Sekar segera berbalik badan. Dia tak mau jika ayahnya menaruh kecurigaan kepadanya. Sekar hanya berdoa dalam hatinya, semoga saja hal yang tidak diinginkan itu tetap terjaga dengan sangat baik.
“Buatkan aku kopi.”
Suara itu begitu mengejutkan, sama sekali tak pernah terpikir akan apa yang dibayangnkan oleh pikiran Sekar sebelumnya. Menghela napas lega, seolah apa yang dikhawatirkannya tak perlu lagi disimpan.
“Yah, dia pengasuh anakku, bukan pembantuku,” kata Ningrum.
“Apa salahnya jika ayah ingin minta kopi.”
“Riska, panggilkan Darmi sekarang, dan kamu ke kamar Pras, lihat dia,” perintah Ningrum pada Sekar.
“Baik, Bu.”
Sekar berlalu. Berjuta rasa syukur bergelayut dalam dadanya. Tuhan masih melindungi penyamarannya. Ayahnya sendiri ternyata tak mengenali dirinya. Sekar tersenyum dengan sangat bangga. Perjuangan yang dilakukan ternyata tak sia-sia.
Meskipun begitu, Sekar merasa harus berhati-hati dengan penyamarannya. Ayahnya kini telah tinggal satu rumah dengannya. Sekar telah mengganti rambut panjangnya dengan dipotong hingga pendek. Lalu luka yang ada di pipinya masih saja kentara. Bahkan dia sengaja tak mengobatinya, hanya agar penyamarannya itu masih akan terus berlanjut tanpa harus diketahui siapa pun.
Tahi lalat palsu yang ada di pipi kanan. Rambut poninya masih juga menghiasi penampilannya. Demi sebuah penyamaran, Sekar pun sealu memakai bulu mata dan juga softline, agar penyamaran itu semakin terlihat sempurna.
Tak hanya itu, Sekar pun berjalan agak pincang, agar dia bisa mengelabuhi setiap mata yang memandangnya. Bermain drama secara totalitas, hanya karena keinginan kuat untuk bisa terus bersanding dengan sang buah hati. Walaupun terkadang, dirinya merasa lelah, dengan cara berjalan yang tak biasa. Namun, perjuangannya itu masih harus tetap dilanjutkan. Hanya agar dirinya bisa terus bertahan di samping anak tersayangnya itu.
Sembari melangkah dengan lamunan yang begitu melekat akan sang bayi, tiba-tiba saja, Sekar harus menghentikan akan apa yang sedang dipikirkannya itu. Saat sebuah suara membuatnya harus kembali pada kenyataan.
“Riska, tolong ambilkan madu di kulkas.”
Sekar nampak terkejut, ketika suara Toni membuyarkan langkahnya. Sebagai seorang yang bekerja di rumah itu, Sekar pun mengikuti apa yang dikatakan oleh majikannya. Dia mengangguk tanpa harus menolak.
Sekar mengambilkan madu yang harus dikasihkan dengan cepat kepada laki-laki yang tak lain adalah adik iparnya itu. Sekar mengetuk pintu kamar Toni sekali. Akan tetapi apa yang dilakukannya itu diketahui oleh Ningrum.
Dengan cepat, Ningrum melangkah menuju ke kamarnya. Dia menatap Sekar dengan pandangan cukup serius. Rasa tak suka itu menggelantung tanpa diminta.
“Mau apa kamu ke kamarku, Riska.”
“Saya hanya mau mengatarkan madu ini, Bu. Tadi pak Toni meminta saya untuk mengambilkannya di kulkas.”
“Pergi!”
Sekar segera meminta paksa madu itu dari tangan Sekar. Wajahnya nampak terlihat begitu garang. Sekar pun tak melawan. Dia membiarkan Ningrum melakukan apa saja sesukanya. Sekar kemudian segera melangkah untuk pergi dari hadapan Ningrum.
Sedetik kemudian, Ningrum pun membuka pintu kamarnya. Lagi-lagi dia mendapati sang suami sedang melakukan panggilan video dengan seseorang. Dan Toni yang mengetahui kehadiran sang istri, dia buru-buru mematikan ponselnya.
“Mas, telepon siapa sih? Dari kemarin aku lihat seperti sangat serius dengan ponselmu itu.”
“Siapa lagi kalau bukan klien.”
“Harus dengan video call?”
“Berhenti curiga padaku, Ningrum.”
“Aku ingin tanya pasword ponselmu.”
“Untuk apa?”
“Kamu tanya untuk apa? kita itu suami istri Mas, harus saling terbuka satu sama lain, apa pun itu!”
“Ningrum, berhenti mendikte, aku dan kamu juga punya privasi masing-masing.”
“Oke, kalau begitu aku ingin kamu membuka pesan di ponselmu itu, aku ingin tahu siapa saja yang memenuhi isi ponselmu, selain aku!”
“Gak penting.”
“Mas, kamu seperti sama sekali tak menghargai aku sebagai istrimu.”
“Aku tak mau berdebat denganmu, Ningrum. Pergi dan jangan menggangguku, aku masih sibuk dengan urusan pekerjaan.”
“Kamu terus saja mengurusi pekerjaanmu itu, sekarang kamu tak lagi perhatian. Jahat sekali kamu, Mas.”
Toni kembali lagi fokus dengan layar ponselnya. Dia sama sekali tak peduli apa yang dikatakan Ningrum. Hal itu seketika membuat Ningrum meradang. Dia tanpa kontrol emosi, segera dengan cepat membanting ponsel yang sedang digenggam oleh suaminya itu.
Bahkan tanpa diinginkan, ponsel yang jatuh menghiasi lantai itu kini telah pecah menjadi dua bagian. Toni pun tak lagi bisa mengontrol kemarahannya. Dia kembali menampar Ningrum dengan sangat keras.
Alih-alih karena pintu kamar yang lupa tidak ditutup oleh Ningrum, membuat Pak Surya yang baru saja lewat di depan kamar sang anak, dia melihat dengan sangat jelas. Jika Toni telah berlalu kasar pada anaknya.
“Hentikan Toni, kamu tidak boleh memperlakukan Ningrum seperti itu!”
Suara pak Surya membuayarkan adu mulut antara suami istri itu. Toni memungut ponselnya, dia merasa tak nyaman lagi dengan keadaan yang membuatnya harus berhadapan dengan mertuanya. Toni mendekatkan mulutnya ke telinga Ningrum.
“Urusi ayahmu yang rewel itu,” bisik Toni.
Ningrum segera mengusap air mata yang sudah jatuh. Kemudian dengan susah payah dia harus menahan lagi air matanya agar tak mudah jatuh. Dia hanya bisa menelan keadaan yag begitu sulit untuk diterimanya. Apalagi, pertengkaran itu terekam dalam ingatan sang ayah. Ningrum berusaha untuk kuat.
Sayangnya, Toni tak seperti apa yang diinginkan. Ningrum berharap jika Toni bisa bersikap manis lagi setelah ayahnya menegur dengan sangat keras. Sayangnya, Toni malah memilih untuk pergi dan seolah tak peduli dengan perasaan Ningrum.
“Mau kemana kamu, Toni!”
“Banyak urusan Yah.”
Hanya jawaban singkat itu yang dilontarkan Toni pada ayah mertuanya. Dia seolah tak peduli dengan sikapnya sendiri. Toni melenggang pergi, menyisakan luka yang masih tergores di hati Ningrum, istrinya.
“Ningrum, apa yang terjadi. Kenapa Toni menamparmu?”
“Dia tidak menamparku, Yah. Hanya di pipiku ada nyamuk. Ayah saja yang melihat seperti aku sedang ditampar oleh suamiku sendiri.”
“Jangan bohong, tadi ayah lihat Toni menggerakkan tangannya ke arah pipimu dengan sangat keras, bukan?”
“Tidak, Yah. Mas Toni tidak pernah menyakitiku, ayah salah paham.”
Ningrum berusaha sekuat tenaga untuk tetap menenangkan ayahnya. Begitu juga dirinya ingin meyakinkan pada laki-laki yang begitu sangat dihormatinya itu, untuk percaya akan apa yang sudah dijelaskan.
“Kamu tidak bohong pada ayah?”
“Sama sekali tidak, Yah. Ayah kan tahu sendiri bagaiman Mas Toni sangat mencintaiku. Dia tidak pernah menyakitiku, Yah.”
“Kamu serius?”
“Iya, Yah. Ningrum sangat serius.”
Ningrum berusaha untuk tetap tersenyum lebar. Apa yang dikatakan pada ayahnya itu harus membuat anggapan sang ayah terkikiskan. Ningrum lalu mengantarkan ayahnya untuk beristirahat di kamar.
Setelah berhasil meyakinkan pikiran sang ayah. Ningrum seketika itu segera mengunci pintu kamarnya. Dia menangis sejadi-jadinya. Air matanya membanjiri kekecewaan yang ada dalam hatinya itu.
Seperti diterjang ombak dahsyat. Dia merasa bahwa apa yang kini sedang menimpa prahara rumah tangganya itu begitu sangat di luar dugaannya. Toni yang dulunya sangat jarang sekali berkata kasar. Nyatanya akhir-akhir ini dia merasa bahwa suaminya itu telah berubah.
Sulit sekali untuk menyatukan pendapat. Ningrum pun semakin menaruh kecurigaan yang tinggi kepada suaminya. Setelah dirinya meminta sebuah kejujuran yang sama sekali tak dipedulika ole Toni.
Ningrum mengambil ponselnya. Kepalanya yang terasa ingin pecah itu, membuat dirinya ingin menenangkan hatinya. Ningrum menelepon salah satu sahabatnya. Dia ingin melupakan apa yang telah dilakukan Toni kepadanya.
“Nya, kita bisa ketemu sekarang?”
“Bisa banget, Rum. Tapi ini aku lagi di mall. Kamu bisa nyusul ke sini.”
“Oke, di mana?”
“Tempat biasa.”
“Aku ke sana sekarang.”
Ningrum segera menutup panggilan telepon itu. Dia segera bersiap. Berganti pakaian, lalu menambah aksesoris pada tubuhnya. Dan tak lupa, sedikit riasan wajah itu membuat Ningrum tak lagi kelihatan jika telah mengeluarkan beribu air mata.
Wajah Ningrum tak lagi sembab. Dia menikmati perjalanan menuju tempat yang sudah disepakati dengan sahabatnya itu. Tak lama, Ningrum mendapati ponselnya bergetar. Diselimuti rasa penasaran.
Dengan tetap menyetir, fokusnya sedikit terbagi. Akan tetapi, Ningrum yang berusaha mengambil ponselnya di dalam tasnya, tiba-tiba saja ponsel itu terjatuh. Ningrum akhirnya harus menghentikan mobilnya.
Dia mencari ponselnya yang tak nampak pada pandangannya itu. Kedua tangannya meraba ke bawah joknya. Hingga akhirnya, Ningrum menemukan apa yang telah dicarinya itu.
Dengan cepat, Ningrum segera membuka pesan singkat yang dikirimkan Anya kepadanya. Betapa terkejutnya Ningrum. Dia mendapati sebuah foto yang baru saja diterimanya itu, membuat pikirannya semakin berkelana.
Baru saja menatap foto itu. Ningrum mendapati Anya sedang meneleponnya. Tak butuh waktu lama untuk menggerakkan jarinya. Ningrum seger mengangkat panggilan itu.
“Rum, sudah buka foto yang aku kirimkan?”
“Iya, Nya.”
“Cepat kesini, aku masih mendapati mereka sedang makan bersama.”
“Tolong awasi mereka, jangan sampai ketahuan. Aku akan lanjutkan perjalananku agar bisa segera sampai.”
“Iya, hati-hati Rum.”
Ningrum menutup panggilan telepon itu. Beriringan dengan tetasan air mata yang kembali menghiasi wajahnya. Dia sama sekali tak menyangka dengan foto yang dilihatnya itu. Pikirannya terasa tak karuan.
Hatinya seolah menjerit keras. Air matanya semakin bercucuran, menghiasi kegundahan jiwa yang kini seolah tengah mempermainkannya. Ningrum membanting ponselnya. Dia begitu benci dengan foto yang telah mengancurkan pikirannya itu.
Ningrum kembali menancapkan gas. Dia kembali melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Ingin segera sampai di tempat tujuan. Agar apa yang diharapkannya itu bisa segera dapat diwujudkan. Meskipun sebenarnya, hatinya remuk redam akan apa yang telah membuat kepercayaannya seakan hancur.
***
Ningrum telah berada di tempat tujuan. Dia siap memarkirkan mobilnya. Lalu dengan cepat, Ningrum segera melangkah dengan berlari. Dia tak mau jika kehilangan jejak. Ningrum harus segera menyelesaiakan polemik hatinya.
Naik eskalator hingga ke lantai empat. Seolah tak sabar dengan keinginan yang sudah bersenandung sedari tadi. Wajahnya seolah muncul kecemasan. Ningrum terus melangkah lurus tanpa menengok di sekelilingnya.
Kedua matanya seolah mencari-cari. Hingga dirinya telah menemukan teman akrabnya itu. Ningrum kembali melangkah dengan cepat. Dengan jantungnya yang berdetak maraton.
“Anya, di mana mereka?”
“Aku meneleponmu dari tadi, tapi kamu sama sekali tak menjawab teleponku, Rum.”
“Aku membanting ponselku, dan aku tak mengambilnya lagi. Ponselku masih di mobil.”
“Sorry, aku tidak bisa mnegikuti perintahmu.”
“Maksudnya apa? di mana mereka sekarang?”
“Tadi perutku mules, aku ke toilet sebentar. Akan tetapi setelah aku kembali lagi ke sini, aku tak lagi mendapati mereka berdua.”
“Jadi maksudmu, kamu kehilangan jejak mereka.”
“Iya, Rum. Maafkan aku.”
“Kamu tahu wajah wanita itu?”
“Tidak, dia duduk membelakangiku.”
“Ciri-cirinya kamu ingat?”
“Tidak juga, karena tadi hanya sekilas dan aku harus ke toilet, hanya saja sepertinya jika tidak salah, rambutnya panjang berkilau dan indah. Serta kulitnya putih, lebih putih daripada kulitmu dan juga aku. Sudah itu saja.”
Ningrum menelan ludah. Pandangannya kosong. Dia berusaha untuk tetap bisa berdiri dengan kekuatan yang dimilikinya. Meskipun dalam hatinya masih diselimuti rasa penasaran, akan sosok wanita yang dilihat oleh Anya, sedang menikmati makan bersama dengan Toni, suaminya.