Tatapan garang itu seakan mencengkeram. Bulir dalam hati seakan ingin cepat berlari. Sayangnya, kini dalam keinginan yang tak mudah untuk bisa dilakukan dengan baik. Sekar masih saja menatap dengan segala peluh yang tiba-tiba saja hadir menghiasi dahinya.
“Ayah, tolong biarkan aku pergi, aku hampir menemukan anakku.”
“Tidak, lebih baik biarkan anakmu ikut Ningrum, kamu menikah dengan Fauzi.”
Mendengar nama laki-laki itu disebut, di lubuk hatinya yang terdalam tak bisa dirinya memungkiri bahwa tak ada sama sekali rasa senang. Entah mengapa tanpa diminta, tiba-tiba saja Sekar menoleh ke belakang.
Fauzi nampak berjalan mendekat ke arahnya. Lagi-lagi Sekar dalam kondisi terhimpit. Dia sama sekali tak ingin jika laki-laki itu akan mempersuntingnya. Membawanya kembali ke rumah, sedangkan hasrat Sekar untuk bertemu bayinya sama sekali belum bisa terwujud.
Sekar terdiam dengan sejuta pemikiran yang tak mudah untuk dipecahkan. Sekar buru-buru untuk mengambil langkah, dia bahkan harus rela melakukan sandiwara di luar dugaan ayahnya.
“Ningrum.”
Sekar memanggil nama itu dengan wajah serius. Membuat pak Surya segera menengok untuk memastikan keberadaan anak satunya itu. Dan saat sang ayah menoleh ke belakang, dengan cepat Sekar menghindar dengan berlari sekuat tenaga. Meninggalkan ayahnya yang seidkit lemah.
Fauzi yang melihat pergerakan itu pun sama sekali tak tinggal diam. Dia segera meluncur untuk mengejar Sekar. Dan Sekar cukup pandai, dia mengetahui jika Fauzi tengah mengejarnya. Sekar semakin berlari dengan sangat kencang.
Tak peduli dengan lalu lalang kendaraan, hiruk pikuk kota membuatnya harus bisa tetap berlari sejauh mungkin. Sekar yang muai kehabisan tenaga, napasnya nampak terengah-engah. Dia begitu sangat ketakutan, bila langkahnya akan menyerah dan mengikuti apa yang sang ayah inginkan.
Kali itu tak ada pilihan lain, Sekar harus menunda langkahnya. Dia harus bisa mengalihkan perhatian Fauzi yang masih gigih untuk mengejarnya. Tak ingin tertangkap, beribu cara pun dihadirkan Sekar untuk bisa melawan.
Sekar masuk ke dalam g**g-g**g rumah. Dia masuk ke dalam toilet umum. Berharap jika Fauzi tak menemukannya. Dia mengunci pintu dan napasnya seakan tengah habis. Terengah-engah dengan sangat kentara. Sekar dalam ketakutan untuk tetap saja diam tanpa melakukan apa pun.
***
“Ningrum, besok aku akan ke luar kota untuk urusan pekerjaan.”
“Ke luar kota lagi? bukannya minggu kemarin baru saja luar kota, Mas.”
“Namanya juga kerja, kamu mau aku kasih makan batu, kalau aku tidak kerja.”
Jawaban ketus dari Toni membuat Ningrum seketika diam tanpa bantahan. Dia sama sekali tak menyangka jika suaminya bisa bersikap seperti itu. Ningrum merasa sangat aneh, apa yang didengarnya benar-benar bukan seperti suaminya.
Akhir-akhir ini Ningrum merasa bahwa ada sedikit perubahan pada suaminya itu. Ningrum mencoba untuk menepisnya, dia beranggapan mungkin suaminya memang sedang penat karena urusan pekerjaan.
Akhir-akhir memang nada tinggi dalam berbicara kerap sekali didengarnya. Ningrum hanya berusaha untuk bisa menahan apa yang ada di hatinya. Dia tak mau jika suaminya akan cepat marah kembali padanya dan berujung pada pemberhentian jatah bulanan yang selalu dinantikannya itu.
Ningrum yang tiba-tiba ponselnya berdering. Dirinya pun segera mengangkat panggilan yang ternyata dari teman sosialitanya. Melipir menjauh dari suami. Ningrum ternyata sedang mempersiapkan sebuah acara untuk pesta.
Percakapan pun berlanjut cukup serius. Toni pun tampak melihat istrinya yang masih sibuk dengan ponselnya itu. Tiba-tiba saja Toni mendapati Fina yang tengah berjalan menuju dapur. Toni seakan ingin melangkahkan kakinya.
Tapi, tak lama Ningrum kembali lagi ke meja makan. Dia telah menyelesaikan panggilan yang sudah cukup lama itu.
“Mas, hari ini tidak ke kantor?”
“Jelas saja ke kantor.”
“Aku mau pergi, jadi aku nungguin kamu berangkat.”
“Pergi saja dulu.”
“Bagaimana aku bisa pergi kalau kamu masih saja di rumah?”
“Kamu ini bawel sekali, aku masih ingin bersantai sebelum otakku ini pecah memikirkan banyak sekali pekerjaan, lagian perusahaan itu milik aku, aku bisa melakukan apa pun semauku.”
Ningrum pun seketika diam. Dia tak berani membantah jika suaminya sudah mulai berkata dengan nada tinggi. Ningrum juga sudah merasa lelah dengan suaminya yang lebih sering uring-uringan.
“Kamu kenapa sih Mas, marah terus.”
“Maaf ya, aku hanya butuh kamu mengerti.”
“Aku mengerti kok, tapi haruskah melampiaskan sejuta kemarahanmu itu padaku?”
“Iya, aku minta maaf.”
Toni berusaha untuk menghadirkan senyumnya kembali. Dia berusaha untuk kembali berlaku seperti biasanya. Ningrum pun tak marah. Dia kembali tersenyum melihat guratan senyum di wajah suaminya itu.
“Sayang, pergilah jika kamu ingin pergi. Aku hanya ingin menikmati suasana rumah lebih lama sedikit.”
“Apa kamu marah jika aku pergi?”
“Sama sekali tidak, pergilah!”
Ningrum yang sudah mendapatkan lampu hijau itu pun tak kunjung diam. Dia mengikuti tentang apa yang sudah dikatakan suaminya. Ningrum yang juga sudah ditunggu teman-temannya itu pun harus segera melenggang.
Tak butuh waktu lama untuk Ningrum. Dia membawa alat mekapnya, lalu sebuah tas branded menghiasi tangannya. Dia nampak berpamitan dengan suaminya, lalu pergi dari rumah dengan segera.
***
Toni tersenyum, ketika dirinya telah mendapati Ningrum tak ada lagi di dalam rumah. Kini dia melakukan apa pun sesuai dengan keinginannya. Urusan pekerjaan membuatnya memang merasakan kepenatan.
“Bi, Bibi.”
Suara yang nyaring dari mulut Toni itu pun segera membuat sang asisten rumah tangga mendekat dengan cepat. Dengan penuh kerendahan hati, kedua pandangan menunduk ke arah lantai dan siap untuk segera perintah yang akan diterimanya.
“Ada apa, Pak?”
“Tolong belikan saya rokok, tapi di toko depan gang.”
“Baik, Pak.”
Setelah memberikan uang, sang asisten rumah tangga pun segera menuruti perintah. Tak ada penolakan sedikit pun. Meskipun dalam benak hatinya mengatakan, bahwa perintah untuk membeli roko di g**g depan adalah hal yang sedikit aneh.
Mengingat di dekat rumah juga ada toko yang menjual rokok sang majikan. Namun, sebagai seorang pembantu yang mengikuti aturan majikan, apa pun dilakukan meski bertolak belakang denga hati nurani serta akalnya.
***
Di rumah itu, kini tinggal Fina dan juga Toni. Serta bayi mungil yang tengah tertidur dengan sangat pulasnya. Toni mengagkat tubuhnya dari kursi. Dia melangkah ke dapur. Dilihatnya Fina yang sepertinya sedang membakar roti.
“Anak-anakmu sekarang tinggal di mana, Fin?”
“Di asrama, Pak.”
“Tidak usah memanggil, Pak. Panggil saja Toni, seperti panggilan seorang ...”
“Maaf Pak, permisi.”
Fina terus saja berusaha untuk menghindar, dia sama sekali tak menyukai dengan apa pun yang dilakukan Toni kepadanya. Meskipun hanya sebatas berbincang satu sama lain. Fina berusaha agar apa yang terjadi antara dirinya dan juga Toni di masa lalu, tak membuat sebuah masalah baru dalam pekerjaannya.
“Kamu mau ke mana, Fin?”
“Masih banyak sekali pekerjaan yang harus saya selesaikan, Pak.”
“Tunggu.”
Toni mencoba untuk menghalangi langkah Fina. Dia menarik tangan Fina dengan sengaja. Hal itu membuat Fina seakan dalam kemarahan yang masih bergumul di hatinya. Fina tak kuasa untuk memperlihatkan kemarahannya.
Fina hanya diam dengan tatapan mata tak suka. Dia begitu sangat menghargai dan juga menghormati majikannya itu. Hanya saja, Toni selalu mengajaknya untuk bernostalgia dengan masa lalu. Seketika pikiran Fina pun nampak berkelana, dejavu dengan apa yang pernah terjadi antara keduanya.
Ingatan Sepuluh Tahun silam.
“Aku janji akan menikahimu, Fin. Setelah aku mendapat posisi terbaik di kantor papaku.”
“Kenapa harus menunggu mendapat posisi terbaik, kita bisa menikah tanpa posisi itu, bukan?”
“Fin, banyak sekali mimpi yang ingin kukejar. Kamu dan pekerjaan adalah hal yang sangat penting dalam hidupku.”
“Tapi aku tak bisa lama-lama menunggu, Ton. Kita sudah menjalin hubungan selama lima tahun dan belum ada kepastian untuk menuju ke pelaminan.”
“Kamu sabar, ya. Aku pasti akan menikahimu, aku janji.”
“Tapi orang tuaku tak mudah untuk mengerti, aku anak perempuan satu-satunya, dan mereka khawatir akan itu.”
“Tenanglah, aku akan membuktikan ucapanku.”
Fina seakan bosan dengan hubungan selama lima tahun dan tanpa kejelasan itu. Dia berada pada titik jenuh. Hubungan yang dijalin tak memberikan kepastian. Usia Fina yang terus bertambah dan membuat kedua orang tuanya dalam ketakutan.
Fina pun pasrah dengan kondisi yang membuat dirinya bimbang. Semakin berjalan lama hubungan itu, Fina merasakan kehambaran. Serasa tak didapatinya lagi rasa manis dengan apa yang telah dijalaninya itu.
Puncak kejenuhan itu semakin menjadi-jadi. Ketika Fina meminta kejelasan hubungannya lagi. Akan tetapi jawaban yang sama kembali diperolehnya. Fina terasa digantung dengan hubungan yang terus memberikan harapan palsu itu.
Fina pun memiih untuk diam dan berpikir dengan jernih. Dia berusaha untuk bisa memahami Toni. Dia pun menyendiri untuk memikirkan semuanya. Namun ternyata, saat Fina siap untuk menunggu dengan kondisi Toni.
Tiba-tiba saja sebuah kabar mengejutkan didengarnya. Undangan pertunanagan itu diketahui Fina dari beberapa temannya. Toni, kekasih yang belum mengakhiri hubungan dengannya. Sudah membuat keputusan sepihak dengan mengakhiri hubungan yang sudah lama terjalin itu.
Fina bak dilanda kesedihan yang dalam. Selama lima tahun dirinya menghabiskan waktu bersama Toni. Akan tetapi takdir membuatnya harus menangis dalam penyesalan. Mimpi yang sudah lama terpendam itu tiba-tiba harus dikubur dan tak bisa dipupuk lagi.
Fina memutuskan untuk melupakan Toni. Dia menerima perjodohan yang diusulkan oleh ayahnya sendiri. Fina menikah tanpa cinta. Namun, seiring berjalannya waktu. Fina pun dapat mempersembahkan hidupnya hanya untuk suaminya.
Proses membuat Fina bisa melupakan Toni. Meskipun awalnya, dia seperti mayat berjalan. Hidup namun seperti mati. Tak ada harapan yang mudah untuk ditempuhnya untuk menerima sebuah takdir yang menyakitkan itu.
Dan kini, semesta kembali mempertemukan mereka. Fina pun merasa bahwa dia tak harus mengingat masa lalunya itu. Hal yang menyakitkan harus dikuburnya, sayangnya Toni yang seakan kembali membuka tanah untuk mengambil lagi kenangan yang sudah dikubur dalam-dalam oleh Fina.
Fina yang berdiri dengan tatapan kosong, namun pikirannya tak henti mengingatkan akan apa yang dulu pernah dialaminya. Fina tersentak ketika Toni mendekatkan wajah ke arahnya.
“Sebenarnya cintaku ke kamu masih tetap sama, Fin.”
Fina seketika mundur satu langkah. Dia tak mau jika ada orang yang melihat apa yang sedang mereka bicarakan. Wajah Fina nampak panik. Dia memilih untuk menghindar, namun Toni terus saja mencegahnya.
“Fin, di rumah hanya tinggal kita berdua, jadi kamu tidak perlu takut.”
“Stop, kamu yang telah membuangku, jadi harusnya kamu tak melakukan ini padaku, Ton.”
“Fin, aku memang meninggalkanmu, tapi itu juga demi mimpiku. Sudah lama sekali aku mencarimu, aku ingin menikahimu setelah aku mendapatkan kedudukan di perusahaan ayahku. Tapi kamu malah menikah dengan laki-laki lain.”
“Harusnya kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan itu, kamu salah tapi seakan-akan kamu yang teraniyaya.”
Suara Fina meninggi, dia seperti berhasil meluapkan segala kemarahannya. Namun, Toni terus saja bersikap lembut. Dia tak mau melihat Fina lebih marah lagi. Toni tersenyum dengan sangat santai.
Fina yang merasa tak kuat lagi berhadapan dengan laki-laki itu. Dia pun segea berbalik badan, Fina akan menuju ke kamarnya. Akan tetapi, dirinya yang terpeleset dengan kakinya sendiri itu, membuat Toni menyelamatkan tubuhnya dan tak sampai jatuh ke lantai.
Kini Fina dalam dekapan Toni, meskipun hal itu adalah ketidaksengajaan. Namun, sayangnya si asisten rumah tangga itu telah melihat apa yang dilakukan majikannya dan juga Fina. Menatap penuh dengan keheranan.
Fina yang tak menyadari dengan kehadiran rekan kerjanya itu pun nampak terkejut. Fina dengan cepat melepaskan tangan Teguh dan berdiri sendiri, kemudian pergi dengan langkah yang begitu merasa bersalah.