Part 8 - Pergi

1776 Kata
Sekar yang menghabiskan waktu di rumah dengan memasak. Dia ingin menyajikan beberapa cemilan untuk sang suami tercinta. Di tangan terampil Sekar, beberapa bahan tersulap menjadi kue yang sangat lezat. Sekar memang hobi memasak. Dan dia akan bisa membuat makanan apa pun yang disukainya. Siang itu, sembari menunggu kepulangan sang suami, Sekar pun bejibaku di dapur. Dia menghabiskan waktunya untuk membuat beberapa masakan. Selain makanan inti untuk dimakan siang hari, kue pisang yang tak lain adalah kue kesukaan sang suami itu pun sudah menghiasi meja. Sekar nampak tersenyum puas setelah melihat hasi masakannya yang tertata rapi. Dia kini membersihkan semuanya dan setia menunggu kepulangan sang suami. Sembari memperindah penampilannya. Sekar pun nampak berhias diri di depan cermin. Senyumnya merekah, dia seolah tak sabar untuk berjumpa dengan pujaan hatinya. Suara ketukan pintu terdengar jelas di telinga Sekar. Pintu kamar yang dikunci dari dalam itu pun segera dibukanya. Betapa bahagianya Sekar, wajah sang suami kini berada tepat di depan pandang matanya. “Ayah memanggilmu, cepatlah ke sana!” Sekar tak menjawab perkataan suaminya, dia kembali menutup pintu kamar. Lalu mendekat ke arah sang suami yang akan membersihkan badannya di kamar mandi. Sekar merajuk dengan kedua tangannya memegang erat tangan sang suami. “Sekar, aku mandi dulu.” “Harus sekarang?” Tatapan keduanya pun tak dapat teralihkan. Sekar dan Dimas kini telah bersatu dalam belaian kasih sayang yang tak bisa terbayangkan betapa keindahan telah dirasakan bersama. Pak Surya yang mengetuk kamar Sekar berkali-kali itu sama sekali tak mendapat respon dari sang anak. Pak Surya mulai geram. Dia yang sudah menggedor pintu itu dengan cukup keras, namun Sekar sama sekali tak mengindahkan panggilannya. *** Pak Suya nampak sedang murka. Dia yang berada di ruang makan itu terdiam dan terlihat satu piring nasi beserta lauknya telah habis. Sekar baru saja keluar kamar dan menemui ayahnya. “Ayah, maaf. Ada apa memanggilku?” Pak Surya menatap Sekar dengan tatapan tajam. Kedua matanya nampak menelisik dengan dalam. Rambut Sekar basah, membuat Pak Surya tak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ayah tiba-tiba saja beranjak dan meninggalkan anaknya tanpa pesan. Sekar seolah merasakan keanehan pada ayahnya. Sekar pun berusaha memanggil sang ayah, namun kini giliran ayahnya yang sama sekali tidak merespon dirinya. Sekar hanya duduk diam dan pasrah, dia mencoba berbaik sangka jika ayahnya sedang lelah dan butuh istirahat. Tak lama berselang, Dimas datang dengan senyumnya. Lalu duduk di depan Sekar. Sebagai istri, Sekar pun segera menjalani perannya. Dia segera mengambilkan nasi dan lauk untuk bisa dimakan sang suami. “Banyakin lagi porsinya,” kata Dimas. “Ini sudah banyak, Mas,” jawab Sekar dengan begitu merasa aneh. “Aku bilang, tambah lagi.” “Baiklah.” Sekar kemudian mengikuti apa yang dikatakan sang suami. Dia menambah porsi makanan dengan satu centong nasi dan juga beberapa lauk. “Sekarang, kita makan bersama sepiring berdua.” Mendengar ucapan itu, Sekar nampak tersenyum lebar. Dia sama sekali tak menyangka jika sang suami begitu romantis. Dimas mengambil sesuap nasi dan ternyata Dimas mengarahkan satu sendok itu pada Sekar. Betapa bahagianya hati Sekar, mendapatkan suami yang begitu sangat perhatian dengannya. Lalu Sekar pun melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan suaminya. Mereka pun makan dengan saling menyuapi satu sama lain. *** Malam yang berhiaskan petir menyambar dengan sangat kerasnya. Seperti hati Dimas yang kini riuh dengan apa yang telah didengarnya. Dimas yang baru saja keluar dari kamar sang ayah, membuatnya berdiam diri dengan sejuta kecamuk beban di hatinya. Sekar telah membungkus diri denan selimutnya. Dia nampak terlelap di balik balutan selimut itu. Dimas seolah tak tahu apa yang akan terjadi dengannya nanti. Dimas menatap wajahnya di cermin. Dia begitu resah dengan sesuatu yang harus dijalaninya. Tak tahu entah mengapa, tiba-tiba saja Sekar terbangun dai tidurnya. Menatap sang suami yang masih terjaga. “Mas, kenapa tidak tidur di sampingku?” seru Sekar. “Iya, aku akan segera tidur,” jawab Dimas tanpa memandang sang istri. Sekar menyibak selimutnya. Dia merasa ada sesutu yang aneh dengan suaminya. Lampu kamar yang masih menyala itu, seolah menjadi saksi bisu akan kegundahan hati Dimas. “Ada apa? apa kamu sedang ada masalah?” “Tidak ada apa-apa, Sekar.” “Kenapa berbohong padaku?” “Aku tidak berbohong padamu, Sekar.” Sekar seolah menangkap sesuatu yang beda dari sang suami. Dia tak hanya diam mengiyakan dengan apa yang dikatakan Dimas. Sekar mengambil posisi duduk di dekat Dimas. Dia mengggenggam tangan Dimas dan kedua tatapan mata mereka pun saling memberikan sinyal satu sama lain. “Aku adalah tempat berbagi untukmu, ceritalah. Aku akan setia mendengarkanmu.” “Apa yang harus aku ceritakan, jika bersamamu aku tak pernah merasa ada duka.” “Kamu bohong!” “Percayala, Sekar. Kamu adalah rumahku yang paling nyaman dan tak akan pernah tergantikan.” Sekar tersenyum dengan apa yang suaminya katakan kepadanya. Dimas pun kedua matanya berbinar. Kedua tangannya mengambil alih untuk menggendong tubuh Sekar ke ranjang, dan Dimas segera mematikan lampu kamar tanpa berpikir panjang lebar lagi. *** “Jangan pergi, Dimas. Aku tak mau berpisah denganmu, Dimas. Jangan tinggalkan aku!” Seketika, Sekar terbangun. Setelah mimpi buruk itu merenggut jiwanya. Dia seolah dalam terpaan ombak yang besar. Dimas pergi tanpa kata. Meninggalkannya dalam kesednirian. Sekar merasa bahwa dunianya telah hancur dalam mimpi itu. Dimas meninggalkan dirinya dalam kondisi terpuruk. Sekar segera melihat di sampingnya. Dia sama sekali tak melihat sosok sang suami yang menemaninya tidur semalaman. Sekar menatap jam dinding yang telah menunjukkan pukul tujuh pagi. Itu artinya Sekar telah bangun kesiangan. Dengan cepat, Sekar membangunkan tubuhnya. Dia berlari ke luar kamar dan mencari sang suami. Nampaknya seseorang yang sedang dicarinya itu tak ada. Sekar kemudian, melangkah ke kamar sang ayah. Tak ada siapa-siapa di rumah itu. Sekar pun yakin jika suami dan ayahnya telah pergi ke kebun teh. Sejurus Sekar kembali lagi ke kamarnya dan dia membersihkan diri. Setelah itu, Sekar tak menyia-nyiakan waktunya. Dia segera mengerjakan pekerjaan rumah dengan begitu rajinnya. Masak, cuci baju, menyapu dan juga mengepel lantai. Semua dilakukan Sekar dengan tangan terampilnya sendiri. Setelah selesai dengan semua pekerjaan rumah. Sekar pun membaringkan tubuhnya di ranjang tempat tidurnya. Sembari menikmati siaran televisi, tak sadar tiba-tiba saja Sekar tertidur karena lelah yang mengiringi tubuhnya. Bahkan hingga Dimas masuk ke dalam kamar pun, Sekar sampai tidak mengetahuinya. Laki-laki itu terlihat sedang mengambil koper. Dia memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya. Sembari tatapan matanya terus saja menatap wajah cantik sang istri. Dimas seolah menyimpan beban dalam hatinya. Namun, dia sama sekali tak mau berbagi dengan Sekar. Dimas memilih untuk diam dan sama sekali tak mau membuat sang istri menjadi korban atas apa yang telah dilakukannya. Setelah selesai dengan barang-barangnya. Dimas pun hanya duduk diam serta termenung cukup lama. Mengingat kembali, ketika semalam dirinya harus mendapati sebuah kecaman dari sang ayah mertua. Dimas tak bisa berkutik. Bahkan dia juga tak bisa tegas dengan dirinya sendiri. Kedua mata Dimas tiba-tiba saja nampak berkaca-kaca. Dia menyembunyikan sakitnya, Dimas hanya menunjukkan sebuah kebahagiaan di depan sang istri. Dimas buru-buru menyeka kedua matanya. Saat dirinya melihat Sekar telah terbangun dan menatapnya seketika. “Mas, kamu suda pulang.” Dimas tersenyum dengan pertanyaan Sekar. Dia kemudian melangkah dan mendekat ke arah Sekar. pandangannya nampak tajam dan sangat berarti. “Kamu pasti lelah, ya.” “Kamu belum makan? Aku sudah masakin makanan kesukaan kamu, bandeng presto.” Dimas tersenyum, sembari membelai mesra rambut panjang Sekar. Kasih sayang yang terungkap di anatar keduanya sungguh kuat. Sayangnya, ada sebuah titik hitam yang akan menjadikan Dimas tertaut dengan ujian cintanya. “Sekar, kamu ingin keluarga kita bahagia?” “Tentu saja iya, kenapa kamu berkata begitu, Mas?” “Tolong ijinkan aku pergi.” Sekar tertohok dengan apa yang didengarnya itu. Dia sejurus menatap sang suami tanpa lepas. Sekar ingin mendapatkan penjelasan atas apa yang didengarnya itu. “Pergi ke mana?” “Aku ingin bekerja di luar kota, kebetulan ada tawaran yang sangat bagus di sana.” “Ya sudah, tidak apa-apa. Aku ikut denganmu.” “Tidak mungkin Sekar, ayah di sini membutuhkanmu juga, aku tak akan tega jika kamu meninggalkannya.” “Lalu apa kamu tidak membutuhkanku?” “Aku sangat membutuhkanmu, karena kamu adalah rumahku, Sekar.” “Kenapa kamu tidak mengajakku?” “Ayah akans edih jika kamu ikut pergi denganku.” “Dan aku juga akan sedih jika kamu pergi meninggalkanku.” “Jangan bilang begitu, aku tidak meninggalkanmu. Aku hanya bekerja untuk memenuhi kewajibanku sebagai suami.” Air mata Sekar mulai berlinang. Dia begitu sangat terpukul dengan apa yang dikatakan Dimas kepadanya. Sekar seketika memeluk sang suami, dia sama sekali tak ingin ditinggal pergi. “Mas, kita baru tiga hari menikah dan kamu sekarang memilih untuk hidup jauh dariku, aku tidak bisa, Mas.” “Sekar, aku harus bekerja untuk dua wanita yang sangat aku cintai. Kamu dan juga ibuku, aku akan pulang setiap dua minggu sekali atau paling lama satu bulan sekali.” “Tapi aku juga ingin selalu bersamamu, Mas.” “Sekar, pikirkanlah ayah.” Sekar terdiam, sembari cucuran air mata itu terus saja menghiasi wajahnya. Dia kembali memeluk erat sang suami. Sekar sama sekali tak menyukai pembicaraan itu. Namun, bagaimana pun dia harus menghadapi kerikil kecil yang sedang menjadi penghambat jalannya. “Apa ini keputusan terakhirmu?” Dimas mengangguk. Dia seolah tak tega menyakiti hati sang istri. Namun, sungguh tak ada yang mau berada di posisi Dimas. Dia harus menahan gejolak dalam hatinya, tanpa diketahui siapa pun. Sementara ini hanya dia dan Tuhannya yang mengerti. Linangan air mata yang keluar dari kedua mata Sekar. Membuat Dimas dalam nestapa tak berujung. Mereka saling mendekap erat satu sama lain. Seolah tak ingin waktu memisahkan keduanya. Akan tetapi, inilah yang akan terjadi. Dimas akan tetap pergi dengan luka yang tetap akan dibawanya. *** Sekar terhuyung dengan kondisi di ujung nestapa. Dia kini harus mencoba untuk berdiri kokoh. Dia harus menguatkan dirinya sendiri. Air mata itu mengiringi kepergian Dimas. Kekasih hati yang paling dicintainya. Semesta kini sedang menguji cintanya. Dimas dan Sekar harus terpisah jarak untuk sementara waktu. Demi sebuah pekerjaan yang baik di luar sana. Sekar tak mampun untuk menghentikan tangisnya. Dia yang terisak dengan segala rasa yang berkecamuk dalam dadanya. Dimas mengecup kening Sekar untuk segera pamit dan berangkat meninggalkan rumah. Sekar hanya menghiasi wajahnya dengan air mata yang terus menganak sungai. Tanpa henti dihadirkan untuk mengiringi kepergian Dimas. “Aku pasti akan kembali, Sekar. Berhentilah menangis, istriku!” “Aku akan selalu merindukanmu, Mas.” “Aku yang akan lebih merindukanmu.” Sekar tak menyangka, ternyata mimpi buruk yang semalam hadir dalam tidurnya itu ternyata berubah menjadi sebuah kenyataan pahit yang harus diterimanya. Lambaian tangan itu mengiringi langkah Dimas keluar rumah dan meninggalkan pandangan mata Sekar. Tak sanggup dengan riuh hatinya, Sekar memeluk sang ayah dengan sangat erat. Sembari terisak dalam tangis kepergian sang suami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN