, tetapi dua orang lelaki itu tetap tak berani menatap wajahnya. “Ampun, Ndoro Kanjeng. Semula memang ada yang datang membantu, tetapi bisa kami atasi, tetapi tahu-tahu bocah itu bangkit dan menyerang balik kami, dan pukulan tangannya luar biasa, Ndoro, kami berdua sampai pingsan seketika dibuatnya.” Dengan mengatakan seperti itu, mereka berharap Ndoro Kanjeng bersedia memahami kegagalan mereka, tetapi hal itu tipis sekali, mengingat selama ini Ndoro Kanjeng adalah sosok yang tegas meski pun kata-katanya lembut. Dia sangat memegang teguh prinsip dan tidak suka mendengar kata gagal karena akibatnya bisa fatal. Mereka sangat tahu itu, sehingga ketika mereka gagal menculik Deva saat pulang sekolah di hari kelulusannya, mereka sudah hilang keberanian untuk menghadap majikannya dan memilih lari, meski ternyata anak buah Ndoro Kanjeng lainnya tetap saja berhasil menemukan persembunyian mereka. “Jadi sekarang mau kalian bagaimana?” kata Ndoro Kanjeng masih dengan sikap tenang dan suara lembutnya. Mendengar kata-kata Ndoro Kanjeng barusan membuat mereka seakan memiliki kesempatan untuk mundur dari pekerjaan mereka, “Sekali lagi kami mohon maaf, Ndoro Kanjeng. Kalau boleh diizinkan kami meminta berhenti saja. Kami mohon pamit sekarang.” Keduanya lantas berdiri dan langsung berbalik hendak keluar secepatnya. Tetapi .... “Tunggu dulu, kenapa terburu-buru, saya ada hadiah untuk kalian berdua,” kata Ndoro Kanjeng. Tanpa diduga oleh semua yang ada di ruangan itu, tangan Ndoro Kanjeng mencengkeram pundak mereka berdua. Hanya dalam hitungan detik muncul asap yang mengepul dari pundak yang dipegang oleh Ndoro kanjeng, entah dari mana datangnya tahu-tahu api sudah menyala menyelubungi baju keduanya dan terus melebar sampai kaki, kedua lelaki malang itu bergulingan dengan menjerit-jerit di lantai ruangan yang luas itu, sedangkan Ndoro Kanjeng hanya memandangi mereka dengan tatapan dingin dan senyuman sinis. Lima orang yang saat itu hanya bisa terdiam menyaksikan sesuatu yang sama sekali tak pernah terlintas dalam benak mereka, hanya bisa menatap dengan pandangan antara takjub dan takut. Kurang dari semenit kedua orang yang tadi berniat pergi itu kini telah menjadi mayat dengan tubuh hangus menebarkan aroma daging terbakar. “Sekarang apa yang akan kalian semua sampaikan kepadaku,” kata Ndoro Kanjeng masih dengan tatapan tajamnya pada dua tubuh hangus di depannya. “Kami ... Kami kemari untuk menyatakan dukungan kepada Ndoro Kanjeng. Kami siap membantu Ndoro Kanjeng menjatuhkan Sujatmiko dari kepemimpinan Trah Brajantara Mahaputra.” “Hahahahaha ....” Ndoro Kanjeng terus tergelak karena merasa puas, kini bertambah lagi dukungannya dari pihak saudara-saudaranya sendiri untuk menjatuhkan Sujatmiko yang selama ini menjadi pimpinan dari seluruh keluarga besar Trah Brajantara Mahaputra. Menjadi pemimpin dari Trah Brajantara Mahaputra sudah pasti akan mendapat rasa hormat dari seluruh keluarga besar, tetapi kekuasaan untuk memimpin dan menguasai seluruh aset perusahaan Trah Brajantara Mahaputra itulah yang menjadi tujuan utamanya, meski pun pada dasarnya Ndoro Kanjeng bukanlah pemilik Ajian Brajamusti tingkatan terakhir, kenyataannya Ndoro Kanjeng hanya baru sampai tahapan ke tiga dari tujuh tingkatan kesaktian Ajian Brajamusti. Sementara Sujatmiko yang selama ini dipercaya memimpin Trah Brajantara Mahaputra telah mencapai tingkatan keempat, sehingga mau tak mau Ndoro Kanjeng harus mengatur siasat dan rencana tersendiri untuk menjatuhkannya, salah satunya dengan dukungan dari keluarga besar lainnya tentu akan sangat membantu, sekali pun tingkatan dari tamunya yang laki-laki tadi hanya baru di tingkatan satu atau dua, tetapi jika mereka bersatu tentulah akan menjadi sebuah kekuatan yang patut diperhitungkan dan membahayakan. Ndoro Kanjeng yang mengetahui bahwa Deva memiliki Ajian Brajamusti sekali pun baru tingkatan dasar tentu saja merasa sangat khawatir, karena Ajian Brajamusti yang dimiliki oleh Deva didapat bukan dengan cara yang biasa, besar kemungkinan Deva lah yang nantinya akan mampu mencapai tingkatan ketujuh sebagai tingkatan akhir dari Ajian Brajamusti, kalau Deva benar-benar mampu mencapai tingkatan akhir maka pupus sudah harapannya untuk menjadi pimpinan tertinggi dalam trahnya. Tentu akan sangat sulit sekali mengalahkan Deva di level tersebut, bahkan sekali pun dia dibantu oleh seluruh keluarga besar Trah Brajantara Mahaputra. === “Nak Deva, Ibu turun di sini. Kalau Nak Deva sempat main-mainlah ke rumah Ibu, Ibu akan merasa sangat senang sekali.” Bu Nartini mengemasi tas-tas bawaannya dan dibantu oleh supir menurunkannya. Dari dalam mobil Deva melihat jelas ada tiga orang gadis yang telah menantikan kedatangan Bu Nartini, dua orang gadis yang sempat melihat dirinya itu melontarkan senyum, mungkin karena mereka melihat kalau Bu Nartini tampak akrab dengan Deva, sementara yang seorang lagi tak melihatnya, dia sibuk mengangkat barang bawaan Bu Nartini. Tak lama Bu Nartini dan ketiga gadis itu berbalik dan melangkah semakin jauh. Mobil Travel yang dinaiki Deva kembali berjalan, melewati sebuah jembatan besar lalu kembali melintasi jalanan yang masih berupa tanah belum teraspal, untung saja bukan sedang musim hujan, kalau tidak tentu jalanan akan menjadi lebih sulit dilintasi oleh kendaraan. Deva kini jadi satu-satunya penumpang yang mesti diantarakan oleh sang supir, beberapa penumpang lainnya telah lebih dulu turun. === Mobil berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang luas, meski rumahnya sendiri tampak sederhana dan hanya berdindingkan papan. “Sudah sampai, Dik.” “Terima kasih, Pak.” Deva menurunkan tasnya yang memang hanya satu saja sehingga tak perlu supir membantu menurunkan. Mobil Travel itu memutar lalu pergi ke arah jalan yang tadi dilewatinya. “Maaf, adik ini cari rumah siapa ya?” Tiba-tiba saja di dekat Deva muncul seorang lelaki yang usianya sekitar tiga puluhan dengan bertelanjang d**a tanpa mengenakan baju, hanya celana yang panjangnya sampai ke lutut, kepalanya ditutupi oleh sebuah caping lebar. “Eh anu, Mas. E ... Saya mau ke rumahnya Mbah Sastro,” jawab Deva sedikit gugup karena pertanyaan yang tiba-tiba itu. “Sampeyan ini siapanya Mbah Sastro?” tanya lelaki bercaping itu lagi penuh selidik. “Saya cucunya Mbah Sastro, anaknya Bu Shofia.” Mendengar nama Shofia raut wajah lelaki itu langsung berubah, “E lah dalah, anak’e Shofia to. Wis gede ngene. Nggih bener, iku omahe Mbahmu, ( Ya ampun, ternyata anaknya Shofia. Sudah sebesar ini. Iya betul, itu rumahnya Kakekmu) tapi kalau siang begini Mbah sastro masih berada di sawah, ada juga istrinya, Mbah Kristinah.” Lelaki bercaping itu tergopoh-gopoh berjalan setengah berlari ke arah rumah berdinding papan itu, “Mbah! Mbah Kristinah! Iki lo ono putumu teko soko kuto!” (Mbah! Mbah Kristinah! Ini ada cucumu datang dari kota!) Tak lama muncul seorang wanita berkebaya yang usianya tampak kisaran lima puluhan, tetapi kulitnya belum terlalu keriput meski rambutnya sudah putih semua. “ono opo to, Jo, kowe mbengok-mbengok wayah awan ngene?” (Ada apa ini, Jo, kamu teriak-teriak tengah hari begini?) Mbah Kristinah tampak masih bingung, tangannya merapikan gelungan rambut putihnya. “Iku loh, Mbah, putumu teko.” (Ini loh Mbah, cucumu datang) “Putuku?” (Cucuku?) Mbah Kristinah memicingkan matanya memperhatikan sosok Deva yang berjalan mendekatinya. “Nggih Mbah, (Iya Mbah) saya Deva, anaknya Shofia.” Deva mencium tangan Mbah Kristinah. Tak ada kata-kata yang terucap dari bibir Mbah Kristinah, kedua matanya tampak berkaca-kaca, dipeluknya Deva dengan erat,” Oalah Deva, Putuku .... “ (Ya ampun Deva, cucuku ....) “Mbah, aku mau ke sawah ya, mau kasih tahu Mbah Sastro tentang kedatangan Deva,” ucap lelaki bercaping itu bersemangat. “Nggih,” (Iya) jawab Mbah Kristinah seraya mengangguk. Lelaki bercaping yang bernama Tejo itu berlari menuju sawah. “Ayo masuk dulu, Deva. Kamu pasti lelah ya perjalanan dari Bandar Lampung.” Mbah Kristinah menarik lengan Deva, Deva menurut saja, dia lalu duduk di sebuah kursi kayu, Mbah Kristinah masuk ke dalam ke arah dapur. Deva memang lelah, sekujur tubuhnya masih terasa sakit, tetapi bukan karena perjalanannya melainkan akibat bertarung semalam dengan Kang Danu, teman Pakdhe Rusman. Mbah Kristinah menghidangkan segelas air putih lalu pamit untuk ke rumah tetangganya. Deva meminum air pemberian Mbah Kristinah, terasa sejuknya air melewati tenggorokan. Matanya terpejam, terbayang kembali semua kejadian yang dialaminya, semuanya terasa begitu mengejutkan bagi Deva. Banyak kejadian yang di luar nalarnya yang dia temui selama beberapa hari ini, semua berlangsung begitu cepat. Rasa kantuk kembali kuat menyerangnya, tak butuh waktu lama Deva segera tertidur di kursi kayu itu. Sehingga dia sudah tak menyadari saat Mbah Kristinah kembali. “Bocah iki langsung turu ning kursi, wis di ben no wae, kecapekan mesti,” (Anak ini langsung tertidur di kursi, sudahlah dibiarkan saja, tentu karena kecapekan) ucap Mbah Kristinah kepada dirinya sendiri. Pintu diketuk, seorang wanita masuk, “Mbah, iki sayur asemme wis mateng.” (Mbah, ini sayur asemnya sudah matang) “Didokon kono wae, Jum, suwun yo.” (Taruh di situ saja, Jum, terima kasih ya) “Iki putune jenengan ta, Mbah?" (Ini cucunya, Mbah?) “Nggih, Jum.” (Iya, Jum) “Putu soko anak jenengan sing ndi, Mbah?” (Cucu dari anak yang mana, Mbah?) “Anak’e Shofia.” (Anaknya Shofia) “E ... Shofia, aku jadi kangen karo Shofia loh Mbah. Yo Wis, Mbah, mengko aku mrene meneh.” (Ouh ... Shofia, saya jadi rindu pada Shofia, Mbah. Ya sudah, Mbah, nanti saya ke sini lagi) Wanita yang datang mengantarkan sayur asem yang diminta Mbah Kristinah pulang ke rumahnya. Tak lama terdengar suara langkah yang sangat akrab di telinga Mbah Kristinah. “As salaamu’ alaikum.” Terdengar suara serak, lalu muncul seorang lelaki memakai ikat kepala yang menyerupai bentuk blangkon, wajahnya mulai terlihat tua dengan kumis dan jenggotnya yang panjang berwarna putih, tetapi kulitnya masih tampak kencang dan berotot. Dia adalah Mbah Sastro Brajantara Mahaputra. “Wa ‘alaikumus salaam.” Mbah Kristinah menjawab salam, lalu diterimanya caping yang diberikan Mbah Sastro kepadanya, diletakkannya di dinding dapur yang disangkutkan pada sebuah paku. “Kok kowe nangis to, Nah?” (Kenapa kamu menangis, Nah?) tanya Mbah Sastro saat dilihatnya ada tetesan airmata yang mengalir dari pipi istrinya. “Aku kelingan Shofia, Pak’e.” (Aku teringat Shofia, Pak) Rasa sakit itu kembali memasuki relung hati Mbah Kristinah. Sekali dia dan Mbah Sastro berkunjung ke Bandar Lampung hanya untuk menghadiri pemakaman anak tercintanya. Setelah itu mereka tidak pernah ke mana-mana lagi dan tetap memilih hidup sederhananya sebagai petani di Pagelaran, Pringsewu. “Aku ngerti perasaanmu, tapi jangan tampakkan itu di depan Deva, jangan sampai malah dia merasa bersalah kalau kedatangannya ke sini menjadi penyebab kesedihanmu. Kita doakan saja agar dia tenang di sisi-Nya. Kamu seharusnya senang dengan kedatangan cucu kita itu, setidaknya di rumah ini bertambah satu lagi penghuni yang meramaikan rumah.“ Mbah Kristinah hanya mengangguk, lalu meneruskan pekerjaannya menanak nasi di atas tungku yang terbuat dari susunan bata, dengan nyala api yang berasal dari kayu bakar. Untuk sejenak Mbah Sastro terbayang kembali pada ketiga anaknya, Sukarta, Rusmanto dan Shofia. Sebenarnya ada keinginan dalam hatinya selama ini untuk berkunjung ke Bandar Lampung, meski pun Shofia telah tiada tetapi dia masih punya dua anak kandung lainnya, Sukarta dan Rusmanto, juga menantu dan cucu-cucu dari mereka. Tetapi yang dikhawatirkan Mbah Sastro adalah jika dia maupun istrinya kembali teringat pada anak bungsunya yang telah tiada itu, sekali pun perempuan tetapi Shofia bisa dibilang sebagai anak yang paling mereka sayang, selain wajah Shofia yang cantik dan budi pekertinya yang penuh sopan santun pada semua orang, dan Deva adalah anak Shofia satu-satunya yang terlahir dari pernikahan dengan seorang lelaki bernama Masruri Habiburahman, Mbah Sastro kala itu yakin kalau Shofia akan bahagia dan aman dalam lindungan Masruri, karena Mbah Sastro dengan ketajaman mata batinnya tahu kalau Masruri bukanlah seorang pemuda biasa. “Pak, kuwi nasine wis mateng, ndang tangikno putumu terus dijak mangan bareng.” (Pak, itu nasinya sudah matang, lekas bangunkan cucumu terus ajaklah makan bersama) Kata-kata Mbah Kristinah menyadarkan Mbah Sastro dari lamunannya. ===
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN