Perlahan sayup-sayup kedua mata itu telah terbuka. Kondisi tubuh yang masih melemah. Dilihatnya seorang laki-laki yang menunggu dengan berpangku dagu. Sekar hanya menatap tanpa membuka mulutnya. Lalu membuang wajahnya dengan rasa tak nyaman yang menyelimutinya.
“Sekar, kamu sudah sadar,” ucap Fauzi senang ketika melihat Sekar nampak membuka matanya.
Akan tetapi Sekar sama sekali tak menunjukkan wajah yang menyenangkan. Dia seperti dalam kondisi yang sangat ingin dihempaskan.
“Sekar, aku panggilkan dokter, ya.”
“Tidak, aku mau kamu pergi dari sini!”
Sekar mengeluarkan kata-kata ketusnya. Dia seolah sudah tak tahan lagi untuk meneyembunyikan isi hatinya. Rasa yang mengalir dalma darahnya seperti himpitan raga yang tak bisa dibendung. Sekar hanya ingin sebuah kebebasan tanpa paksaan.
“Aku di sini ingin menemanimu, Sekar.”
“Aku tidak butuh kamu, aku bilang pergi, pergi!”
Suara lantang Sekar membahana, Fauzi yang masih dalam posisi duduk itu pun segera berdiri dan berlalu dari pandangan Sekar.
Sedangkan, Pak Surya yang menuggu di luar ruangan. Dia yang seperti mendengar suara saling bersahutan secara samar itu. Segera dengan cepat untuk melihat apa yang telah terjadi di kamar sang anak.
Pak Surya membuka pintu bersamaan dengan Fauzi yang juga sama-sama memegang gagang pintu dari dalam. Keduanya lalu bertemu dalam satu pandangan.
“Kamu mau ke mana Fauzi?”
“Sekar memintaku pergi, Pak.”
“Cobalah untuk sabar, ya. Bapak akan membujuknya.”
Fauzi pun tak ingin berlama-lama lagi di tempat itu. Baginya harga dirinya telah runtuh di depan wanita yang sangat dipuja-puja itu. Dia memilih pergi untuk tidak menambah rasa kesal yang kini merongrong jiwanya.
***
“Sekar, kamu kenapa harus melakukan ini?”
Pertanyaan itu didengar Sekar seperti suara radio rusak. Dia begitu enggan menatap dua cahaya mata sang ayah. Hati Sekar seolah membeku, dia hanya ingin diam tanpa berkata apa-apa. Baginya semua hanya sebuah kesia-siaan belaka.
Apa yang diinginkan tak mudah dimengerti. Sedangkan apa yang dibenci harus terpaksa dihadirkan. Sekar terus saja memalingkan wajahnya dari sang ayah. Dia sama sekali tak bisa menggunakan akal pikirannya dengan jernih.
“Sekar, jangan diam saja. Ayah mengajakmu berbicara!”
Bentakan sang ayah membuat bulir-bulir air mata Sekar menetes. Hatinya gundah, keinginan untuk merasakan cinta yang benar-benar dalam satu rasa, seolah terhalangi tembok besar. Secepatnya Sekar mengusap air matanya.
Dia tak ingin memperlihatkan keriuhan hatinya. Meskipun usaha bunuh diri itu sudah dilakukannya. Nampaknya, sang ayah masih saja mengusahakan agar Sekar tetap mau untuk dijodohkan dengan lelaki duda beranak satu itu.
“Tolong jawab pertanyaan ayah, apa yang membuatmu jatuh cinta dengan Dimas?”
Sekar seperti dalam ruangan yang gelap. Pertanyaan itu seolah menggiring pikirannya untuk bisa berjalan dengan reaslistis. Dia harus bisa meyakinkan sang ayah atas apa yang kini menjadi isi hatinya dan dambaan jiawanya itu.
“Jangan diam, ayah ingin tahu apa istimewanya laki-laki itu.”
Suara pak Surya nampak lembut. Membuat Sekar seakan hanyut. Dia lalu menatap kedua bola mata pak Surya dengan penuh perhatian.
“Yah, cinta tak bisa beralasan. Aku mencintainya dan dia juga mencintaiku.”
“Tapi ayah ingin tahu, jika kamu hidup bersama Dimas dengan segala kekurangannya, apa kamu sanggup Sekar?”
“Kekurangan itu pasti ada, Ayah. Namun, Sekar sangat yakin jika Sekar akan bahagia dengannya.”
“Apa yang membuatmu yakin? Apa karena dia lebih tampan dari Fauzi? Atau karena dia yang tak memiliki harta?”
“Memang, Dimas lebih tampan dan memang benar Dimas tidak bergelimag harta seperti laki-laki piihan ayah, tapi dia sangat bertanggung jawab dan memuliakan aku, dengan dua hal itu aku yakin, Dimas bisa menjagaku dengan baik, Yah.”
“Baiklah, Ayah akan menikahkan kamu dengan Dimas, berhenti menangis, Sekar!”
Mendengar perataan sang ayah. Sekar hatinya seketika mencair. Bak angin segar yang kini hadir dalam ruangan penuh sesak itu. Seketika Sekar menatap wajah sang ayah dengan seksama. Mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri, akan apa yang didengarnya itu.
“Ayah serius dengan ucapan ayah?”
“Apa pernah ayah main-main dengan kata-kata ayah?”
Sekar terharu dengan jawaban itu. Dia kembali meneteskan air mata, beban yang ada di dalam d**a seakan runtuh hanya dengan satu ucapan yang sangat meneduhkan.
Sekar berusaha membangunkan tubuhnya yang lemah. Dia begitu sangat gembira. Senyumnya mengembang. Kedua tangannya secepat kila memeluk erat sang ayah. Kebahagiaan seolah hadir hanya dengan sebatas kabar yang begitu meneduhkan.
***
Setelah Sekar sembuh, persiapan pernikahan secara sederhana itu pun dilakukan dengan segera. Hati berbunga-bunga, bak semerbak mawar mekar yang sedang menunggu kumbang datang. Sekar berbalut senyum, ketika menatap wajahnya di cermin penuh dengan rasa haru dalam dadanya.
Sang perias itu kini telah datang, membuat Sekar laksana ratu dalam sekejap. Disulapnya wajah polos yang sudah terlihat cantik itu menjadi lebih paripurna lagi. Sekar mengikuti saja, tanpa banyak berkata.
“Mbak Sekar ini wajahnya cantik, ya,” puji sang perias.
“Bisa saja, wajah biasa begini dibilang cantik.”
“Coba perhatikan, wajahnya saja putih bersih, tak ada hiasan bintang-bintang.”
Sekar tertawa mendengar ucapan sang perias. Namun, dirinya tak menjawab dengan kata-kata, hanya ekspresi saja yang tertuang tanpa keraguan.
“Hidungnya mancung, bulu matanya lentik, alisnya juga seperti bulan sabit, bibirnya tipis, paket lengkap Mbak Sekar ini.”
“Sudahlah, Mbak. Berhenti memuji begitu.”
“Oh iya, kenapa Mbak Sekar suka sekali rambut panjang?”
“Hanya ingin seperti Ibu.”
“Oh, dulu Ibunya rambutnya juga panjang, ya?”
“Iya, ibu selalu merawatnya dengan baik.”
Sang perias kembali melanjutkan tugasnya. Tak ada lagi kata-kata yang mengiringi. Konsentrasi kini dibutuhkan agar bisa menyelesaikan pekerjaan itu tepat pada waktunya.
Sekar pun hanya diam. Kini rasanya dia seperti terbang di awan bebas. Baginya yang paling utama kini adalah cintanya yang bersatu pada dengan hatinya. Peluang untuk bisa menyatukan dua hati yang saling mencinta akan segera terwujud beberapa menit lagi. Sekar dalam rasa yang kian membumbung tinggi.
Balutan kebaya berwarna putih dengan payet mutiara yang terhias begitu sangat indah. Dengan sapuan riasan yang begitu mendukung membuat kecantikan Sekar semakin sempurna. Bahkan Sekar seakan tak ingin melepas pandangannya dari cermin yang kini menjadi tumpuan kedua matanya itu.
“Mbak Sekar, riasannya sudah selesai, sekarang kita keluar, ya.”
“Sebentar Mbak, tolong beri waktu lima menit untuk saya sendiri di kamar, ya.”
“Baik.”
Sang perias segera keluar meninggalkan kamar Sekar, sesuai dengan apa yang diminta gadis itu. Sekar bergegas untuk mengunci pintunya. Dia lalu mnegambil posisi duduk tepat di depan cermin. Dengan tangan yang tampak menggenggam sebuah pigora.
“Bu, hari ini Sekar akan menikah dengan laki-laki yang sangat Sekar cinta. Restui Sekar ya, Bu. Agar pernikahan ini berjalan lancar dan sampai maut memisahkan. Sekar sangat bahagia, Bu. Ayah telah terketuk hatinya, kini Sekar akan melangkah pada kehidupan yang sangat panjang dengan Dimas, Sekar sayang Ibu. ”
Foto wajah sang ibu seketika di dekap erat oleh Sekar. Dia yang sekarang diselimuti kebahagiaan itu pun, tak sanggup menahan haru biru yang ada di benaknya. Sekar menitikkan setetes air matanya. Sekar menyeka segera, wajahnya yang telah selesai dirias itu pun tak ingin dinodainya dengan tangisan.
Sekar segera mengakhiri rasa yang membuatnya tak sanggup menahan air matanya untuk keluar. Terdengar suara ketukan pintu. Sekar pun segera beranjak untuk membukanya, setelah menaruh kembali bingkai foto itu di tempatnya.
“Mbak, acaranya akan segera dimulai. Ayo kita keluar.”
Rasa gugup pun seketika mengiringi langkah Sekar. Pernikahan sakral yang diidam-idamkan kini telah berada di depan matanya. Sekar seolah tak menyangka, jika ini benar-benar bisa terwujud. Setelah mati-matian sang ayah menjodohkannya dengan lelaki pilihan untuk membuat Sekar segera melepas masa lajangnya itu.
Akan tetapi, Sekar tetap saja melabuhkan hatinya pada laki-laki sederhana bernama Dimas. Pendiriannya sama sekali tak goyah. Dia begitu sangat yakin bila akan bahagia hidup bersama laki-laki tampan yang membuat hatinya seolah merasakan kenyamanan yang tak ternilai itu.
Sekar yang kini dalam seribu pandangan menatap dirinya. Senyumnya mengembang. Kecantikannya begitu terpancar dan membuat seisi ruangan itu nampak sangat pangling. Meskipun biasanya tanpa riasan, Sekar memang sudah terlihat cantik, namun kini kecantikannya seolah bertambah banyak.
Sekar yang mengambil posisi duduk di samping calon suaminya. Dimas Putra Permadi, yang dalam hitungan menit akan segera menjadi pemimpin dalam hidupnya. Sekar menunduk tanpa melihat wajah laki-laki yang ada di sampingnya itu.
Geletar-geletar rasa seolah berkecamuk dalam d**a. Rasa gugup pun seolah tak bisa terhindarkan. Dimas yang hanya membawa sang ibu dalam acara itu. Kedua pandang matanya nampak melihat sang ibu, sebelum dirinya berikrar atas cintanya.
Seutas senyum itu diberikan sebagai tanda restu sang ibu untuk Dimas. Untuk sebuah jalan panjang yang akan ditempuh, samudera luas yang akan diarungi dengan kapal dan nahkodanya. Dimas menarik napas panjang.
Tatapan matanya kini menatap sang penghulu tanpa lepas. Jabat tangan itu telah dilakukan, hanya saja Dimas merasa perutnya tak nyaman. Suara yang tak diinginkan pun terdengar. Dimas tak bisa menahan lagi. Dia pamit sebentar untuk menuju ke kamar mandi.
Para tamu undangan pun seakan tersenyum dengan tingkah Dimas, semua seperti merasakan apa yang dirasakan oleh calon pengantin itu. Rasa deg-degan yang tak bisa dihindarkan. Sembari menunggu Dimas kembali lagi. Sekar terus saja menunduk dan memanjatkan doa dalam hatinya.
Sepuluh menit berlalu, Dimas tak kunjung terlihat batang hidungnya. Rasa cemas pun kini seolah datang di benak Sekar. Entah mengapa, dirinya seperti merasakan suatu hal yang tak bisa digambarkan dengan jelas.
Sekar nampak begitu panik. Bahkan sesekali matanya kembali mencari-cari. Ingin rasanya Sekar berlari dan memanggil Dimas agar segera hadir di sampingnya, agar pernikahan yang sudah diimpikan bersama ini akan segera terwujud dalam cinta yang saling mengasihi.
Sekar menunduk lagi, sudah lumayan lama Dimas pergi ke kamar mandi. Resah tak bisa dibohongi. Kedua mata Sekar nampak berotasi, sembari lantai menjadi pijakan pandangannya.
“Maaf, sudah menunggu lama.”
Suara yang begitu dikenalinya nampak terdengar dengan napas terengah-engah. Saat itu pula, Sekar menatap laki-laki yang ada di sampingnya. Hingga tak sengaja tatapan kedua insan yang sedang dimabuk cinta itu pun bersatu tanpa penghalang.
Dimas dalam hatinya sejurus memuji kecantikan sang calon istri, begitu pun dengan Sekar. Dia tak menampik jika Dima begitu tampan dan membuat hatinya seakan tak bisa berpaling ke lain orang.
“Bisa kita mulai sekarang?”
Ucapan penghulu, membuat pandangan keduanya berakhir dengan paksa. Kini Dimas harus menyelesaikan satu tugas untuk meresmikan hubungan mereka. Dimas nampak siap dengan bekal keyakinan yang telah digenggamnya.
Namun, tiba-tiba saja Dimas terdiam sembari menatap kosong ke depan. Seperti ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Bahkan hal itu sangat kentara sekali, saat sang penghulu sudah mengucapkan ikrar, namun nyatanya Dimas sama sekali tak membuka mulutnya.
“Saudara Dimas, apakah anda sudah siap untuk saya nikahkan?”
“I-ya, Pak. Siap,” jawab Dimas gugup.
“Kenapa tidak menjawab ikrar saya?”
“Maaf, Pak. Bisa diulang lagi.”
“Tolong lebih konsentrasi, ya. Karena pernikahan bukanlah permainan.”
Rasanya tertohon ketika mendengar kata terakhir dari sang penghulu. Dimas mencoba untuk lebih fokus lagi dan membuat dirinya untuk bersikap lebih tenang. Dia menyadari bahwa rasa gugup begitu mengganggunya.
Namun, Dimas terus saja membawa dirinya untuk bisa rileks agar dia bisa menjawab ikrar itu dengan jelas, lantang dan tetap tenang.
Kedua pandang penghulu dan Dimas pun kembali bertemu. Dimas mengambil napas, jabat tangan itu telah dilakukan dengan begitu erat. Seolah kesiapan kini lebih bisa terlihat daripada sebelumnya. Namun, tiba-tiba saja seseorang datang dan membuat seluruh isi ruangan nampak menatap dan menghentikan ikrar pernikahan itu dengan segera.
“Tunggu!”
Semua mata tertancap pada laki-laki itu. Dimas dan juga Sekar pun juga tak melewatkan pandangannya. Semua seperti terhipnotis dengan kehadiran Fauzi yang mendadak dan mengejutkan itu.