Satu
Langkah kaki beberapa orang yang masuk ke dalam rumah pak Surya, terdengar begitu miris di hati sekar. Sedih membalut rasa yang kini diapitnya. Semburat kegundahan menyelami dasar hatinya yang riuh. Kembali dirinya harus dijodohkan dengan seorang laki-laki kaya, mapan dan punya segalanya dalam segi finansial.
Mata Sekar basah. Sesekali dia mengusap dengan sapu tangan yang digenggamnya. Pandangannya menuju ke cermin tempatnya melihat wajah yang sembab itu. Sekar terjerembab dalam duka yang tak berujung. Sudah kesekian kali ayah tirinya itu mencoba mencarikan pasangan hidup untuknya. Namun dalam hal ini ada satu beban yang sangat mengganjal di hati Sekar. Tentang sebuah janji yang telah diikrarkannya.
“Cepat kamu antarkan minuman ini ke depan!”
Suara pak Surya melengking, membuat sekar segera menyeka kedua matanya. Bias kesedihan masih menyelimuti. Dia pun terpaksa melangkahkan kakinya dengan sangat berat. Beberapa minuman dingin yang sudah dikemas dalam botol. Dibawa Sekar dengan kedua tangannya. Dia menunduk, menapaki lantai demi lantai yang akan membawanya pada keluarga sang pelamar.
“Ini namanya Sekar.”
Wanita paro baya itu menatap Sekar tajam. Dia baru pertama kali melihat kecantikan Sekar. Namun sekar hanya mampu melirik sekilas, lalu kembali menunduk lagi. Tangannya yang terampil menaruh minuman di atas meja. Sekar terhuyung dalam perjodohan ini. Dia segera berbalik badan. Tersandung langkahnya, dia jatuh namun segera bangkit dan terburu-buru masuk ke dalam kamarnya.
“Dia sepertinya gugup,” ucap Pak Surya pada calon besannya.
“Tidak apa-apa, Pak, wajar kan begitu,” jawab Pak Dirga.
Sekar kembali menghadirkan tangisan itu. Dia sama sekali tak melihat laki-laki yang datang dengan keluarganya, Sekar sama sekali tak berniat dan tak bisa menerima perjodohan ini. Dia menampik sesuatu yang sama sekali tak diharapkannya. Sekar mengurung diri, kamar itu pun terkunci dengan rapat.
***
Pertemuan dua keluarga telah usai. Laki-laki bernama Fauzi itu terlihat jumawa. Matanya berbinar dan senyumnya tersungging lebar. Kedua orang tuanya pun demikian. Wanita yang dipilih untuk dijadikan istri telah tepat. Cantik dan sepertinya pandai dalam segala hal.
Pak Surya menyambut dan mengakhiri pertemuan itu dengan gelak tawa yang terus saja mengiringi. Kebahagiaan yang tinggi berada padanya. Laki-laki yang dijodohkan untuk putrinya adalah yang terbaik menurutnya. Meski usianya terpaut lima belas tahun, dia tak mempermasalahkan.
Namun para tetangga berbisik, laki-laki yang berstatus duda dan memiliki anak satu itu bukanlah laki-laki yang pantas untuk Sekar. Betapa tidak, Sekar adalah gadis yang cerdas, meski dia hanya lulusan SMA, selain itu paras ayu Sekar tak sebanding dengan laki-laki berkulit hitam dengan gigi kelinci yang terlihat begitu jelas.
***
“Bulan depan kamu harus segera menikah dengan Fauzi,” tutur Pak Surya.
“Yah, bagaimana aku bisa menikah dengannya? Aku tidak mencintainya, Yah.”
“Tanggal pernikahan sudah ditentukan, kamu tidak bisa menolak lagi, Sekar.”
“Yah, tolong, aku tidak ingin menikah dengan laki-laki itu.”
“Kenapa? Apa karena dia duda?!”
Sekar menggeleng. Lantai putih yang menjadi pijakan kakinya pun menjadi tujuan pandang matanya. Dia tak berani menatap ayahnya. Dia hanya ingin mengadu pada dirinya, bahwa dia memang tak bisa menikah dengan laki-laki bernama Fauzi itu.
“Dia laki-laki kaya dan punya segalanya, hidupmu akan terjamin jika kamu menikah dengannya, Sekar.”
“Bukankah menikah itu karena hati yang saling bisa menerima, yah?”
“Omong kosong, kamu pasti bisa menerima dia, Sekar!”
“Tapi, Yah.”
“Aku menikahi ibumu dalam kondisi aku duda dan beranak satu, tapi tak ada masalah, aku dan ibumu bisa hidup bahagia.”
Sekar kembali menghadirkan kristal beningnya. Seiring langkah pak Surya yang keluar dari kamarnya. Merintih dalam ketidak berdayaan. Perjodohan ini adalah kesekian kalinya. Sebelumnya Sekar bisa menolak dan ayahnya pun seakan mengiyakan. Namun untuk saat ini, ayahnya seperti tak bisa ditawar lagi.
Sekar merebahkan tubuhnya yang lunglai. Merengkuh sebuah asa yang sulit untuk disatukan. Tangisan itu tetap saja hadir dalam gundah jiwanya, membelenggu setiap gerak yang akan dilakukannya. Sekar tak tahu, apa yang akan dilakukannya untuk sepekan nanti.
Berita tentang tanggal pernikahan yang sudah ditetapkan itu membuat mata Sekar seolah tak kunjung terpejam. Dia terus saja terbayang-bayang. Pikirannya menari-nari dalam sebuah rasa yang tak ingin dikatakan. Bagaimana tidak, sebenarnya Sekar hanya menunggu untuk cinta yang sudah dipastikan. Namun bibirnya kelu, jika dia akan menyatakan siapa laki-laki yang menjadi tambatan hatinya.
Sekar tak cukup keberanian. Ayahnya yang menginginkan laki-laki mapan secara sandang, pangan dan papan. Semua dilakukan agar martabat keluarga tetap terjaga. Derajat yang sama, menjadi tujuan pak Surya agar tetap bisa dipandang sebagai orang berada dan disegani di kampungnya. Ah, Sekar terasa buntu untuk mengambil keputusan. Malam pun menjaganya, dia tak kuasa untuk segera terpejam.
***
Mata sembab itu terlihat sangat jelas. Sekar ke dapur untuk sekadar merebus air, membuatkan kopi untuk ayahnya. Rutinitas yang selalu dilakukan sebelum pak Surya pergi ke kebun teh miliknya. Air yang mendidih segera dituangkan pada gelas yang berisi kopi dan juga sedikit gula. Sekar mengaduknya.
“Kopinya, Yah”
“Duduklah, Sekar!”
Sekar mencoba menata hati. Sepertinya ayahnya akan berbicara serius padanya. Dia tak bisa menolak. Sekar duduk dengan tubuh terasa ingin lari.
“Ada apa, Yah?”
“Hari ini Fauzi akan kemari, mengajakmu untuk membeli cincin untuk pernikahanmu.”
Baki yang menghiasi tangan Sekar tiba-tiba terjatuh. Suara riuh yang bergesekan dengan lantai membuat dirinya pun terkejut. Sekar tak bisa membayangkan bila itu akan segera dilakoninya. Sekar seolah menolak. Hatinya sama sekali membenci saat mendengar itu. Sekar tak menjawab. Dia segera berlari untuk menumpahkan tangisnya. Di kamar yang membuatnya merasa bebas untuk mencurahkan kegundahannya itu.
“Ayah berangkat, persiapkan dirimu dengan baik Sekar, Fauzi akan datang siang nanti.”
Suara pak Surya membahana. Terdengar dari dalam kamar Sekar. Dia segera mengambil topi dan sebotol air minum di tangannya. Pak Surya melenggang pergi ke kebun yang letaknya tak jauh dari rumahnya itu.
Sekar, duduk terpaku dengan rasa yang membuatnya sulit untuk menerima kenyataan. Bagaimna dia bisa mencintai orang lain, bila di hatinya sendiri telah bersemayam cinta yang dalam, subur nan hijau. Dipupuk selalu dengan rasa yang kian menggebu. Cinta yang indah memang telah menghiasi hati Sekar, bukan untuk Fauzi, tapi untuk kekasihnya, yang diam-diam dia sembunyikan dari pak Surya.
Sekar dalam kebimbangan yang besar. Siang nanti dia akan kembali menjumpai sebuah masalah yang dirasa sangat berat dalam hidupnya. Bertemu dengan laki-laki yang sama sekali tak dicintainya. Nestapa seolah menggelora, menggerogoti hati kecil Sekar yang semakin panas dengan keadaan. Dia pun terhimpit. Cinta yang seharusnya membuat bahagia, kini seakan menyiksa perlahan-lahan. Senyum yang selalu dihadirkan cinta, pun seakan terganti dengan haru biru serta tetesan air mata. Sekar tak bisa menentukan pilihannya.
Dia takut bila siang akan segera menyapa. Jam dinding yang berputar itu dipandangnya tanpa henti. Seolah Sekar tak mau bila pagi cepat berganti. Matahari yang masih di ufuk timur, dengan sinarnya yang mempesona. Membuat Sekar ingin menikmatinya lebih lama. Dia tak mau matahari cepat beranjak dan menunjukkan siang akan segera datang.