Part 45 - Pertemuan Tak Sengaja

1851 Kata
Ningrum yang baru saja mendegar serta melihat kondisi ayah kandungnya di layar televisi itu, seketika dirinya merasa sangat terenyuh dengan apa yang sedang menimpa laki-laki yang sudah merawatnya dari kecil itu. “Mas, ayo kita jemput ayah.” “Baiklah, kamu siap-siap dulu.” Ningrum yang diselimuti sebuah kepanikan atas bencana yang sudah melanda di kampung halamannya. Ningrum bergegas bersiap dengan cepat. Tak butuh waktu lama, dia tak butuh banyak benda untuk dibawanya untuk pergi menjemput ayahnya. Dan saat Toni telah siap, keduanya segera melenggang pergi. Sedangkan Sekar, hanya bisa diam membisu dengan segala nestapa yang dirasakannya. Sekar sangat ingin pergi untuk melihat ayahnya. Hanya saja, keadaan tak mengijinkannya untuk itu. “Riska, Mas Pras menangis, kenapa kamu berdiri diam saja di situ?” Suara bibi Darmi membuyarkan lamunan Sekar. Dia terperanjat dengan apa yang tengah didengarnya itu. Suara tangisan bayi yang tiba-tiba membahana dengan sangat keras. Sekar pun dengan langkah terbata-bata segera melihat bayinya. Tangisan yang ditujukan oleh bayi itu seakan dirinya memiliki firasat tentang kakeknya, yang kini tengah merasakan sebuah kesulitan atas bencana yang melanda itu. Sekar memeluk bayi Raja dengan penuh kasih sayang. Ditimang-timang dengan sejuta cinta yang dimiliki. Akan tetapi suara tangis bayi itu terus saja melengking tak mau berhenti. Sekar merasa panik, hingga dirinya mengataui jika Raja badannya demam. “Bi Darmi, bayi Pras demam.” “Apa? bagaimana ini? bapak dan ibu kan sedang pergi.” “Biar saya bawa ke rumah sakit ya, Bi. Takut nanti bayi Pras kenapa-napa.” “Kamu harus ijin dulu sama bapak, Ibu, Riska.” “Tak ada waktu lagi, Bi. Bayi ini menangis terus. Aku akan berangkat sekarang.” Bibi Darmia hanya diam, sembari melihat apa yang dilakukan Riska kepada anak asuhnya itu. *** Sebelum pernikahan dilaksanakan, Dimas dan juga Hanum telah pergi ke dokter kandungan. Keduanya ingin berkonsultasi atas impian yang akan dibangun bersama. Memeriksakan kesehatan masing-masing. Berharap tak ada masalah di antara keduanya. Mempersiapkan semuanya sedini mungkin, saran dari dokter begitu sangat dibutuhkan. Untuk mendapatkan sebuah impian untuk bisa menjadi calon orang tua yang diidam-idamkan. “Terima kasih ya, Mas. Sudah mau ke dokter kandungan, padahal kita belum menikah.” “Tidak apa-apa, memeriksakan semuanya sebelum pernikahan sah-sah saja, semua juga untuk berjaga-jaga, bukan?” Hanum tersenyum mendengar apa yang dikatakan laki-laki itu kepadanya. Tak lama, dokter memanggil Dimas untuk segera diperiksa di dalam ruangan. Hanum pun setia menunggu dengan duduk di kursi tunggu. Sekar berlari sekuat tenaga, kini dia mencari ruangan dokter. Saking bingungnya, Sekar seolah tak bisa berpikir dengan bijak. Langkah yang dilakukan pun tak sesuai dengan prosedur yang harusnya dijalani oleh calon pasien. “Bu, tolon tenang, dan patuhi prosedur rumah sakit ini.” “Sus, tolong anak saya. Dia demam, Sus. Tolong!” Suara Sekar terbata dengan kristal bening yang terus saja menetes menghiasi kedua pipinya. Dia seakan begitu takut jika sesuatu terjadi pada bayi yang tak lain adalah darah dagingnya sendiri. Suster pun segera membantu Sekar. Sedangkan Sekar yang diselimuti dengan keresahan dan kekhawatiran itu hanya bisa gigit jari dengan segala ketakutan yang melanda dalam hatinya. Menunggu dengan terus saja menitikkan air mata. Sekar menudukkan kepalanya, seraya dalam hati yang dalam, Sekar memanjatkan doanya untuk Raja agar kondisinya semakin membaik. Isak tangis Sekar tak tertahankan. Bahkan dirinya sama sekali tak peduli dengan lingkungan di sekitarnya. Hanum yang sedari duduk seorang diri. Dia tampak menatap Sekar sedari awal datang hingga sendirian tak ada teman. Hanum kembali mengingat saat dirinya harus kehilangan buah hatinya. Dunia terasa hancur, putih berubah menjadi hitam pekat. Hanum seolah mengerti dan merasakan akan apa yang terjadi pada wanita yang sama sekali tak dikenalnya itu. Hanum berdiri dari tempat duduknya, dia berusaha untuk bisa menjadi penawar atas perasaan yang kini seperti tergores pisau belati. “Aku tahu apa yang kamu rasakan, menangislah. Karena tangisan seorang ibu akan menambah kasih sayang pada anaknya.” Sekar menggantang kepalanya. Dia melihat seorang wanita yang datang menghampirinya. Wanita itu duduk di sampingnya dengan berhias senyum. Sedetik kemudian, satu tangan wanita itu memegang pundak Sekar, lalu satunya lagi menggenggam salah satu tangan Sekar. Sekar nampak begitu heran dengan kedatangan wanita yang belum dikenalnya itu. Namun, tak dapat dipungkiri jika Sekar merasa tersentuh hatinya dengan senyum wanita yang duduk disampingnya. “Aku Hanum, aku memperhatikanmu sejak tadi. Anakmu kenapa?” “Dia demam.” “Jangan khawatir, itu hal yang biasa. Anak kamu pasti bisa melaluinya.” “Terima kasih.” “Jangan bersedih ya, jika kamu sedih anakmu akan menangkap kesedihanmu, begitu pula sebaliknya, jika kamu tegar, aku yakin anakmu pasti akan kuat dengan sakitnya. Percaya itu!” Sekar merasa terbuai dengan untaian kata yang dikatakan Hanum kepadanya. Sekar masih saja menitikkan air matanya. Hanum yang begitu peka, dia menggunakan tangannya untuk menyeka air mata yang menghiasi pipi Sekar. Menit berikutnya, dokter yang memeriksa sang bayi keluar ruangan dan segera mencari Sekar. Dengan cepat, Sekar berdiri untuk segera menghadap dokter agar bisa mendapatkan informasi tentang kondisi anaknya. Sedangkan Hanum, dia sudah harus kembali pada urusannya. Karena saat Sekar meninggalkannya, ternyata bersamaan dengan Dimas yang baru saja keluar dari tempat pemeriksaan juga. “Sudah selesai, Mas.” “Sudah, Hanum aku dapat telepon dari atasan, aku harus segera di bengkel. Ada urusan yang harus segera diselesaikan.” “Ya gak apa-apa, Mas. Nanti aku bisa pulang sendiri.” “Kamu beneran gak apa-apa?” “Iya, gak apa-apa.” “Aku pamit, ya.” Hanum melepas kepergian sang calon suami. Kemudian dirinya segera masuk ke dalam ruangan untuk memeriksa kondisinya. Saat itu, Sekar yang menoleh ke arah laki-laki yang berjalan meninggalkan arahnya. Sekar hatinya seolah berdetak. Ada hal aneh ketika dirinya menatap punggung laki-laki yang membuat kedua pandang matanya tak beralih. “Bu Sekar, silakan masuk kalau mau melihat kondisi bayinya.” Sekar buru-buru melepaskan pandangannya. Dia kembali berfokus untuk kondisi sang anak. Sekar pun ingin segera masuk ke dalma ruangan untuk memastikan akan kesehatan Raja, sang bayi yang disayang hidup dan matinya. *** Perjalanan yang melelahkan, Ningrum dan Toni telah berhasil membawa sang ayah ke rumah. Bencana alam yang tak pernah bisa ditawar, apalagi ditunda. Kini sang ayah sudah tak memiliki apa pun. Rumahnya tengah tersapu angin p****g beliung. Kebun teh yang luasnya berhektar-hektar itu pun semua tanamannya sudah tak berbentuk lagi. Tak ada lagi yang bisa diharapkan pak Surya atas kekayaan yang dimilikinya. Peringatan gempa susulan itu membuat pak Surya sudah tak ingin lagi diam dengan kekayaan yang tak pasti itu. Dua bencana sekaligus yang telah memporak-porandakan keadaan. Semua habis terkikis. Sepanjang perjalanan pulang, Ningrum terus saja memejamkan matanya. Dia membuka mata, saat mobilnya terhenti di depan rumahnya. Ternyata tujuan telah sampai. Ningrum pun segera membangunkan ayahnya yang juga sedang terlelap. Masuk ke dalam rumah. Ningrum segera mengantarkan ayahnya untuk beristirahat di kamar. Sedangkan Toni segera memanuver kembali mobilnya. Beberapa menit kemudian, Ningrum pun mencari suaminya yang tak terlihat lagi oleh kedua mata telanjangnya itu. Ningrum melihat keluar, dia tak mendapati kendaraan suaminya terparkir di halam depan atau pun di garasi rumahnya. Ningrum seakan naik darah. Dia mengambil ponselnya dengan cepat. “Mas, kamu kemana?” “Pergi sebentar.” “Pergi ke manas, sih.” “Ningrum, aku lelah kalau harus terus berdebat denganmu.” Seketika Toni segera mematikan panggilan yang masih terhubung secara sepihak. Ningrum pun semakin dibuat kesal. Dia berusa menghubungi suaminya kembali. Namun, panggilan itu tertolak. Ningrum semakin kesal. “Bi, di mana Riska? Raja sudah dimandikan belum? Makannya bagaimana? Rewel atau tidak?” Ningrum yang baru saja bersisipan dengan asisten rumah tangganya itu pun segera meluncurkan berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi diberikan kepada bibi Darmi. “Maa, Bu. Sekar membawa bayi Pras ke rumah sakit.” “Apa? kenapa dengan Pras?” “Demam, Bu.” “Kenapa Riska tidak meneleponku dulu tadi!” “Tadi bibi sudah bilang, katanya tidak ada waktu lagi.” “Kurang ajar dia. Dibawa ke rumah sakit mana?” “Bibi kurang tahu, Bu.” “Punya nomor ponselnya Riska?” “Tidak ada, Bu.” “Sial.” Kemarahan Ningrum semakin menjadi-jadi. Dia segera menuju ke rumah sakit. Ningrum pun seakan yakin jika baby sitternya itu membawa bayinya di rumah sakit terdekat dari rumahnya. Ningrum membawa mobilnya dengan sangat cepat. Dia segera menuju ke rumah sakit dan berharap sangat jika dirinya bisa segera menemukan bayinya. Meskipun diselimuti dengan rasa marah, namun Ningrum sudah ingin bertemu dan melihat kondisi bayinya. Dan ternyata dugaan Ningrum benar. Dia bisa mendapatkan informasi dari petugas rumah sakit yang berjaga, jika bayinya sedang dirawat di sebuah kamar yang ternyata tak jauh dari jangkauan matanya. “Riska.” Sekar tetap saja diam. Dia mengira jika nama yang terdengar itu bukanlah dirinya. Sekar masih saja memandang anaknya penuh dengan kekhawatiran. “Riska!” Panggilan itu semakin kencang dan membuat Sekar terperangah dengan sosok wanita yag tengah berdiri di samping pintu. Sekar kedua pandangannya berubah, ada sebuah ketakutan yang menyelami tanpa sadar. “Bu Ningrum.” “Siapa yang suruh bawa Pras ke rumah sakit?” “Maaf, Bu. Saya sangat panik, karena bayi Pras panasnya tinggi.” “Harusnya kamu kasih kabar ke aku, bukan malah seenaknya begiti, apalagi ini bukan rumah sakit yang selevel dengan keluargaku, mengerti kamu!” “Maafkan saya, Bu. Saya salah dan saya telah lancang.” “Enak saja, kalau cuma minta maaf ya gampang. Aku potong gajimu bulan depan!” Sekar hanya mengangguk tanpa membantah. Baginya sebuah gai sangatlah tidak penting. Hanya bayinya itulah sebagai jantung atas kehidupannya. Tak ada yang lain. Ningrum melihat bayinya dengan kondisi yang sudah mulai membaik. Demam sang anak telah hilang. Namun, Ningrum memilih untuk memindahkan anaknya ke rumah sakit langganannya. Yang bisa dibilang lebih elit dari rumah sakit yang kini menjadi pijakan kakinya itu. *** Pertengkaran Ningrum dan Toni seolah tak berujung. Dua hari Ningrum berada di rumah sakit bersama Sekar. Seolah Toni sama sekali tak peduli akan dirinya. Tak ada pesan atau pun panggilan sebagai wujud perhatian suami ke istrinya. Ningrum begitu ingin menghantam wajah suaminya. Hari yang ditunggu untuk kepulangan sang bayi telah tiba. Ijin dari dokter sudah dikantongi. Ningrum dan Sekar pun segera pulang, karena bayinya sudah sembuh. Sesampainya di rumah. Ningrum nampak menggendong bayinya. Sembari dia melihat jika di rumah tak didapati mobil suaminya. Hal itu menandakan jika sang suami tidak sedang berada di rumah. Disambut mesra oleh sang ayah. Ningrum dengan senyum memberitahukan anaknya yang tengah berada dalam dekapannya itu. “Ningrum, ini anakmu?” “Iya, Yah. Ini cucu ayah.” Mendengar jawaban itu, Pak Surya nampak tersenyum lebar. Detik selanjutnya pak Surya meraih tubuh mungil sang bayi yang masih terlelap dalam tidurnya itu. Tak lama, Sekar yang baru saja masuk dengan membawa beberapa barang dari rumah sakit itu, nampak menatap pak Surya tanpa lepas. Pandangan itu pun ditangkap oleh Ningrum, seperti menandakan sesuatu yang begitu janggal dirasakan. “Riska, cepat masuk! Jangan pandang ayahku lagi!” Sekar hanya diam. Dia melangkah perlahan untuk meninggalkan sosok laki-laki yang begitu dikenalnya. Hanya saja, karena sbeuah penyamaran yang harus terus berjalan. Sekar tak berani menyapa ayahnya sendiri. “Tunggu!” Suara pak Surya terdengar sangat jelas. Jantungnya berdegup kencang. Seperti akan ada hal yang dikatakan pak Surya kepada Sekar. Hal itu membuat Sekar merasa takut, terlebih jika penyamaran yang dilakukannya itu harus diketahui ayahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN