“Dimas, Hanum. Kenapa diam? cepat jawab!”
Suara sang ibu terdengar meninggi. Dimas tak mau apa yang telah dilakukannya itu malah akan menjadikan boomerang untuk dirinya dan yang paling penting adalah ibunya.
Dimas segera berdiri dari tempat duduknya. Dia mendeka ke arah ibunya dan mencoba untuk mengajak sang ibu duduk bersama. Dimas penuh senyuman yang mengembang, agar dirinya tak membuat sang ibu semakin merasa cemas.
“Bu, tenang dulu, Dimas tidak mengerti apa yang ibu maksudkan tadi.”
“Kamu dan Hanum berpura-pura menjalin hubungan?”
“Ibu ini ngomong apa? kami tidak berpura-pura, iya kan Hanum?”
“I-ya.”
Dimas menatap Hanum dengan polemik hatinya. Begitu juga dengan Hanum, dia seakan sulit untuk mengiyakan. Namun demi sebuah janji, Hanum pun mengangguk dan menjawab dengan nada terbata.
“Tapi Lastri bilang kalau kalian hanya berpura-pura saja.”
Dimas terkejut mendengar nama asisten rumah tangganya itu. Dan tanpa melanjutkan pembicaraan, Dimas pun seakan mengerti dengan apa yang dimaksud oleh ucapan sang ibu.
***
Sekar yang merasa sangat bosan berada di dalam rumah. Bahkan melakukan pekerjaan rumah pun dilarang oleh bude Teguh. Kadang dirinya secara diam-diam mencari pekerjaan rumah yang bisa dikerjakan.
Meskipun nantinya jika bude melihat apa yang Sekar lakukan, pastinya dengan cepat bude akan melarang Sekar dengan wajah garangnya yang mengiringi.
“Bude, apa Sekar boleh pergi.”
“Pergi ke mana? Nanti Teguh bisa marah kalau kamu pergi dari rumah ini.”
“Maksud Sekar hanya menghirup udara luar saja, bude. Sekar bosan di rumah ini tanpa melakukan kegiatan sedikit pun.”
“Kamu mau jalan-jalan?”
“Tidak, hanya ingin...”
“Bude yang akan menemanimu.”
Belum selesai Sekar melanjutkan ucapannya itu. Namun bude bersemangat untuk memotongnya. Akhirnya mereka berdua pun pergi dari rumah, apalagi bude yang saat itu juga punya rencana untuk belanja bulanan.
Persediaan di dapur sudah pada habis. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk pergi bersama ke swalayan. Bude dan Sekar pun segera bersiap. Keduanya kemudian memakai jasa angkutan umum untuk pergi ke tempat perbelanjaan itu.
***
Sekar nampak terkesima dengan beberapa benang rajut yang terpampang dengan warna-warninya. Sekar melihat tanpa lepas. Ada getaran yang seakan membuatnya tak ingin melepaskan pandangan pada benda itu.
Sekar semakin mendekat. Dia menyentuh beberapa alat rajut yang membuatnya tersenyum tipis. Dalam hatinya berdesir, ada sebuah hasrat untuk membelinya. Akan tetapi, Sekar sadar diri bahwa dirinya tak cukup punya uang untuk membelinya.
“Sekar, bude perhatikan dari tadi sepertinya ada yang ingin kamu beli?”
Sekar mencoba menahan keinginannya. Dia menggelengkan kepalanya, namun seiring dengan tahan senyum di bibirnya. Bude seolah mengerti apa yang dimaksudkan oleh Sekar itu.
“Sekar, ambil saja benang warna apa yang ingin kamu beli, nanti bude akan membayarnya.”
“Tidak perlu bude. Terima kasih atas tawarannya.”
“Kamu tidak perlu sungkan, kamu juga tidak perlu menolaknya.”
“Tapi Sekar tidak ada uang untuk mengganti uang bude nanti.”
“Kamu tidak perlu menggantinya, Sekar.”
Meski begitu, bude yang terus saja memaksa Sekar untuk membeli benang rajut itu pun masih saja ditolak dengan sangat halus oleh Sekar. Akhirnya bude pun terdiam, namun pikirannya seolah berjalan untuk berkelana.
“Kalau begitu, tolong carika bude minyak goreng dua liter, ya. Bude mau ke toilet sebentar.”
“Iya bude, Sekar akan ambilkan minyak goreng.”
“Sekalian bawa keranjang belanjaan ini.”
Sekar mengiyakan. Dia langsung melangkah untuk mencari barang yang diinginkan oleh bude. Mencari-cari di berbagai tempat. Hingga akhirnya, Sekar pun menemukan apa yang telah dicarinya itu.
Seketika, Sekar pun segera mengambilnya. Saat dirinya memasukkan benda itu ke dalam keranjang, tak sengaja Sekar juga nampak melirik ke ujung pandang matanya. Lamat-lamat Sekar melihat pandangan seseorang yang membuatnya merasa ingin mengejarnya. “Nungrum.”
Sekar berlari sembari memanggil Ningrum berkali-kali. Dia tak peduli semua orang menatapnya di tempat itu. Namun, Sekar masih dalam harapan untuk bisa mendekat ke arah Ningrum yang tengah menuju ke pintu keluar.
Sesaat, Ningrum yang mendengar namanya disebut pun menoleh ke sumber suara. Dia yang ditemani oleh asisten rumah tangganya itu pun menghentikan langkahnya sejenak, Akan tetapi setelah beberapa detik kemudian, pandangan wajah Sekar memenuhi iris matanya.
Ningrum pun memilih untuk berari secepat mungkin. Bahkan Ningrum merelakan beberapa belanja yang ada di tangannya itu terjatuh. Ningrum tak mengambilnya. Dia meminta asisten rumah tangganya itu untuk segera mengikuti langkahnya.
Kala itu, Ningrum yang harus pergi dengan taksi karena mobilnya masuk bengkel. Dia merasa kesulitan karena taksi yang dipesannya secara online itu belum juga sampai di tempat. Ningrum dan asisten rumah tangganya itu seperti dikejar maling.
Ningrum tak mau jika Sekar akan terus menanyakan akan bayinya. Dia bertekad harus bisa lolos dari pengejaran kakak tirinya itu. Bahkan sepatu hak tinggi yang menghiasi kaki indahnya itu segera dilepas. Ningrum tak kuat lagi menahan pegal di bagian kakinya.
Sekar dengan sejuta kekuatan, dia menaruh harapan besar untuk bisa bertemu dengan bayinya. Dia tak mempedulikan dirinya sendiri, Sekar terus saja berlari. Dia ingin menapatkan Ningrum agar apa yang dicarinya itu segera mendapatkan titik temu.
“Ningrum, berhenti! Tunggu aku sebentar.”
Sekar menambah kekuatan larinya. Dia yang dulu pernah menjadi juara lari jarak jau tingkat provinsi. Membuat Sekar akhirnya bisa mendekat dengan cepat ke arah Ningrum. Bahkan Sekar telah berhasil menghadangnya.
“Tunggu Ningrum, berhenti. Di mana anakku?”
“Sekar, untuk apa kamu mencari bayimu?”
“Untuk apa? dia anakku dan aku ibunya, aku berhak atas dirinya.”
“Enak saja, kamu lupa dengan sebuah kertas putih yang telah kamu tanda tangani?”
Sekar yang napasnya terengah-engah itu, merasa harus menggunakan otaknya untuk berpikir kembali. Dia mencoba mengingat akan apa yang dikatakan Ningrum. Dan akhirnya Sekar pun mengingat hal itu.
“Hanya sebuah kertas kosong, Ningrum.”
“Ya, awalnya memang kosong tapi setelah aku mendapatkan tanda tanganmu, aku telah membuat sebuah perjanjian di atas kertas putih itu.”
“Apa maksudmu?”
“Kamu tidak bisa menemui anakmu karena kamu telah memberikannya dengan sukarela kepadaku.”
“Apa kamu bilang? Tega sekali kamu, Rum. Tolong ijinkan aku untuk bertemu dengan rajaku?”
“Raja, anak itu perempuan bukan laki-laki.”
Ningrum merasa tak nyaman dengan Sekar. Dia kemudian meminta pembantunya untuk pulang ke rumah terlebih dahulu, kebetulan ada angkot yang baru saja lewat. Pembantu itu segera melangkah dengan kedua tangannya membawa belanjaan.
Kini hanya tinggal Sekar dan Ningrum yang masih berdebat. Rasa ingin yang kuat untuk bertemu sang anak, membuat Sekar terus saja meminta pada adik tirinya itu. Akan tetapi Ningrum masih sangat sulit untuk memberikan informasi tentang anaknya.
“Sekar, menikahlah dan kamu pasti bisa punya anak lagi.”
“Tidak, dia anakku dan aku harus mengambilnya.”
Ningrum pun semakin geram. Dia tak bisa lama-lama berada di depan Sekar, karena pastinya dia akan terus mengganggunya dan tak akan membirkannya untuk melangkah pulang.
Ningrum memutar pikirannya. Dia harus mencari cara untuk kembali lagi melarikan diri. Dan tanpa pikir panjang, Ningrum mengambil minyak wangi dari dalam tasnya. Tanpa memiliki perasaan, Ningrum mengaplikasikan minyak wangi itu untuk membuat Sekar tak berdaya.
Ningrum menyemprotkan minyak wangi itu pada kedua mata Sekar. Seketika, Sekar pun merasa perih di bagian matanya. Dia nampak sulit untuk melihat. Sekar hanya merintih dengan menutup kedua matanya.
Hal itu membuat Ningrum memiliki kesempatan besar untuk melarikan diri. Dan hal itu difungsikan dengan baik, Ningrum dengan cepat segera berlari. Dia tak mau kembali lagi terdesak dengan adanya Sekar yang terus saja menanyakan anaknya.
Sekar berusaha keras untuk membuat kedua matanya bisa memandang dengan jernih. Beberapa saat kemudian, Sekar telah membuka matanya. Sayangnya, dia tak mendapati Ningru m lagi. Sekar benar-benar merasa sangat kecewa dengan dirinya sendiri.
Sekar kembali menyusuri jalan. Sedih hatinya begitu menyeruak. Tangisan itu kembali pecah dengan hiruk pikuk yang melanda. Sekar tak sengaja melihat sosok laki-laki yang berada tak jauh di depannya.
Laki-laki itu sedang berdiri di samping mobil dan tampak sedang menggunakan alat komunikasi yang didekatkan di telinganya. Laki-laki itu tak disangka berbalik badan dan tak sengaja saling memandang dengan Sekar.
Seketika jantung Sekar merasa kembali maraton. Dia tak mau jika laki-laki bernama Fauzi itu kembali akan menangkapnya. Sekar segera berbalik badan dan dia ingin segera berlari. Akan tetapi, dia begitu tak menyangka. Saat dirinya berbalik badan, tubuh sang ayah telah berdiri tegap di depannya. Sekujur tubuh Sekar merasa sangat kaku dan sulit untuk digerakkan.
“Mau ke mana kamu?!”