BAB 005. SANTET GETIH SEWU

2482 Kata
Perjalanan menuju Desa Pagelaran, Pringsewu, hanyalah perjalanan yang masih dalam satu wilayah Propinsi Lampung, tetapi lumayan cukup jauh juga. Kalau tak ada halangan berarti sekitar dua jam setengah mobil travel yang ditumpangi Deva akan sampai ke rumah Kakeknya, Mbah Sastro. Sepanjang perjalanan itu, Deva sebenarnya ingin tertidur, mengistirahatkan tubuhnya yang masih terasa sakit akibat melakukan gerakan Ilmu Silat Jadian melawan Kang Danutirto Subagja, sebagai pengetesan bahwa Ilmu yang diturunkannya benar-benar telah menyatu dalam diri Deva. Mengingat Deva yang sejak kecil tak pernah berkelahi, tentulah tubuhnya akan terasa kaku dan tenaganya terkuras mengikuti gerakan-gerakan silat yang otomatis bergerak sendiri di tubuhnya. Sepanjang jalan menuju Desa Pagelaran Deva malah gagal melaksanakan niatnya untuk tidur, karena ternyata seorang wanita paruh baya yang cukup ramah mengajaknya berbincang-bincang. Awalnya percakapan mereka sekedar percakapan basa-basi, semakin lama jadi semakin serius sampai menarik minat beberapa orang lain yang ada dalam satu mobil untuk turut mendengarkan. Entah bagaimana awalnya, obrolan antara Deva dan Ibu itu mulai membicarakan tentang hal-hal mistis, dari soal pelet, pesugihan sampai santet. Untuk soal santet ini, mata Deva mendadak menjadi lebih lebar, karena ternyata menurut penuturan sang Ibu sendiri bahwa dia pernah punya pengalaman pribadi tentang santet tersebut. Salah seorang kerabatnya ada yang pernah terkena Santet, nama Santetnya unik tetapi cukup menyeramkan, Santet Getih Sewu. “Kalau Bu Nartini tidak keberatan, kami ingin mendengar ceritanya dari awal.” Seorang penumpang yang saat itu duduk di samping supir menoleh ke belakang, yang dituju adalah Ibu Nartini, wanita yang duduk tepat di sebelah Deva di kursi tengah. Di belakang ada dua orang lagi, sepasang suami istri, juga sejak tadi mendengarkan pembicaraan antara Deva dan Bu Nartini. “Boleh saja. Saya akan ceritakan kisah ini dari awalnya, kisah tentang Santet Getih Sewu yang Hampir merenggut nyawa Keponakan saya, Jumini, anak dari adik saya. Kisah ini terjadi pada tahun 1993, waktu itu masih baru mulai memasuki saat tanam padi. Jumini adalah seorang gadis yang cantik, beberapa pemuda desa memberanikan diri menyatakan cinta padanya, tetapi sayang, tidak satu pun diterima, sampai pada suatu saat ....” Bu Nartini diam sejenak, seakan berat untuk melanjutkan kata-katanya. Matanya yang terpejam sedikit bergetar, seperti ada isak tangis yang ditahankan. === “Ayo ke sini, Jum. Sombong bener, nggak usah jual mahal begitu pada kami.” Seorang pemuda mencegat perjalanan Jumini yang akan melintasi jembatan bambu, berdiri kokoh di atas aliran sungai. Empat orang lelaki lainnya duduk di pinggir jembatan, mereka tertawa saja melihat aksi temannya. Tampak beberapa botol minuman keras tergeletak di depan mereka, mereka tak lain adalah pemuda-pemuda Desa Pagelaran, yang beberapa di antaranya adalah yang pernah ditolak cintanya oleh Jumini. “Maaf, Kang, Jumini buru-buru mau ke rumah Budhe Narti, tolong jangan halangi Jum, Jumini mau lewat,” ucap Jumini dengan nada suara yang bergetar menahan takut. Suasana sore yang temaram ditambah lagi sepinya kawasan itu membuat Jumini sangat khawatir kalau-kalau mereka berniat jahat kepadanya. Secercah harapan muncul, di seberang jembatan terlihat dua orang pemuda yang sepertinya hendak melintasi jembatan dan pastinya akan melewati di mana kini Jumini dihadang oleh seorang pemuda yang mabuk berat. Dua lelaki yang akan menyeberangi jembatan bambu tampaknya sudah melihat gelagat yang tidak baik, mereka berdua mempercepat langkah ke arah Jumini dan meneriaki lelaki yang sedang menghadang Jumini. "Hei! Jangan ganggu gadis itu!" ucap salah seorang dari mereka, langkah mereka semakin dipercepat. "Untung kita memilih lewat jalan ini, kalau tidak mungkin gadis itu akan celaka." "Iya, Mas, kita harus cepat mencegah jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada gadis itu.” Lelaki yang mengenakan setelan celana jeans dengan kaos berwarna hitam menengok ke arah dua orang pemuda yang berjalan cepat ke arahnya, berbalik, dan posisinya persis kini membelakangi Jumini. "Siapa kalian berdua? Berani-beraninya menggangguku, apa kalian berdua masih saudaranya?” “Maaf, kami memang tidak mengenal gadis itu, tapi dari gerak-gerikmu sepertinya kamu akan berlaku tidak baik kepadanya. Saya melihat ekspresi gadis itu seperti ketakutan.” Sedikit melirik ke arah Jumini lelaki berkaos hitam itu lalu mengalihkan pandangannya kepada dua pemuda tadi. “Sekarang kalian berdua mau apa?” Ditengadahkan wajahnya menunjukkan kepongahan, kata-katanya bernada menantang. “Kami mau, biarkan gadis ini lewat dan mohon untuk tidak mengganggunya lagi.” “Ooo … begitu. Boleh … boleh, tapi kalian hadapi kami dulu. Woi Bro, lawan nih,” Lelaki yang mengenakan kaos berwarna hitam itu memberi kode kepada empat orang temannya yang memang sejak awal sudah merasa, akan terjadi pertikaian antara mereka dengan dua orang yang berdiri di dekat jembatan. Salah satu dari keempat orang yang maju berjalan mendahului dan berusaha mendorong satu dari dua pemuda asing itu, tetapi gerakannya yang sedikit ngawur karena terpengaruh dari minuman alkohol yang diminumnya, dengan mudah malah ditarik tangannya, sekali putar saja tubuhnya sudah terpelanting ke depan hingga wajahnya ngusruk mencium tanah. “Kurang ajar! Boleh juga ilmu silatnya. Udah, keroyok aja, habisin mereka berdua.” Tanpa menunggu perintah untuk kesekian kalinya, ketiga orang itu menyerang dua pemuda asing tadi berbarengan, sementara pemuda yang tubuhnya jatuh ke tanah itu sudah mulai bangkit dan ikutan menyerang. Lelaki berkaos hitam berbalik dan memegang tangan Jumini dengan kuat. Jumini berusaha meronta dan berteriak, tetapi lelaki itu hanya tertawa, semakin keras Jumini berusaha melepaskan diri semakin kuat pula cengkeraman tangan lelaki itu. “Sepertinya kita tidak boleh berlama-lama meladeni mereka, segera harus kita tuntaskan perkelahian ini, kalau tidak gadis itu akan celaka.” Salah seorang dari dua pemuda itu berkata kepada yang seorang lagi. Dengan gerakan-gerakan silatnya yang cukup gesit dan mematikan, kedua pemuda itu dalam waktu singkat mampu merobohkan empat pemuda yang menyerangnya. Mereka berdua berjalan setengah berlari kepada lelaki berkaos hitam, lelaki itu melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Jumini, kemudian memasang kuda-kuda dan menyerang kedua pemuda asing itu lebih dulu. Rupanya lelaki ini adalah ketua dari keempat orang yang telah ambruk, terkapar pingsan. Perkelahian tak dapat dihindari. Jumini mundur beberapa langkah dan bersandar di sebatang pohon menyaksikan dengan perasaan cemas, dia khawatir kalau kedua pemuda itu tak berhasil mengalahkan lelaki berkaos hitam, tetapi selain karena dua pemuda itu punya kepandaian silat tinggi, ditambah lagi posisi mereka berdua menghadapi satu lawan, maka mudah saja lelaki berkaos hitam itu dilumpuhkan. Setelah terjatuh terkena hantaman dari salah satu pemuda asing tersebut, lelaki berkaos hitam kemudian lari menjauh, meninggalkan keempat temannya yang masih tergeletak pingsan. “Kamu tidak apa-apa, Dik?” “Tidak apa-apa, Mas.” “Oh ya, kenalkan nama saya Sandi.” Seorang lagi mengulurkan tangannya, “Saya Ratno." “Saya Jumini, Mas.” “Apakah ada yang terluka?” “Alhamdulillah tidak, Mas. Terima kasih Mas Sandi dan Mas Ratno sudah menolong saya, mungkin kalau Mas berdua tidak ada, saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diri saya.” “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, yang penting sekarang kamu selamat tidak ada luka sedikit pun, kalau Jumini tidak keberatan kami bersedia mengantarkan.” “Tapi, Mas berdua kan ingin pergi ke arah sana, sedangkan saya ke arah berlawanan. Mau ke arah Mas datang tadi.” “Tak apa-apa, kami tak diburu waktu, kebetulan kami berdua pendatang baru di sini, mengunjungi seorang saudara di Desa Pagelaran ini. “Kalau boleh tahu siapa nama saudaranya?” “Pak Rahmat.” “Oh, Pak Rahmat, yang peternak ayam itu, kan?” “Ya benar, kami adalah keponakannya Pak Rahmat.” “Kebetulan sekali rumah saya tidak jauh dari rumah Pak Rahmat, tapi saat ini saya mau ke rumah Budhe saya.” “Kami bersedia mengantar, khawatirnya nanti akan terjadi hal yang tak diinginkan lagi, mengingat waktu maghrib akan segera tiba.” “Baiklah, mari.” Akhirnya Jumini dengan diikuti dua lelaki bernama Sandi dan Ratno berjalan menyeberangi jembatan menuju ke rumah Budhe Narti. Tak terasa sebulan sudah kedua pemuda itu tinggal di rumah Pak Rahmat, mereka membantu Pak Rahmat dalam memelihara ayam-ayam ternaknya. Berawal peristiwa sore itu kedekatan antara Sandi dan Ratno dengan Jumini menjadi semakin akrab. Sering kali terlihat mereka bertiga bersenda gurau bersama, baik di rumah Pak Rahmat, di rumah Jumini sendiri, maupun di rumah Budhenya. Sekali-sekali mereka juga berjalan-jalan di area sawah. Hingga pada suatu hari Sandi yang tak lain adalah kakak dari Ratno menyatakan cintanya kepada Jumini, tetapi sungguh dilematis karena jauh di dalam hatinya Jumini lebih mencintai Ratno, adiknya Sandi, Ratno sendiri tidak menunjukkan sikap seperti orang yang mencintai, padahal Jumini tidak mungkin untuk memulai menyatakannya cintanya terlebih dahulu. Maka dengan penuh rasa kecewa dan keterpaksaan Jumini akhirnya menerima cinta dari Sandi, dia berpikir bahwa toh Sandi juga orang yang baik, siapa tahu dia bisa mulai belajar mencintai Sandi dan juga belajar untuk mengikhlaskan Ratno, orang yang sebenarnya lebih dia cintai. Hubungan cinta mereka berlanjut, Sandi memutuskan untuk menikahi Jumini, maka Sandi dan Ratno pun berpamitan kepada Pamannya, Pak Rahmat untuk pulang ke desa mereka di Rawajitu, untuk mengatakan pada kedua orang tuanya agar melamar sekaligus menikahkan Sandi dengan Jumini. Kedua kakak beradik itu pun akhirnya pulang. Kedua orang tua mereka tentu saja menyambut baik keinginan anak pertamanya untuk menikah, maka bersama beberapa keluarga yang lain, rombongan keluarga mereka berangkat menuju Pagelaran untuk lamaran terlebih dulu, tapi saat itulah keanehan mulai terjadi, karena ketika keluarga mereka sampai ke rumah Jumini ternyata dia sedang mengalami sakit. Sakit yang aneh, dia selalu muntah darah, sakit itu mulai dialaminya tak lama setelah kepergian Sandi dan Ratno kembali ke desanya. Malam itu Sandi tengah berbincang-bincang dengan orang tua Jumini, di sana juga ada Budhenya, Budhe Narti. “Saya selaku orang tua dari Jumini meminta maaf pada Nak Sandi. Kami juga bingung, sudah kami bawa putri kami untuk berobat ke rumah sakit tetapi anehnya dokter tidak bisa menyimpulkan penyakit yang diderita putri kami. Kami sudah melakukan pengobatan tradisional, itu pun tidak ada hasilnya, bahkan beberapa orang pintar sudah pula kami datangkan, tetapi yang aneh adalah semuanya mundur dan mengatakan tidak sanggup mengobati.” “Sudahlah, Pak, tak ada yang perlu dimaafkan, lebih baik kita sekarang fokus saja berpikir bagaimana caranya agar Jumini bisa kembali sehat,” kata Sandi. “Aku juga heran, sakit apa sebenarnya yang menimpa Jumini sampai-sampai dokter tidak bisa mengobati? Bahkan orang pintar itu mengaku tidak bisa juga?” Budhe Narti ikut angkat bicara. “Sebelumnya saya minta maaf kalau saya bicara lancang, tetapi kalau tidak salah mengira, sebenarnya Jumini sedang terkena santet.” “Apa? Santet?!” Bapaknya Jumini seakan baru sadar bahwa memang ada kemungkinan putrinya terkena santet. “Kalau memang santet, lalu siapa pelakunya? Apa jangan-jangan dari para pemuda yang selama ini mencoba untuk memacari Jumini tetapi selalu ditolak itu, ya?” terka Budhe Narti. “Maaf, Budhe. Kita tidak bisa menuduh orang tanpa bukti, yang lebih penting sekarang bukan tentang siapa yang menyantet, tetapi bagaimana agar santet itu bisa pergi dari tubuh Jumini.” “Kalau begitu apa yang harus kami perbuat, Nak?” tanya Bapaknya Jumini. “Kebetulan saya memiliki seorang guru, sedikit banyak memiliki pengetahuan masalah penyakit-penyakit seperti ini, kalau memang diizinkan saya akan berangkat besok menemui guru saya.” “Ya tidak apa-apa, Nak Sandi, Kalau memang ada solusi seperti itu, tak ada salahnya dicoba, kami setuju saja.” “Terima kasih, Pak. Kalau begitu sekarang saya pamit dulu dan besok pagi saya akan berangkat menemui guru saya.” Benar saja, keesokan paginya Sandi dan Ratno berangkat meninggalkan Desa Pagelaran menuju Desa gurunya di Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang. Sesampainya Sandi di sana, dia langsung menemui gurunya dan memintanya untuk datang ke Pagelaran. Dengan senyum tulus gurunya berkata, “Aku tidak bisa datang ke sana, tetapi aku akan menyiapkan obat untuk penyakit calon istrimu. Kamu harus segera berangkat malam ini juga, kalau kamu terlambat maka calon istrimu tak bisa diselamatkan lagi,” kata sosok lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam dan blangkon berwarna hitam. “Supri! Pri!” Lelaki itu memanggil seseorang. Terdengar jawaban dari arah samping rumah, “Iya, Ki Jenar. Sebentar.” Tampak seorang lelaki tergopoh-gopoh masuk, “Ada apa, Ki Jenar?" “Tolong ambilkan satu kelapa muda. Sekarang, ya. Bukankah kamu masih menyimpan beberapa buah di dalam gudang?” “Memang, Ki. Ada beberapa buah lagi, itu adalah kelapa muda sisa penjualan dari pembeli di kota siang tadi, saya pamit mau ambil kelapa mudanya.” “Silahkan,” kata lelaki yang dipanggil dengan nama Ki Jenar. “Aku turut prihatin dengan apa yang menimpamu, Sandi. Tetapi aku jauh lebih prihatin andai kata ....” “Andai kata apa, Ki?” Tidak ... tidak usah, tidak usah kukatakan, nanti kamu juga akan tahu sendiri. Kalau kukatakan kamu pun akan sulit percaya.” Tak lama Supri datang membawa satu kelapa muda dan memberikannya pada Ki Jenar, dia lalu keluar dan kembali sibuk dengan pekerjaannya sendiri. “Kamu tunggu di sini sebentar, Sandi. Aku ke kamar dulu menyiapkan obatnya.” Tak lama, sepuluh menit kemudian dia keluar, buah kelapa muda tadi yang dibawanya kini terbungkus dengan kain putih, “Ini kamu bawalah kelapa muda yang sudah kubacakan doa. Minumkan airnya pada calon istrimu dan sisakan, dari air sisa tadi campurkan dengan air untuk memandikan dia, insya Allah jin penunggu santet itu akan segera pergi dan tak akan berani balik lagi, calon istrimu akan kembali sembuh, walau itu mungkin butuh waktu dua atau tiga minggu agar sembuh seperti sedia kala.” “Terima kasih, Ki Jenar Songgolangit atas obat yang jenengan berikan ini.” Sandi memasukkan tangannya ke dalam kantong celananya untuk mengambil amplop yang sudah dia siapkan, tetapi Ki Jenar Songgolangit lebih dahulu berkata, “Tidak usah. Gunakan saja uangmu untuk kepentingan lain, sekarang pulanglah, semakin cepat semakin baik.” “Sekali lagi terima kasih, Guru. Saya pamit, as salaamu ‘alaikum.” “Wa ‘alaikumus salaam.” Sandi kemudian meninggalkan rumah gurunya, Ki Jenar Songgolangit. Malam itu juga dengan mobil travel dia berangkat menuju Pagelaran. Untunglah kedatangan sandi tidak terlambat, setelah air dari kelapa muda itu diminumkan dan sisanya dicampurkan air untuk mandi, Jumini berteriak-teriak seperti orang kesakitan, tubuhnya seperti mengeluarkan asap putih, seakan disiram oleh air panas, dan Budhenya, Budhe Nartini yang saat itu memandikan Jumini dengan air campuran kelapa muda itu melihat sendiri dengan mata kepalanya ada asap hitam keluar dari mulut Jumini, asap itu membumbung tinggi, setelah sempurna keluar dari tubuh Jumini asap itu hilang. Tubuh Jumini terkulai lemas. Hari demi hari Jumini semakin membaik, dia sudah tidak muntah-muntah lagi. Akhirnya pernikahan mereka pun siap dilaksanakan, tetapi hal yang mengejutkan adalah bahwa adiknya yang ketika mereka ingin berangkat ke Pagelaran menolak untuk ikut, meninggal dunia secara mendadak dengan leher tercekik, mulutnya mengeluarkan banyak darah, tak diketahui sebabnya. Desas-desus yang beredar mengatakan bahwa ada saksi yang melihat. Ketika malam kejadian kematian Ratno ada satu sosok berwarna hitam, dengan mata yang menyala merah, tubuhnya penuh darah bercampur nanah dan kepalanya botak plontos, berjalan keluar menembus dinding rumah. Sandi yang sudah mendengar sendiri ciri-ciri makhluk yang menguasai tubuh Jumini dan ternyata sama dengan yang membunuh adiknya, menjadi bertanya-tanya, apakah adiknya yang telah menyantet Jumini? Entahlah tak ada yang tahu, tapi yang pasti akhirnya mereka berdua menikah dan hidup berbahagia. === “Mengerikan sekali,” kata lelaki yang duduk di sebelah Supir. “Maaf nggih, Bu, kalau mendengar cerita penyakit tadi besar kemungkinan yang menyantet itu Ratno sendiri, sebenarnya dia memendam cinta kepada Jumini, tapi malu menyatakannya. Dia juga tahu kalau kakaknya suka kepada Jumini, maka dia memilih untuk menahan saja perasaannya, saat dia mendengar kakaknya mau menikahi Jumini, dia gelap mata, dan membayar seorang dukun, yang mencelakakan calon istri kakaknya itu.” Lelaki dari pasangan suami istri yang duduk di belakang mobil ikut memberikan kesimpulan. “Yaah mungkin juga, Mas, tapi sulit untuk membuktikannya. Itulah kisahnya sama persis seperti yang saya dengar atau saya lihat langsung.” Deva termenung sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. ===
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN