Kepergian Dimas menyisakan luka yang begitu mendalam di hati Sekar. Bagaimana tidak, ketika laki-laki itu keluar dari rumah, tak pernah lagi memberi kabar apa pun kepada Sekar.
Satu bulan bahkan telah berlalu. Sekar masih saja tak mendapatkan kabar tentang keberadaan suaminya, atau bahkan kondisinya.
Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Setiap hari, Sekar tak pernah absen untuk mengecek ponselnya. Dia sangat berharap jika Dimas akan mengirim pesan padanya atau bahkan meneleponnya.
Selain itu, Sekar juga mencoba untuk menelepon Dimas terlebih dahulu, pagi siang sore dan malam. Tak pernah lupa Sekar melakukan kegiatan itu. Hanya saja usahanya itu tak pernah berbuah manis.
Sekar terhuyung dalam luka yang dalam. Pengantin yang masih tergolong sangat baru itu harusnya mendapat kasih sayang berlimpah ruah dari suaminya. Nyatanya tidak bagi Sekar, hanya tiga hari dia bisa merajut cinta yang begitu indah, sisanya bulir air mata selalu menghiasi wajahnya.
“Sekar, cepat bangun! Buatkan ayah kopi!”
Sekar yang saat itu telah memandan foto pernikahannya, seketika terkejut dengan suara pak Surya yang mengetuk pintu kamar Sekar dengan sangat keras. Sekar segera menghapus kedua air mata yang terhias di wajah cantiknya itu.
Sekar lalu membuka pintunya dan didapatinya sang ayah telah berdiri dengan wajah garang, nampak menyeramkan. Sekar menunduk dan berjalan menuju ke dapur. Pak Surya kembali ke terasa dan menikmati sajian berita di koran.
“Ini kopinya, Yah.”
Sekar menaruh kopi dan sedikit cemilan di atas meja. Lalu dirinya hendak beranjak dari teras depan rumahnya itu. Lagi-lagi suara pak Surya membuat dirinya harus menghentikan langkahnya.
“Kamu menangis lagi? lupakan saja laki-laki yang tak bertanggung jawab itu.”
Sekar mencoba menguatkan hatinya. Dia ingin terlihat baik-baik saja di depan orang lain tak terkecuali ayahnya. Sekar tak ingin bila apa yang dirasakannya itu akan menjadi cambuk untuk dirinya sendiri.
“Aku masuk dulu, Yah.”
“Ayah belum selesai bicara, duduk di sini.”
Sekar tak sanggup untuk membantah apa yang dikatakan ayahnya. Meskipun sebenarnya dirinya sudah ingin lari ke kamarnya sendiri.
“Ada apa, Yah?”
“Mulai sekarang lupakan saja Dimas, dia laki-laki yang tidak bertanggung jawab.”
“Yah, bagaimana pun juga Dimas adalah suamiku, mana mungkin aku bisa melupakannya jika cintaku saja masih sama untuknya.”
“Persetan dengan cinta, buktinya apa dia peduli denganmu? Apa dia memberi kabar dan juga pulang untukmu?”
“Dimas akan pulang, Yah.”
Sekar yang sudah menahan tangisnya untuk keluar dari kedua matanya. Dia memilih beranjak dari tempat duduknya. Tak mau bila perdebatan itu akan bertambah runyam. Sekar memilih mundur dan mengalah. Bahkan tak peduli jika sang ayah terus saja menghina Dimas di depan wajahnya.
Mengunci pintu kamar dengan hiasan berjuta air mata yang diteteskan. Sekar seolah buntu arah. Dia rindu dan sangat ingin bertemu dengan suaminya. Setidaknya meskipun waktu belum memungkinkan untuk sebuah pertemuan. Sekar ingin mendapatkan sebuah kabar tentng kondisi laki-laki yang dicintainya itu.
Sekar duduk termenung di depan kaca riasnya. Menatap wajahnya yang sayu karena butiran air mata yang terus hadir tanpa jeda itu. Sekar berpikir dengan cukup keras, dia tak mungkin membiarkan kondisi ini akan berlarut-larut.
Kemudian Sekar emndapatkan sebuah cara, dia akan datang ke rumah ibu mertuanya. Di sana, pastilah Sekar akan mendapatkan infprmasi dari sang ibu. Dia akan meminta tolong agar sang ibu memberitahu Dimas akan kerinduannya yang semakin hari semakin bergejolak dalam.
Sekar seolah tak bisa menunggu lama lagi. Dia segera bersiap, berganti pakaian yang lebih rapi. Namun, Sekar sama sekali tak memoles riasan di wajahnya. Dibiarkan saja wajah putih bersih itu tanpa sedikit make up yang terhias.
Mengambil tas kecil dan segera dililitkan di bahunya. Sekar siap untuk berangkat. Namun, dia harus melewati gerbang rintangan dulu agar bisa keluar dari rumahnya sendiri.
“Kamu mau ke mana?”
“Sekar ada urusan di luar sebentar, Yah.”
“Kamu mau cari Dimas?”
Sekar mengunci mulutnya. Dia sama sekali tak berani mengiyakan atas apa yang dikatakan ayahnya. Sekar sangat takut bila ayahnya akan kembali meneurnya dengan kemarahan yang tak terkontrol lagi.
Sekar memilih menunduk dan wajahnya memelas. Dia ingin jika sang ayah tak emmarahinya dan memberikan ijin untuknya.
“Kamu tidak boleh pergi, Sekar.”
“Tapi, Yah. Tolong ijinkan Sekar pergi sebentar saja.”
“Untuk apa? kamu ak akan menemukan Dimas, buang-buang waktu saja!”
Sekar seketika bersujud di kaki sang ayah. Dia sangat berharap jika ijin itu didapatkannya. Memohon dengan bertekuk lutut. Bahkan pemandangan itu mengundang rasa penasaran para tetangga yang lewat di depan rumah Sekar.
Pak Surya pun yang masih menikmati berita di koran, dia melirik ke arah Sekar dan mendengar suara langkah kaki orang yang lewat di depan rumahnya. Pak Surya seolah tak mau harga dirinya jatuh di hadapan tetangga.
Pak Surya segera mengambil sikap. Dia harus tetap terlihat jumawa. Tak mau bila orang-orang tahu akan perangainya terhadap Sekar bila berada di rumah.
“Kamu boleh pergi, tapi jam dua harus sudah di rumah.”
Seketika sneyum Sekar mengembang, dia begitu sangat girang dengan apa yang didengarnya itu. Ijin telah dikantongi. Sekar tak mau berlama-lama lagi, pikirannya sudah tertancap pada rumah Dimas. Dia segera pergi dan mencium tangan sang ayah adalah kewajiban untuknya sebelum beranjak dari rumah.
***
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, kini Sekar tela sampai pada tujuannya. Sebuah rumah kecil yang terlihat sederhana namun sangat asri, menjad tumpuan dalam pandangan kedua matanya.
Sekar tersenyum tipis, sembari melanjutkan langkahnya untuk segera mengetuk pintu rumah kecil itu. Sekar menggerakkan tangannya, beradu pada kayu yang ada di depannya itu dan menghasilkan bunyi ketukan yang dapat didengar.
Berkali-kali Sekar mengetuk pintu yang tertutup itu. Namun, dia tak mendapati jika sang ibu akan membukakan pintu untuknya. Perasaan Sekar mulai gusar. Ada ganjalan pada hatinya yang tak bisa dijelaskan.
Sekar tak mau pasrah begitu saja, dia ingin berusaha lagi sekut tenaga yang dia punya. Sekar akan berjalan menuju rumah belakang, dia berharap jika sang ibu mertua sedang berada di belakang dan tak mendengar jika ada Sekar yang mengetuk pintu berkali-kali itu.
Tiba-tiba saja, Sekar yang baru melangkahkan kakinya sejengkal. Seorang wanita paruh baya terlihat dalam pucuk pandangan Sekar.
“Mbak Sekar istrinya mas Dimas, ya.”
“Iya, Bu.”
Sekar tersenyum menjawab pertanyaan dari wanita yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Lalu Sekar pun menatapnya dengan tatapan sangat serius.
“Mbak Sekar mau ngapain ke sini?”
“Saya ingin bertemu ibu mertua saya.”
“Loh, Mbak Sekar tidak tahu kalau ibu Laila pindah.”
“Apa? Pindah? Kemana bu?”
“Kalau itu saya tidak tahu, harusnya mbak Sekar tanya saja ke mas Dimas, karena bu Laila perginya dengan Mas Dimas juga.”
Bagai tergelincir angin p****g beliung. Dad Sekar rasanya sesak dengan apa yang didengarnya itu. Kenyataan pahit itu membuatnya sama sekali tak pernah berpikir jika hal itu terjadi. Bersamaan dengan itu, Sekar kembali menghadirkan bola kristalnya, dia tak sanggup dengan kenyataan yang mempermainkannya.
“Terima kasih ya, bu informasinya. Saya permisi.”
Sekar beranjak pergi. Dia berjalan menyusuri jalan dengan tetap berhias air mata. Banyak kendaraan umum yang melintas dan memberikan tawaran agar Sekar bisa ikut kendaraan dan tidak berjalan kaki. Namun, Sekar menolaknya.
Dia berjalan hampir satu kilo meter. Setelah dirasa kakinya tak kuat menopang tubuhnya sendiri. Sekar pun istirahat di sebuah kursi yang tersedia di seberang jalan trotoar. Sekar menikmati kegundahan hatinya dengan air matanya yang terus menganak sungai.
Perlahan sesekali dia mengusap air mata itu, Sekar melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, telah menunjukkan pukul satu siang. Sekar tersentak dengan pandangannya itu,
Waktu yang dimilikinya tak lama lagi. Dia harus segera pulang agar tidak mendapati sang ayah dengan kemarahan yang menakutkan itu.
***
Sekar sampai di rumah tepat pukul dua. Tidak kurang dan tidak lebih. Terik matahari yang dirasakannya sepanjang perjalanan pulang membuat tubuhnya seakan lunglai. Dahaga menyelimutinya.
Sekar ingin mengambil minum yang ada di dispenser ruang tamu. Gelas kaca itu telah menghiasi tangan kanannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja pandangan matanya terasa sangat gelap. Kepalanya pening dan berputar-putar. Sehingga gelas yang dipegangnya itu pun jatuh ke lantai dan pecah.
Sekar tak bisa membawa dirinya sendiri. Dia mengikuti gelas yang kini pecahannya berserakan di lantai. Sekar tergeletak tak sadarkan diri.
Pak Surya yang berada di ruang tengah sedang menikmati acara televisi favoritnya, harus terkejut dengan suara pecahan barang itu. Dia segera berdiri dan menuju ke ruang tamu. Tak menyangka kedua matanya menangkan Sekar yang tengah pingsan itu.
Tanpa pikir panjang, Pak Surya membopong tubuh anaknya itu ke sofa. Laki-laki yang berusia lima puluh lima tahun itu pun mencari minyak angin untuk Sekar, agar bisa segera membuka matanya.
Hampir lima belas menit, Sekar sama sekali tak memunculkan tanda-tanda akan sadar. Pak Surya pun mulai resah. Dia tak bisa membiarkan putrinya terus saja tertidur tanpa kejelasan begitu. Akhirnya, pak Surya pun membawa Sekar ke klini yang tak jauh dari rumahnya.
***
Seorang bidan memeriksa kondisi Sekar. Pak Surya menunggu di luar ruangan dengan kepanikan yang menyelimuti. Dia tak mau jika terjadi apa-apa dengan putrinya. Duduk termenung dan terus saja memanjatkan doa.
Sekar yang sudah mulai menampakkan pergulatan. Dia telah membuka kedua matanya. Meskipun badannya terasa sangat lemas sekali.
“Mbak Sekar, bisa dengar suara saya?”
Sekar mengangguk dengan apa yang dikatakan bidan itu kepadanya. Sekar berusaha untuk membangunkan dirinya, hanya saja lemas tubuhnya itu membuatnya tak bisa bebas bergerak.
“Mbak Sekar istirahat saja dulu, jangan banyak bergerak, ya.”
“Apa yang terjadi pada saya, bu.”
“Mbak Sekar tadi pingsan dan ayah mbak Sekar membawa mbak Sekar ke sini.”
“Saya sakit apa, Bu?”
“Diagnosa sementara mbak Sekar kelelahan, tapi apa bulan ini mbak Sekar telat datang bulan?”
Sekar terdiam dengan pertanyaan bu Bidan. Dia mencoba mengingat kembali kapan terakhir dirinya mendapatkan tamu spesial setiap satu bulan itu.
“Sepertinya iya, bu.”
“Kalau begitu kita periksa dulu, ya.”
Bu Bidan membantu Sekar untuk bangkit dari tempat berbaringnya tubuh yang lunglai itu. Sekar pun mengikuti dengan perasaan was-was. Dia akan menjalani tes kehamilan.
Sebuah alat kecil yang bernama tes pack itu kini telah berada di genggaman tangannya. Sekar yang masih dibantu bu Bidan untuk masuk ke kamar mandi.
“Mbak Sekar kuat kan?”
“Iya, Bu. Saya bisa sendiri.”
“Kalau begitu saya tunggu di sini, ya.”
Senyum bu bidan membuat Sekar segera menutup pintu kamar mandi itu. Dia melangkah perlahan dengan kepala pening yang masih dirasakannya.
Sekar tak mau berlama-lama lagi, dia segera menggunakan alat yang baginya sangat menakutkan dengan kondisi yang dialaminya sekarang.
Setelah satu menit berlalu, Sekar dengan jantungnya yang maraton, seolah tak berani melihat hasil dari alat itu. Dia bahkan memjamkan matanya dan belum berani untuk menatapnya.
Ada sebuah ketakutan tersendiri jika apa yang tak diharapkan itu akan terjadi.Kini Sekar bersiap untuk segera membuka mata dan melihat hasil dari sebuah alat kecil itu.