Part 37 - Guncangan hati

1199 Kata
Toni yang juga baru saja menyadari kehadiran sang pembantu yang berdiri tak jauh dari pandangannya. Raut wajahnya yang semula mulai sedikit panik, kini dengan mudah ditepisnya. Toni memasang wajah garang. “Mana pesananku.” Sang pembantu dengan cepat segera melangkah untuk memberikan rokok yang sudah dibelinya di toko yang lebih jauh daripa kompleks rumahnya. “Ini, Pak rokoknya.” “Apa yang kamu lihat tadi?” Mendengar pertanyaan itu, sang pembantu secara tiba-tiba segera menundukkan kepalanya. Wajah menakutkan sang majikan, membuatnya terus menatap lantai putih tanpa lepas. “Kenapa diam? apa yang tadi kamu lihat?” Sang pembantu begitu kaget dengan nada suara yang mulai meninggi itu. Ada sebuah ketakutan, namun karena dirinya tak mau lagi mendengar nada suara yang akan semakin meninggi. Pembantu itu pun berusaha untuk menjawab sesuai apa yang dilihatnya. “Maaf Pak, saya hanya melihat bapak seperti sedang memeluk Mbak Fina.” “Jangan bilang begitu lagi, awas kalau sampai hal itu terdengar di telinga Ningrum, habis kamu sama saya.” “Ba-ik, Pak.” “Pergi kamu.” Pembantu itu pun segera melenggang menuju dapur. Dia tak mau lagi menjadi bualan majikan. Karena apa yang tak sengaja dilihatnya tadi bisa menjadikan boomerang yang sama sekali tak pernah terpikirkan sebelumnya. *** Sekar dalam jantung yang berdetak maraton. Dia sangat ketakutan, bila pelariannya itu akan mengantarkannya pada sosok kedua lelaki yang akan membawanya pulang itu. Uluran tangang ke pundaknya, membuat Sekar semakin tak bisa memandang. Dia menutup kedua matanya rapat-rapat. Dia sangat tak ingin bila harus kembali lagi pada kubangan sebuah pemaksaan. “Sekar, kenapa kamu ada di sini?” Suara yang terdengar di kedua telinganya itu, membuat Sekar dengan cepat membuka mata lalu menatap sesorang yang berada di belakangnya. “Bude.” Sekar segera memeluk wanita paruh baya itu. Ketakutan yang awalnya memuncak, kini perlahan mulai memudar, walau hanya hitungan jari. “Bude mencarimu ke mana-mana.” “Ayah dan mas Fauzi mengejarku bude, aku sangat ketakutan.” Baru saja sebuah penjelasan itu diucapkan. Tiba-tiba saja terdengar suara laki-laki yang memanggil Sekar dengan begitu jelas. “Sekar, di mana kamu?” Lagi-lagi Sekar begitu mengenali suara itu. Nada ciri khas dari sang ayah membuat Sekar semakin dirundung ketakutan kembali. Dia menatap bude dengan sangat cemas. “Bude, bagaimana ini?” “Sekar, lebih baik kamu sembunyi lagi. Bude akan berjaga di sini.” Sekar segera mengikuti apa yang didengarnya itu. Dia berharap jika bude bisa melindunginya. Kembali berada dalam persembunyian. Sekar detak jantungnya semakin tak karuan. Sulit untuk bisa tenang, namun bagaimana pun Sekar harus bisa menguasai dirinya sendiri. Bude masih tetap berjaga. Dia memasang wajah seolah tak menyembunyikan siapa-siapa. Duduk dengan mengalihkan kedua pandang matanya pada beberapa belanjaan yang berada dalam genggaman tangannya itu. Tak lama, seorang laki-laki nampak tengah lewat di depannya. Bude pun mengetahui jika laki-laki itu sedang memandanginya. Bude yang awalnya sempat panik, namun demi menjaga Sekar, dia harus bisa menguasai keadaan. Bude terus mengalihkan fokusnya pada belanjaan yang dikeluarkan satu persatu itu. “Maaf Bu, apa Ibu melihat seorang wanita berambut panjang sebahu dengan mengenakan pakaian berwarna kuning?” “Iya saya melihatnya.” “Di mana dia, Bu?” Sekar yang mendengar percakapan itu pun semakin deg-degan. Dia tak menyangka jika bude mengatakan bahwa telah melihat Sekar. Hal itu membuat Sekar menangis dalam kediaman. “Masnya lurus saja ke sana, tadi saya lihat wanita itu lari ke sana terus belok ke kanan.” “Terima kasih, Bu.” Bude sengaja berkata bohong untuk melindungi Sekar. Dan saat Sekar mendengar penjelasan itu, dia segera mengusap kedua air matanya. Dia sama sekali tak menyangka dengan apa yang dilakukan bude kepadanya. Bude yang melihat laki-laki itu telah berlari jauh, nampaknya bude juga sudah memesan taksi online lewat ponselnya. Bude berharap jika taksi itu akan cepat datang dan bisa kembali membawa Sekar pulang dalam kondisi aman. Bude baru saja akan memanggil Sekar, namun tak lama ada satu orang lagi yang sepertinya akan berjalan mengarah ke arahnya. Bude kembali berpura-pura untuk kembali fokus pada barang belanjaannya. “Bu, apa lihat laki-laki lewat sini?” “Laki-laki yang mana ya, Pak. Karena tadi banyak sekali laki-laki yang lewat di depan saya.” “Dia ....” “Tapi barusan ada laki-laki yang menanyakan seorang wanita yang memakai pakaian kuning, dia bertopi, apa itu yang bapak maksud?” “Betul, Bu. Di mana dia sekarang?” “Bapak lurus saja, laki-laki itu tadi pergi ke sana, Pak.” Bude menunjukkan arah di mana Fauzi melangkahkan kaki dengan tipuan yang sudah dilakukan olehnya. Tak lama, laki-laki yang tak lain adalah ayahnya Sekar itu pun segera mengikuti petunjuk yang diberitahukan oleh bude. Setelah tak terlihat lagi wujud laki-laki itu, bude melihat taksi yang tadinya dipesan itu kini telah berada di depannya. Bude dengan cepat mengemasi barang belanjaannya. “Sekar, sudah aman. Ayo cepat kita pergi.” Sekar yang mendengarkan instruksi dari bude itu pun segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan cepat keduanya segera melangkah ke taksi dan dengan cepat taksi itu melaju tanpa menunggu lama lagi. Sekar yang berhasil melarikan diri itu pun begitu sangat bahagia. Dia bisa terbebas dari kejaran Fauzi dan juga ayahnya sendiri. Sekar yang masih saja meneteskan air mata saking harunya. Dia menatap ke wajah bude dengan penuh rasa yang tak pernah disangka olehnya. “Bude, terima kasih sudah membantu Sekar pergi.” “Lebih baik untuk sementara, kamu jangan keluar-keluar dulu Sekar, di rumah dulu sampai situasi aman.” Sekar pun mengiyakan dengan nasehat yang diberikan oleh bude itu. Sekar masih tak menyangka jika ayahnya dan Fauzi masih bersikeras untuk mengajaknya kembali lagi pulang ke rumah. *** Menjalani sandiwara di depan sang ibu. Dimas yang awalnya merasa baik-baik saja. Namun seiring berjalannya waktu, dia merasa bahwa apa yang telah dilakukannya itu membuatnya merasa dirundung rasa bersalah. Kebohongan yang dilakukan membuat hatinya setiap malam tak tenang. Sandiwara itu benar-benar menyiksa batinnya. Dimas sulit memejamkan matanya. Dia terus saja kepikiran akan apa yang telah diciptakan dalam hidupnya itu. Meski begitu, Dimas merasa ingin mengakhiri apa yang telah diperbuatnya. Namun, hal itu justru membuat dirinya takut bila penyakit yang diderita sang ibu akan kembali kambuh. Malam telah berganti pagi. Sarapan di meja makan itu telah tersedia. Pagi-pagi benar, Lastri telah menyiapkan makanan itu dengan wajah tertekuk layu. Beberapa hari setelah Dimas membawa Hanum ke rumah untuk berkenalan dengan sang ibu, Lastri sikapnya berubah drastis. Meski begitu Lastri berusaha untuk tetap bersikap profesional. Dia tetap menjalankan pekerjaannya dengan baik. Walaupun hatinya tengah kacau balau, Lastri berusaha untuk besikap baik-baik saja. Di meja makan itu, sang ibu tengah menunggu Dimas untuk sarapan bersama. Dimas yang masih bersiap di kamar itu pun mempercepat langkahnya, dia segera pergi ke meja makan untuk bisa menemani sang ibu. “Dimas, kapan Hanum ke sini lagi?” “Belum tahu, Bu. Mungkin Hanum juga sibuk.” “Ibu tidak suka jika kalian terlalu lama mengenal, segeralah menikah.” “Tidak bisa secepat itu, Bu.” “Tunggu apalagi, Ibu nanti akan ke toko hantaran, ibu akan segera membeli perlengkapan lamaran agar engkau bisa segera melamat Hanum, agar kalian bisa segera menikah.” Pikiran Dimas berputar dengan sangat tajam. Ucapan sang ibu membuatnya menelan ludah. Mempercepat pernikahan adalah petaka baginya. Namun, keiginan sang ibu semakin kuat membuat Dimas hanya diam dengan pikiran bercampur aduk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN