Part 7 - Dekat Namun Berjarak

1808 Kata
Kehadiran laki-laki bernama Fauzi itu benar-benar mengejutkan seluruh ruangan. Suaranya membahana bak guntur yang menyambar. Bahkan ikrar ijab qabul pun harus tertunda karena hadirnya suara lantang itu. Sekar, jantungnya berdebar-debar. Ada sedikit ketakutan yang kini menyelimuti hatinya. Dia yang juga menatap Fauzi dengan kedua pandang mata yang berarah, menyisakan sesak tak terlihat. “Aku ingin menyaksikan pernikahan wanita yang aku cintai, jadi aku minta ulang prosesnya dari awal.” Ucapan itu terlantun dari bibir Fauzi. Semua orang pun akhirnya mengerti dengan keinginan hatinya. Tak terkecuali Sekar. Dia yang sempat berpikiran buruk akan kedatangan Fauzi dalam pernikahannya. Namun, ternyata apa yang dipikirkannya itu salah. Fauzi pun duduk dekat sekali dengan Dimas. Dia seolah ingin benar-benar andil dalam pernikahan itu. Lalu acara pun harus segera dilanjutkan. Di tengah-tengah itu, nampak pak Surya yang menatap tajam pada Fauzi, senyum getir itu terpampang, tertangkap oleh laki-laki beranak satu itu. Ijab qabul telah usai. Kini Sekar dan Dimas telah resmi menjadi suami istri. Bahtera rumah tangga akan diarungi bersama. Nahkoda dan kapal itu akan berkelana, mencoba untuk tetap bisa bertahan meski ombak pasti akan datang menerjang. Senyum Sekar tak henti-hentinya terpampang. Dia begitu sangat bahagia. Keinginan untuk menikah dengan laki-laki yang sangat dicintainya akhirnya bisa terwujud. Kini keduanya pun saling bertatapan. Dimas menyematkan cincin pernikahan itu di jari manis Sekar, tak lama Sekar pun jika melakukan hal itu pada Dimas. Sekar mengecup punggung tangan Dimas, lalu Dimas pun mneghadiahkan kecupan pada kening Sekar tanda kasih sayang. Acara pun memang tak seperti bayangan para tamu. Dipikirnya ayah Sekar yang kaya raya itu akan membuat pesta pernikahan yang megah untuk putrinya dan ternyata hal itu tidak dilakukan. Sekar hanya memilih acara sederhana, dan bahkan tamu yang diundang itu pun tak banyak. Fauzi memandang Sekar dan Dimas tanpa lepas. Sebelum dirinya berpaling dari tempat itu. Dimas memberikan sebuah bingkisan untuk Sekar. “Semoga kamu bahagia dengan pernikahanmu, Sekar,”ucap Dimas dengan nada mengalun lirih. “Terima kasih mas Fauzi, sudah sudi datang di pernikahanku,” jawab Sekar manis. Lalu pandangan Fauzi pun beralih pada laki-laki yang nampak menggenggam erat tangan Sekar. Dia tak lain adalah sang suami, Dimas. “Dan kamu harus jaga Sekar dengan baik, jika saja kamu menyakitinya maka aku adalah orang pertama yang akan menghabisimu.” Dimas hanya diam, namun dia memberikan anggukan atas ucapan itu. Fauzi yang runtuh hatinya seakan tak ingin berlama-lama di tempat itu. Dia kemudian memutuskan untuk pulang, tak ingin lagi menambah luka dalam dadanya. *** Keindahan malam yang bertaburan bintang di atas langit yang terbentang luas. Sekar dan Dimas dalam balutan kasih sayang yang terpendam jauh di lubuk sanubari. Keduanya merenda cinta dalam sebuah ikatan suci. Dimas yang kini tinggal sementara di rumah Sekar. Ada sebuah rasa yang seakan tak mudah untuk digambarkan. Dia adalah menantu yang kini harus bisa membahagiakan anak ada sang mertua. Selesai gelaran makan malam, Sekar yang selalu berhias senyum itu. Segera mengajak sang suami untuk masuk ke dalam kamar. Sayangnya pak Surya seolah mengetahui apa keinginan dari sang putri. “Dimas, tolong ayah untuk bantu membetulkan kran kamar mandi ayah, ya.” “Baik, Yah.” Dimas menurut dengan kerendahan hatinya. Dia tak mungkin menolak apa yang diminta dari sang mertua. Namun, ternyata dalam hati Sekar seolah berbisik dengan cukup greget. Dia menatap wajah ayahnya dengan penuh sopan. “Yah, kenapa tidak dibetulkan besok saja, sekarang sudah malam. Mungkin ayah bisa menggunakan kamar mandi luar dulu untuk sementara waktu, Yah,” pinta Sekar. “Tidak bisa, kran kamar mandi itu harus segera dibetulkan. Ayah tak bisa menggunakan kamar mandi yang lain.” Pak Surya kemudian beranjak dari tempat duduknya. Menyisakan sedikit sayatan di hati Sekar. Namun, sebagai anak, Sekar hanya bisa mengiyakan apa yang diinginkan sang ayah. Begitu juga dengan Dimas, dirinya yang hanya numpang tinggal di rumah mertua, harus bisa menjaga sikap dan juga perilakunya. “Kamu ke kamar dulu, ya. Aku bantu ayah sebentar,” ujar Dimas pada sang istri. “Jangan lama-lama, ya.” “Iya, akan aku kerjakan dengan cepat.” Dimas pun segera menuju ke kamar mandi sang ayah. Sedangkan Sekar bergegas untuk masuk ke dalam kamar. Wanita itu menunggu sang suami dalam keresahan hatinya. Lima menit saja menunggu dalam diam, seolah seperti sehari bagi Sekar. Dia terus saja menatap jarum yang berputar. Satu jam berlalu, namun tak didapati tanda-tanda jika sang suami telah menyelesaikan tugasnya. Sekar pun di ambang gelisah. Dia tak mau menunggu dengan resah. Akhirnya dia pun keluar kamar dan ingin menemui sang suami. Melangkah perlahan menuju ke kamar pak Surya. Dilihatnya sang suami telah bekerja keras untuk membenarkan benda yang kini menjadi tumpuan sang ayah. “Kenapa ke sini Sekar?” Suara pak Surya melengking, membuat Sekar terkejut dan bahkan dia tak tahu jika Sang ayah berdiri di belakangnya. “Aku hanya ingin memastikan saja, Yah.” “Tunggulah di kamarmu sana!” Lagi-lagi kehampaan yang kembali dirasakan. Dai jarak jauh, Dimas tersenyum pada sang istri. Seolah memberikan sinyal untuk membuat Sekar melangkah dari kamar itu. Dimas yang terus berusaha sekuat tenaga untuk bisa menyelesaikan tugas dengan cepat. Sayangnya, Dimas seolah mendapatkan kesulitan. Apa yang dikerjakannya tak mudah untuk cepat diselesaikan. Bahkan ketika selesai dan kran air itu dicoba, masih saja tak berfungsi. Pak Surya hanya duduk dengan menonton acara televisi. Lama-lama Dimas pun geram dengan apa yang kini ditanganinya. Baginya perkara mudah seperti ini harusnya bisa diselesaiakan dalam waktu singkat. Namun, tak sadar bila sudah tiga jam Dimas berkutat dengan urusan kran. Sekar yang juga terus memandangi jam dindingnya itu, merasa waktu berputar begitu lama. Dia merebahkan tubuhnya di ranjang pengantin yang sudah terhias bunga-bunga mawar yang begitu indah. Sang kekasih yang ditunggunya tak kunjung datang. Bahkan membuat Sekar tak sengaja terbalut dinginnya malam. Dia tertidur dalam penantian panjangnya. *** Tepat pukul satu malam, Dimas berhasil menyelesaikan tugasnya. Senyum pun merekah di bibirnya. Dengan cepat Dimas akan kembali menuju ke kamar sang istri. Nyatanya tubuh pak Surya kembali menjadi penghalang baginya. “Kamu mau ke mana?” tanya Pak Surya. “Ke kamar, Pak. Tugasku sudah selesai.” “Kamu tidur di sini.” “Tapi, Pak. Bagaimana dengan Sekar?” “Dia sudah tidur, kamu tak perlu mengkhawatirkannya.” Dimas hanya mengangguk tanpa banyak melawan dengan kata-kata. Dia cukup mengiyakan, meskipun hatinya memberontak. Harusnya malam ini menjadi malam terindah untuk sepasang pengantin yang sedang dimabuk cinta itu. Nyatanya, keduanya harus tidur terpisah. Dimas pun yang merasa tubuhnya lelah. Segera menyandarkan tubuhnya di sofa dan tak lama dia bisa memejamkan matanya. Pak Surya tersenyum getir dengan apa yang dilihatnya itu. *** Pukul lim pagi. Sekar membuka matanya. Dia begitu sangat terkejut dan bahkan rasa gundah pun kembali mengiringinya. Sekar, teringat akan sang suami. Dia yang membaringkan tubuhnya tak beraturan itu nampak panik, saat tak dilihatnya sang suami di sampingnya. Sekar pun segera membangkitkan tubuhnya. Dia melangkah keluar kamar dan mencari Dimas. Ternyata di sofa depan kamar sang ayah, kedua matanya melihat sang pujaan hati sedang terlelap. Sekar segera membangunkan Dimas. Namun, baru saja sekali dia menepuk pundak sang suami. Tiba-tiba saja sang ayah datang. “Biarkan dia tidur.” “Ayah, kenapa Dimas bisa tidur di sini?” “Bagaimana dia tidak tidur di sini, kalau kamarmu tidak kamu kunci.” Sekar terdiam mendengar ucapan sang ayah. Dia menggaruk-garuk kepalanya, seakan mencoba mengingat dengan apa yang telah dilakukannya. Namun, seakan Sekar tidak melakukan apa yang dikatakan sang ayah. “Buat sarapan saja, biarkan Dimas tetap tidur. Bangunkan ketika sarapan sudah siap!” Pak Surya yang berdiri dengan tolak pinggang setinggi d**a. Membuat Sekar tak berkutik. Dia menurut dengan apa yang dikatakan sang ayah. Meskipun sebetulnya dari lubuk hati yang dalam, Sekar sangat ingin membangunkan sang suami. *** Sarapan pagi pun telah tersaji. Sekar berhias senyum. Dia membangunkan Dimas dan meminta Dimas untuk segera membersihkan diri. Sekar yang sudah berpenampilan cantik dengan sedikit polesan lipstik di bibinya. Padahal sebelum menikah Sekar sama sekali tak pernah menggunakan pemerah bibir. Dimas nampak tersenyum dengan pemandangan yang begitu memukau kedua matanya. Nmau, lagi-lagi suara yang begitu lantang kembali mengejutkan Dimas dan Sekar. “Sekar, tolong belikan ayah rokok di warung sebelah.” Dima segera membangunkan tubuhnya. Sedangkan Sekar menatap pandang sang ayah yang dirasa seperti dalam kubangan sangkar baginya. Sekar pun mengiyakan apa yang dikatakan sang ayah. Dia segera pergi ke warung. Sedangkan Dimas segera membersihkan diri dengan mandi di kamar Sekar. Pak Surya duduk di meja makan. Saat Sekar kembali dan memberikan sebungkus rokok yang telah dipesan. Sekar pun meminta ijin untuk ke kamar, namun pak Surya kembali memberikan tugas pada sang anak. “Sekar, ayah ingin makan mi instan dan juga meminum kopi, tolong buatkan sekarang!” Htai Sekar seolah memberontak dengan apa yang didengarnya. Padahal di atas meja makan itu telah berjejer beberapa menu makanan yang telah siap untuk disantap, dan yang paling aneh lagi Sekar telah membuatkan segelas teh hangat untuk sang ayah, namun minuman itu belum sama sekali disentuh oleh pak Surya. Meskipun begitu, Sekar tak pernah menolak apa yang diperintahkan sang ayah. Dia segera melangkahkan kakinya menuju ke dapur dan menyelesaikan tugasnya dengan segera. Dimas telah berada di meja makan. Setelah Sekar selesai mengerjakan apa yang diperintahkan ayahnya. Dia segera duduk di samping Dimas dan mengambilkan beberapa makanan agar sang suami segera bisa mengisi perutnya. Setelah itu, giliran Sekar meladeni sang ayah. Namun, pak Surya menolak dengan apa yang akan dilakukan Sekar. “Dimas, setelah sarapan kamu ikut ayah.” “Ke mana Yah?” Sekar yang merasa penasaran dengan ucapan itu, dirinya pun segera menjawab sekaligus menanyakan apa yang dikatakan sang ayah kepada sang suami. “Ke kebun, mau ke mana lagi,” jawab pak Surya singkat. “Tapi kan, Yah?” “Kenapa lagi Sekar, sudah saatnya Dimas bekerja. Dia harus menghidupimu.” Seketika, wajah Sekar tertekuk layu. Dia bahkan tak menatap kembali wajah sang ayah. Makanan yang sudah siap disantap pun seolah enggan untuk dimakannya. “Makanlah, Sekar. Kamu tidak boleh sakit.” Suara itu membuat Sekar seakan rindu di titik yang paling menjenuhkan. Dia menikah dan tinggal satu rumah dengan suaminya. Namun, rasanya mereka dekat secara hati, tapi keadaan terus saja membuat jarak di antara mereka. Perlahan, Sekar pun menyantap makanan yang ada di depannya. Sembari pandang matanya terus saja menatap sang suami tercinta. Ada getar yang hanya dirasakan jantungnya, ada harap yang tersemat dalam d**a. “Sudah selesai kan, Dimas. Ayo berangkat sekarang!” Suara pak Surya kembali membuat Sekar tertegun. Dia seolah harus mengakhirkan pandangannya pada sang suami. Dimas sepertinya sangat mengerti dengan apa yang Sekar rasakan. Namun, Dimas tak berani berkutik. Dia hanya mengiyakan setiap apa yang dikatakan oleh mertuanya. Tak lupa, Dimas mengecup kening sang istri sebelum pergi. Dan Sekar pun membalas dengan sembah hormat mencium tangan sang suami. Sekar mengantarkan kepergian suami ke kebun teh milik sang ayah. Di depan pintu, Sekar terus menatap Dimas hingga tak terlihat lagi wujudnya di kelopak matanya. Sekar menarik napas panjang dan berkata lirih, “Kalau begini terus, kapan aku bisa melakukannya dengan Dimas?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN