Part 44 - Bencana

1722 Kata
Tak butuh waktu lama untuk meresmikan hubungan Hanum dan juga Dimas. Ibu Dimas nampak sangat bahagia. Harapannya untuk melihat sang anak kembali menjalani kehidupan rumah tangga, kini telah berada di depan mata. Lamaran yang terlaksana dengan sangat lancar. Kini satu langkah menuju pelaminan telah usai. Kebahagiaan pun dirasakan begitu sangat mendalam. Cinta antara keduanya kini membuka sebuah jalan terang untuk sebuah ikatan yang saling dicari. Bahkan rencana selanjutnya adalah sebuah pernikahan yang akan segera digelar. Hanum dan Dimas memiliki keinginan masing-masing untuk hari pernikahan itu. Setelah didiskusikan dengan sangat serius, akhirnya terpilihlah tanggal yang akan dijadikan sebagai saksi cinta antara keduanya. Tak kurang dari satu bulan, rencana pernikahan itu akan dilaksanakan secara sederhana di kediaman Dimas. Hanum pun tak keberatan, karena dia juga tinggal sendiri di kontrakan dan tak punya siapa-siapa lagi. Begitu juga dengan Dimas, dia sebenarnya hanya punya satu paman. Sayangnya jarak keduanya yang tak lagi bisa untuk dijangkau. Hingga rencana pernikahan itu hanya akan dihadiri oleh sahabat dekat dan beberapa rekan kerja serta kenalan Dimas dan juga Hanum. Hanya saja, bersatunya cinta mereka nyatanya ada hati yang terlukai. Dia adalah Lastri, asisten rumah tangga Dimas. Dia yang mencintai Dimas dalam diam itu ternyata sudah ditikung dengan wanita lain yang tak diketahuinya sebelumnya. Bahkan setelah proses lamaran. Lastri sempat mengurung diri di kamar dan berpura-pura sedang sakit. Hingga sehari penuh dirinya tidak mengerjakan semua tugas yang biasanya menjadi rutinitas setiap harinya itu. Menangis dalam ruangan yang terkunci rapat. Ini kali kedua bagi Lastri merasakan sakitnya oatah hati. Cinta yang bertepuk sebelah tangan itu begitu sangar menyakitkan. Dia harus jatuh lagi di lubang derita. Merasa dunia begitu kejam baginya. Dia yang sudah sangat menginginkan sebuah pernikahan idaman. Nyatanya masih saja status jomlo abadi melekat dalam dadanya. Pintu kamar Lastri terketuk berkali-kali. Dia sebenarnya mendengar suara itu. Namun, dia memilih untuk tetap memeluk gulingnya dengan erat. Tak peduli dengan apa pun yang terjadi di balik pintu. Lastri lelah hatinya. “Mbak Lastri, ini saya Dimas. Mbak bisa buka pintunya?” Lastri terperanjat mendengar nama Dimas. Dia tersadar bahwa di balik pintu kamarnya itu telah ada seseorang laki-laki yang begitu sangat dicintainya. Namun, Lastri masih bimbang, antara membukanya atau membiarkannya saja. *** Mimpi buruk yang tengah datang pada lelapnya tidur Sekar. Dia terus saja kepikiran dengan apa yang terjadi dalam mimpinya itu. Laki-laki yang begitu dicintainya berpamitan untuk pergi. Seolah mimpi itu seperti kenyataan yang dirasakan olehnya. Ada setitik rindu yang bergelayut dalam d**a Sekar. Namun, dia sadar bahwa takdir tak seperti apa yang diharapkannya. Kini semua tinggal ilusi bersama dengan kenangan yang masih tersimpan rapat di dalam hatinya. Sekar mendekap erat sang bayi, dia seperti mendapatkan sebuah kekuatan atas apa yang kini terjado dalam hidupnya. Senyum penuh ketulusan yang diperlihatkan oleh Raja, membuat dadanya seakan tentram dan damai. “Terima kasih ya sayang, kamu adalah penyemangat Ibu. Meskipun ayahmu tak tahu ada di mana, tapi kita akan tetap berjalan beriringan untuk kehidupan yang lebih baik.” Setelah berkata seperti itu, Raja tiba-tiba saja menarik rambut palsu Sekar, yang masih dikenakannya untuk memperlancar penyamarannya itu. Sejurus Sekar pun begitu panik, seiring bersamaan dengan Ningrum yang membuka pintu kamar bayinya. “Pras, Mama mau ngajak kamu pergi.” Untung saja, Sekar bergerak cepat. Dia sudah memasang rambut palsunya itu. Mimik wajahnya pun seolah tak tenang. Namun, Sekar tak mau bila apa yang sedang diperlihatkan itu akan menjadikan sebuah kecurigaan pada Ningrum. “Riska, rambutmu kenapa?” Sekar tertohok dengan pertanyaan itu. Dia harus bisa untuk menjawab pertanyaan itu. Tak mau bila hanya karena kondisi rambutnya yang agak berantakan akan membuat kecurigaan Ningrum bertambah. “Maaf bu, rambut saya berantakan karena dari tadi ditarik terus sama si ganteng.” “Lain kali ditata yang benar, saya tidak mau jika anak saya bermain dengan rambut. Bisa berbahaya, mengeti kamu!” “Iya, Bu.” Ningrum segera mengambil bayinya. Dan meminta Sekar untuk segera menyiapkan beberapa perlengkapan bayi untuk dibawa pergi. “Maaf, Bu. Apa saya perlu ikut?” “Tidak perlu.” “Baik, Bu.” Sekar pun mengikuti apa yang dikatakan Ningrum. Meskipun dalam hatinya begitu sangat sulit untuk bisa jauh dari sang bayi. Sebenarnya Sekar sangat ingin untuk ikut bersama Raja, bayinya. Tapi hal itu sepertinya sangat tak mungkin dilakukan, jika kata tidak sudah keluar dari muut Ningrum itu. *** Sekar merasa harus melakukan sesuatu pada rambutnya. Dia pun memilih untuk memangkas rambutnya hingga pendek. Penyamaran yang dilakukan itu harus berjalan dengan baik. Dia tak mau jika jati dirinya diketahui oleh adiknya itu. Di depan cermin kamarnya, dia melihat rambut panjangnya yang tergerai lurus. Sebuah gunting berada di tangan kanannya. Sekar pun segera mengaplikasikannya pada rambut indahnya itu. sedikit demi sedikit dia telah mengguntingnya. Meskipun sebenarnya, Sekar sangat menyayangkan jika rambut panjangnya itu harus berakhir. Semua dilakukan hanya untuk tetap memperlancar aksinya. Sekar tak mau jika Ningrum dan yang lainnya merasa curiga dengan apa yang telah direncanakannya itu. Sayangnya, Sekar baru saja memotong sedikit rambutnya, tiba-tiba saja dia mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Sekar pun dirundung kegugupan. Dia yakin jika yang sedang mengetuk pintu kamarnya itu adalah bibi Darmi. Sekar akhirnya memilih untuk kembali menggunakan rambut palsunya untuk menutupi penyamarannya kembali. “Ada apa Bi?” “Riska, kamu bisa bantu aku sebentar?” “Iya.” “Aku mau ke kamar mandi, tapi aku lagi goreng ikan, kamu lanjutkan sebentar ya.” Sekar seolah tak bisa menolak permintaan itu. Meskipun sebenarnya dirinya masih sangat perlu untuk kembali memotong rambutnya, sebelum Ningrum akan kembali datang lagi. Dengan langkah cepat, Sekar pun mengikuti apa yang diminta bibi Darmi. Dia berharap semua yang akan dilakukan berjalan sesuai dengan rencana. *** Toni yang awalnya berencana satu minggu di luar kota, kini berubah hanya satu hari saja. Saat dirinya pulang, tak didapati sang istri di rumah. Toni masuk ke dalam kamar dan kembali memeriksa ponselnya. Nampak dirinya telah membalas sebuah pesan dari seseorang dengan senyum merekah tak pudar. Toni melemaskan jarinya, hingga tak sadar dirinya tertidur dengan kedua ponsel yang berada di sekitar bantal dan gulingnya. Ningrum yang baru saja pulang itu pun nampak terkejut melihat mobil suaminya yang sudahberada di depan halaman rumah. Dengan cepat Ningrum masuk ke dalam rumahnya, memanggil Sekar dengan sangat keras, lalu memberikan Pras kepada baby sitter-nya itu. Menit selanjutnya, Ningrum segera naik tangga menuju lantai dua. Dia ingin segera bertemu dengan sang suami. Membuka pintu kamar dengan cepat. Ningrum mendapati sang suami telah terbaring dengan guling yang menghiasi pelukannya. Kemudian kedua pandang mata Ningrum, nampak melihat dua ponsel yang berada di samping sang suaminya itu. Ningrum baru tahu, jika sang suami memiliki ponsel lebih dari satu. Ningrum mendekat ke arah suaminya. Tak sengaja, baru saja Ningrum duduk di samping suaminya yang masih terlelap itu. Dia melihat sebuah pesan baru saja diterima di ponsel yang sepertinya masih baru itu. Ningrum tercengang, di layar ponsel itu nampak terlihat pintasan pesan dari nomor yang tak disimpan oleh sang suami, dengan sebuah pesan yang dikirimkan, kata “Kangen” menjadikan kedua pandang mata Ningrum nampak membesar. Ningrum tak tahan dengan apa yang baru saja dilihatnya itu. Dia sangat yakin, jika pesan yang dikirim untuk suaminya itu adalah dari seorang selingkuhan sang suami yang tak diketahui oleh dirinya. “Mas, bangun. Jelaskan padaku. Siapa dia?” Toni terkejut dengan suara Ningrum yang seolah telah memecah gendang telinganya. Toni merasa begitu berat membangunkan tubuhnya, lelah masih saja menyelimuti dirinya. Toni pun berusaha untuk tak peduli dengan apa yang ditanyakan oleh istrinya, namun lagi-lagi Ningrum semakin menambah volume suaranya. “Kamu gak tahu kalau aku sedang tidur? Bisa tidak gak ganggu!” “Kamu selingkuh dari aku?” Toni semakin tak bisa tinggal diam ketika dirinya mendapati suara Ningrum yang benar-benar mengusik ketenangannya. Kemarahannya pun memuncak atas tuduhan yang dilontarkan kepadanya itu. “Ngomong jangan sembarangan!” “Aku gak sembarangan Mas, siapa dia yang kirim pesan ke kamu dan bilang kangen ini, cepat katakan! Aku yakin dia pasti selingkuhanmu, kan?” Tanpa berpikir panjang, Toni yang diselimuti rasa marah itu pun tak bisa mengontrol dirinya. Melepaskan sebuah tamparan ke arah pipi Ningrum. Hal itu semakin membuat pertengkaran semakin memanas. “Kamu menamparku, Mas?” “Aku lelah kamu selalu menuduhku!” “Karena aku punya bukti.” “Apa buktinya?” “Lihat pesan di ponselmu ini, kamu mendapat pesan dari nomor yang tidak kamu simpan, terus sandi ponsel sekarang juga disandi, belum lagi kamu memiliki dua ponsel tanpa sepengetahuanku, Mas.” “Tuduhanmu tidak beralasan Ningrum, lebih baik aku pergi saja. Daripada di rumah kamu selalu saja menganggu istirahatku.” Toni tak bisa diam lagi. Merasa apa yang dikatakan istrinya seolah sangat mengganggu telinganya. Toni pun beralih dengan membawa dua ponselnya itu, mengambil kunci mobil. Seolah siap untuk segera pergi. Detik berikutnya, Ningrum juga tak mau tinggal diam. Dia segera mengikuti langkah suaminya itu. Hanya saja, Toni mengerakkan kakinya lebih cepat. Sehingga Ningrum tak sampai untuk ikut dengan laki-laki yang begitu dicintainya itu. “Mas, mau ke mana kamu, Mas. Jangan pergi!” Toni sama sekali tak peduli dengan kata-kata Ningrum yang terdengar berkali-kali itu. Dia terus saja memanuver mobilnya hingga keluar gerbang rumah dan tak terlihat lagi dari pandangan kedua mata Ningrum. “Bu, ada seorang laki-laki yang mencari ibu di televisi.” Ningrum berbalik badan setelah mendengar kata-kata dari bibi Darmi. Dia pun seolah tak mengerti akan apa yang dikatakan oleh asisten rumah tangganya itu. Namun, Ningrum yang dirundung rasa penasaran itu pun segera melangkah cepat untuk menuju ke ruang tengah. Sebuah berita yang tayang itu membuat kedua mata Ningrum tak berkedip sama sekali. Dia mendengarkan reporter yang telah mewawancarai seorang laki-laki yang begitu dikenalnya. Dia adalah pak Surya yang tak lain adalah ayah kandung dari Ningrum. Berita duka yang terjadi di kampung halaman sang ayah kini menggegerkan hatinya. Bencana gempa bumi telah memporak-porandakan bangunan serta merenggang nyawa korban. Ningrum menatap pandang mata laki-laki itu dengan sangat iba. Ayahnya memanggilnya dengan harapan yang sangat tinggi, agar Ningrum bisa menjemput sang ayah di posko pengungsian. Tak hanya itu, dalam tayangan berita kejadian gempa itu, Pak Surya pun juga menyebut nama Sekar. Harapan pada dua putri untuk bisa menjemputnya. Pak Surya kedua matanya bekaca-kaca. Dia tak punya apa-apa lagi. Hanya sehelai baju yang dikenakannya. Dia benar-benar dalam kondisi yang memprihatikan. “Anak-anakku, jemput ayah di sini.” Tak sengaja, Sekar melihat tayangan berita itu dari balik dinding. Hatinya terenyuh dan kedua matanya berkaca-kaca. Ada kerinduan yang terpendam, namun karena sebuah keadaan, jarak dan waktu harus dipertaruhkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN