Part 10 - Garis Dua

1796 Kata
Hati laksana beku, setelah Sekar tahu apa hasil dari alat tes kehamilan yang kini dibawanya. Diam seribu bahasa. Pandangannya masih saja menatap pada benda pipih itu. Seolah nadinya pun berhenti berdetak. Sekar terduduk dengan tubuhnya yang semakin lunglai. Dia bahkan tak sadar jika berada di kamar mandi dengan waktu yang sangat lama. “Mbak Sekar, apa sudah selesai?” Suara bu Bidan membuat lamunan Sekar berakhir. Dia yang terhias air mata itu segera diusapnya. Sekar mencoba berdiri dengan sisa kekuatan yang dimilikinya. Perlahan dirinya melangkah dengan sangat pelan. Sekar membuka pintu kamar mandi dan didapatinya bu Bidan dengan senyum mengembang menunggunya sedari tadi. “Bagaimana hasilnya, Mbak?” Sekar memilih untuk diam dan mengunci mulutnya. Dia hanya menyerahkan hasil tes kehamilan itu kepada bu bidan. Dilihat dengan seksama, bu Bidan nampak tersenyum indah. “Selamat ya mbak Sekar, ini kabar bahagia. Mbak Sekar akan segera menjadi ibu.” Sekar wajahnya terlihat begitu datar. Tatapannya pun kosong. Dia seperti dalam kehilangan akal sehatnya. Tak tahu apa yang kini dirasakan, semua seperti hambar. Kosong tanpa sebuah isi. Tak lama, Pak Surya yang sedari tadi menunggu di luar merasa sudah tak sabar untuk mengetahui apakah Sekar sudah sadar ataukah masih pingsan. Pak Surya pun memutuskan masuk ke dalam ruangan. “Bu, bagaimana kondisi Sekar?” Bu Bidan yang penuh dengan senyum hangat itu pun mempersilakan pak Surya untuk duduk terlebih dahulu. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari mbak Sekar, Pak. Hal ini sudah biasa dialami oleh calon ibu.” “Calon ibu. Maksudnya bagaimana?” “Mbak Sekar hamil dan sebentar lagi bapak akan menjadi kakek.” Pak Surya bak disambar petir mendengar berita itu. Seketika dia meraih tangan Sekar dan mengajaknya untuk bergegas pulang ke rumah. *** “Kenapa kamu bisa hamil Sekar?” Sekar menggelengkan kepalanya. Dia sendiri juga tak menyangka bila secepat itu dia kaan menjadi seorang ibu. Sekar hanya bisa menerima tanpa bisa menolak. Dia seperti pasrah dengan keadaan. “Kamu tahu kan, jika suamimu saja menghilang. Lalu apa yang akan kamu harapkan dengan kehamilan itu.” Sekar meneteskan kembali kristal beningnya. Entah mengapa hatinya terasa teriris dengan apa yang ayahnya katakan. Padahal seharusnya, kehamilan pertama adalah dambaan setiap keluarga. Namun, kini Sekar pun seolah bingung dengan perasaannya sendiri. “Sekar, gugurkan saja kandunganmu itu. Dimas tidak akan pernah pulang dan bertanggung jawab denganmu dan juga calon anakmu itu.” “Tidak, aku tak akan pernah menggugurkan anak ini, Yah. Dia anakku, darah dagingku dan juga cucu ayah.” “Aku tak akan pernah sudi memiliki cucu dari laki-laki yang tak bisa bertanggung jawab itu.” Suara pak Surya terus saja melengking. Dia tetap saja dengan keinginannya. Pak Surya tak mau bila kehamilan Sekar akan merepotkan. Pak Surya meninggalkan Sekar seorang diri. Dia masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu. Sekar kaget dengan suara pintu yang sangat keras itu. Isak tangis kembali lagi terhias di pipinya. Sembari mengelus perutnya. Sekar penuh harap dengan kehadiran sang calon buah cintanya dengan Dimas. Sekar melangkah perlahan menuju kamarnya. Dia menatap foto pernikahannya dengan Dimas. Rasa rindu itu semakin getir di dalam dadanya. Sekar seolah tak pernah menyangka jika ujian cintanya begitu berat. Janji untuk selalu bersama dalam suka duka, seolah hanya angin lalu baginya. Sekar terhuyung dengan kondisi yang membuatnya seolah ingin menjerit keras. Namun, hal itu tak mampu dilakukannya. *** Pak Surya yang kini memikirkan nasib masa depan anaknya. Kehamilan itu seolah menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. mondar mandi pak Surya memikirkan cara untuk bisa lepas dari sebuah kenyataan yang sangat meyakinkan itu. Tak ada keinginan pun bagi pak Surya untuk melihat Sekar hamil secepat itu. Dia benar-benar tak ingin anak yang dikandung Sekar itu lahir ke dunia. Pak Surya membuka pintu kamarnya dan segera melangkah ke kamar Sekar. Ada hal yang ingin dibicarakan secara serius kepada sang anak. “Sekar, buka pintunya.” Sekar segera menyeka kedua pipinya yang basah karena air mata. Lalu dengan cepat dia melangkah untuk membukakan pintu untuk sang ayah. Ketika pintu kamar itu terbuka lebar, Pak Surya segera masuk ke dalam kamar Sekar dan mengambil tempat duduk, seraya pandangan matanya mengikat pada kedua bola mata Sekar. “Gugurkan kandunganmu atau kamu akan aku nikahkan paksa dengan Fauzi.” “Maksud ayah apa? Aku ini masih berstatus istri Dimas.” “Sekar, Dimas itu sudah pergi dari kehidupan kamu, dan ayah tidak mau jika para tetangga akan mencemooh keluarga kita karena kelakuan laki-laki tak bermoral itu.” “Sekar akan tetap mempertahankan anak ini, apa pun yang akan terjadi Yah.” “Berarti kamu setuju untuk ayah nikahkan dengan Fauzi.” “Tidak, Sekar tidak akan menikah dengan siapa pun.” “Pilihannya hanya dua Sekar, demi kehormatan keluarga kita, menikah dengan Fauzi atau gugurkan kandunganmu itu.” Pak Surya kembali keluar dengan membanting pintu kamar Sekar, membuat wanita yang kini dalam kondisi jiwanya yang sedang goyah. Sekar merebahkan tubuhnya dan bantal yang dikenakannya itu pun basah karena air mata. Sekar seolah buntu dengan apa yang kini terjadi pada dirinya. Seharusnya kehamilan pertama pastinya akan dinanti penuh suka cita oleh pasangan yang baru saja menikah. Akan tetapi hal itu seolah tak berlalu untuk Sekar. Dia dirundung kesedihan yang dalam. Bahkan sang suami pun tak tahu dengan kondisi kehamilan dirinya. Sekar yang setiap hari selalu mencoba menghubungi nomor ponsel Dimas. Akan tetapi hasilnya tak berubah, Dimas tetap saja tak bisa dihubungi kembali. *** Pagi menjelang dengan hiasan sinar kemuning yang hampir saja muncul di kaki gunung. Sekar terbangun karena rasa mual yang begitu tak bisa ditahan. Dia pergi ke kamar mandi dan mencoba mengeluarkan isi dalam perutnya yang membuatnya semakin mual itu. Pak Surya yang nampak berada di ruang tengah, mendengarkan suara Sekar yang begitu mengganggu telinganya. Pak Surya segera mencari head set untuk sekadar mengurangi apa yang didengar itu. Tak lama, Sekar nampak keluar kamar dengan tubuhnya yang agak lemas. Sekar berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. Dia pergi ke dapur unruk membuat kopi dan juga sarapan. Kopi yang selesai diaduk itu pun segera diantarkan ke ayahnya. Bahkan pak Surya sama sekali tak melihat wajah Sekar. Dia tetap fokus dengan acara televisi yang dilihatnya. “Yah, diminum kopinya.” Pak Surya tak acuh dengan apa yang didengarnya. Hingga membuat Sekar segera melangkah dan kembali lagi bejibaku dengan sayuran yang akan segera diolah dengan tangannya itu. Sekar pun segera menyajikan makanan yang sudah matang itu di meja makan. Pak Surya yang akan berangkat ke kebun, tak lupa harus mengisi perutnya terlebih dahulu. “Yah, Sekar ingin makan buah mangga. Nanti kalau ayah pulang, tolong belikan Sekar mangga ya, Yah.” “Mana mungkin ada yang jual mangga jika ini belum musimnya.” “Siapa tahu ada mangga punya tetangga atau siapa gitu, Yah. Sekar ingin sekali makan mangga, Yah.” “Berhenti merengek Sekar, selama kamu masih mempertahankan bayi itu, Ayah tak akan mengeluarkan sepeser uang pun untukmu.” Pak Surya membanting garpu dan sendok ke piring. Beranjak dari tempat duduknya dan pergi segera. Bahkan makanan yang sudah disiapkan Sekar sama sekali tak dimakan olehnya. Sekar hanya bisa diam dengan sejuta kelu yang dirasakannya. Dia bahkan sama sekali tak mengira dengan apa yang dilakukan sang ayah kepadanya. Tangis itu kembali hadir. Dia yang seharusnya dimanja oleh suami karena kehamilan anak pertama. Nyatanya semua berbanding terbalik, suaminya hilang tak ada kabar. Bahkan ayahnya pun turut membenci dengan kehamilan yang kini menjadi impian setiap wanita yang berkeluarga itu. Sekar benar-benar sedang nyidam. Dia berusaha untuk keluar rumah dan mencari ke tetangga yang mungkin menanam pohon mangga. Sekar sangat berharap jika dirinya bisa menemukan apa yang dicarinya itu. Dan ternyata, harapan Sekar pun terwujud. Setelah dirinya berjalan kurang lebih satu kilo meter, dia mendapati sebuah rumah yang ada pohon mangganya. Tak lain rumah itu adalah rumah seorang ibu satu anak yang ditinggal mati suaminya. Sekar pun mengenal ibu itu dengan baik, ibu yang selalu berjualan sayur keliling itu pun menyambut kedatangan Sekar dengan senyum hangat. “Mbak Sekar, ayo masuk sini.” “Bu Ida, maaf pagi-pagi saya mengganggu.” “Tidak, sama sekali tidak menganggu, Mbak.” “Bu Ida hari ini tidak jualan sayur?” “Libur, Mbak. Lagi kurang enak badan, Mbak Selar ada apa ke sini?” Bu Ida yang rumahnya cukup jauh dengan rumah Sekar. Namun orang-orang di situ tak mungkin tak mengenal Sekar yang notabene dari keluarga terhormat dengan kekayaan yang bisa dibilang di atas orang-orang yang tinggal di daerah itu. “Bu Ida, saya ingin buah mangganya.” Sekar menunjuk pohon mangga milik bu Ida dengan penuh perhatian. Sekar berharap jika sang pemilik pohon mangga itu memberikan ijin kepadanya. “Tapi Mbak, mangganya kan baru berbunga, belum ada buahnya mbak, jikalau ada pun masih sangat kecil itu, besarnya saja masih gede jempol mbak Sekar.” “Iya tidak apa-apa bu, saya ingin memakannya.” Bu Ida pun nampak aneh dengan apa yang dikatakan Sekar. Dia menatap Sekar dengan penuh keheranan. Keinginan Sekar yang kuat itu pun menjadikan sebuah pertanyaan yang tumbuh dibenaknya. “Mbak Sekar lagi nyidam, ya.” “Iya, Bu.” “Oh, pantesan. Ya sudah, biar saya ambil galah dulu, mbak Sekar tunggu di sini.” Sekar nampak tersenyum. Dia begitu bahagia mendapati apa yang dia inginkan. Setelah mendapat buah yang bentuknya maish sangat kecil itu, Sekar segera melahapnya dan kembali pulang. *** Setibanya di rumah. Sekar nampak terkejut ketika membuka pintu rumahnya. Terlihat sang ayah dan juga perepuan paruh baya sedang duduk di sofa ruang tamu. “Sekar, duduk sini!” Suara pak Surya membuat Sekar mematung dengan duduk mengikuti perintah sang ayah. Dia tak tahu apa yang ayahnya akan katakan kepadanya. Sekar hanya diam dan menunggu ayahnya kembali mengatakan apa yang ingin dikatakan itu. “Ayah minta, kamu mengikuti apa yang ayah inginkan.” “Memangnya apa, Yah?” Sekar nampak bingung dengan apa yang dimaksud ayahnya. Kedua mata Sekar menatap wanita paruh baya yang belum pernah sama sekali dilihatnya itu. Sekar terus saja menerka dalam batinnya. Namun, dia masih saja tak mengerti dan diamnya dalam tanda tanya yang besar. “Sekar, sekarang ikut ayah.” Pak Surya menarik tangan Sekar hingga wanita itu merasa tangannya sakit karena sang ayah menariknya dengan sangat erat. Namun, Sekar hanya merintih dengan lirih. Pak Surya membawa Sekar masuk ke dalam kamarnya sendiri. “Yah, ada apa sebenarnya ini?” “Berbaringlah di ranjangmu, cepat!” Sekar semakin curiga dengan apa yang didengarnya. Dia seakan ingin menolak apa yang dikatakan pak Surya kepadanya. “Yah, tolong jangan melakukan apa pun yang bisa membahayakan anakmu ini.” Pak Surya terlihat mengunci pintu kamar Sekar, setelah wanita paruh baya itu masuk ke dalam kamar Sekar dengan membawa sekantong tas yang begitu terlihat sangat berat saat dibawa. “Yah, siapa sebenarnya wanita ini?” “Dia akan mengeluarkan janinmu sekarang!” Sekar merasa tertohok dengan ucapan terakhir ayahnya. Dia melangkah mundur, seolah tak mau dengan apa yang sudah direncanakan ayahnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN