Part 31 - Lahirnya Masalah

1793 Kata
Dimas yang kini dalam masalah besar. Pikirannya terasa buntu untuk menentukan apa yang kini menjadi bebannya. Mencari calon istri yang bisa membuat sang ibu bisa menerima apa yang diinginkan itu. Sepanjang bekerja, pikiran Dimas tak bisa fokus. Baru kali ini ibunya memberikan sebuah beban yang teramat sangat berat untuknya. Dimas merasakan isi kepalanya penuh dan membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. “Pak Dimas, berkas ini harus diselesaikan segera, karena rekanan kita sudah menunggu hampir satu minggu, Pak.” Dimas sama sekali tak memperhatikan apa yang dikatakan oleh anak buahnya itu. Pandangan Dimas terasa kosong, begitu sangat berat dia berpikir dengan segala polemik yang membungkam dirinya. “Pak Dimas, apa bapak bisa segera menandatangani berkas ini.” Dimas merasa terkejut dengan ucapan itu. Dia lalu menatap sang anak buah dengan senyum terpaksa, lalu mengucapkan kata maaf dengan segera. *** Lastri hatinya berbunga-bunga, dia yang seakan berkhayal dengan untaian cinta yang begitu lembut dirasakannya. Dia menginginkan sosok imam seperti Dimas. Dan bahkan saat tawaran menikah namun masih seperti misteri itu, membuat Lastri terus saja membayangkan wajah Dimas tanpa henti. Mendendankan lagu dengan sangat merdu. Lasti bahkan tak memperhatikan tempat, di mana dirinya menyuarakan isi hatinya lewat syair lagu yang begitu tulus dari dalam dirinya. Di dapur, kamar mandi dan bahkan di setiap penjuru rumah, Lastri terus saja bernyanyi. “Lastri, sepertinya kamu sedang bahagia?” “Iya, Bu.” “Kamu menang undian?” “Tidak.” “Apa yang membuatmu bahagia?” Lastri tersenyum lebar. Dia nampak malu-malu setelah mendengar pertanyaan dari sang majikan itu. Lastri seakan tak mampu untuk mengungkapkan apa yang kini berada dalam benaknya. “Tidak apa-apa, Bu.” “Kamu sedang jatuh cinta ya, Las.” Lastri tertawa kecil, kemudian dia melenggang pergi dengan alasan masih harus mengerjakan perkejaan rumah. Lastri begitu salah tingkah. Dia harus menyembunyikan akan perasaannya itu dari sang majikan. *** Fauzi dan pak Surya yang kini telah berada di depan “Warung Ijo” sesuai dengan alamat yang diberikan oleh seseorang kepadanya. Dengan gerak kaki cepat, mereka berdua segera masuk ke dalam warung itu dan dengan cepat keduanya segera mencari seorang wanita yang tak lain adalah Sekar. Sedangkan Sekar yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Dia terus saja fokus dengan piring dan beberapa benda kotor di bak cucian. Seketika, Sekar merasa perutnya melilit. Dengan cepat, Sekar segera menuju ke toilet. Setelah selesai dengan urusan perutnya, Sekar kembali lagi pada pekerjaannya. Namun, saat Sekar berdiri, dia tak sengaja melihat sang ayah dan juga Fauzi dari jarak jauh. Sekar merasa terancam dengan kedatangan mereka. Bahkan Sekar tak bisa hanya diam. Dia harus segera lari dan menghindar. Sekar tak mau bila dirinya harus kembali lagi pada dua laki-laki itu. Sayangnya, saat Sekar berbalik badan. Dia menyenggol beberapa tumpukan piring, hal itu membuat suara yang begitu nyaring terdengar oleh beberapa orang, tak terkecuali Fauzi. Sekar semakin panik, ketika dia juga melihat Fauzi menatapnya dengan tatapan tak sengaja. Sekar secepat kilat segera berlari untuk menyelamatkan dirinya. Begitu pula dengan Fauzi, dia segera mengejar Sekar dengan langkah kaki yang sangat cepat. Sekar menambah kecepatan larinya. Dia tak mau jika Fauzi berhasil menangkapnya. Fauzi terus saja mengejar Sekar. hal itu seketika membuat Sekar semakin miris. Ketakutan menyelubunginya. Sekar yang berusaha mencari taksi namun tak mendapatkannya. Sekar semakin diselimuti kepanikan yang dahsyat. Fauzi nampak terus mengejarnya. Sekar menyusuri jalan raya. Dia ingin mengambil jalan pintas untuk bisa membuat Fauzi kehilangan jejaknya. Sekar pun berniat untuk menyeberang jalanan yang lumayan sepi, namun beberapa kendaraan itu nampak begitu cepat menghiasi jalanan. Sekar yang hampir saja tertabrak karena pikirannya yang kacau. Pemilik mobil itu segera menginjak rem. Hingga Sekar tak mengalami luka sedikit pun. Tanpa disangka, laki-laki yang hampir menabrak Sekar itu adalah Teguh. Dia dengan cepat keluar mobil. “Sekar, kamu tidak apa-apa?” Seketika Sekar memandang wajah Teguh dengan tatapan nanar. Kemudian pandangan itu teralihkan lagi pada sosok laki-laki yang berusaha untuk menangkapnya. “Mas Teguh, tolong bawa aku lari dari sini, cepat bawa aku pergi!” Suara Sekar nampak terliat panik dan takut. Teguh pun segera mengikuti apa yang diinginkan Sekar. Dia tak banyak bertanya lagi. Seketika Teguh kembali lagi masuk ke dalam mobilnya. Tatakala beberapa mobil yang ada di belakangnya juga ikut terhenti paksa. Klakson mobil yang bersahutan itu pun membuat Teguh merasa bising dan tak tahan berada di tengah-tengah jalan raya. Fauzi yang kini sudah hampir sampai di posisi mobilnya Teguh. Sekar yang melihatnya merasa diselimuti ketakutan yang terus menjalar dalam dirinya. Bias kekhawatiran itu sungguh terpancar dari wajahnya. Sekar membasahi pipinya dengan air mata. Peluh yang menghiasi sekujur tubuhnya pun tak dihiraukan. Fokusnya hanya satu, dia hanya ingin berlari jauh dan tak seorang pun dapat menangkapnya, tak terkecuali Fauzi dan juga ayahnya. “Mas Teguh, tolong bawa mobil ini dengan cepat. Jangan sampai laki-laki itu menangkapku, tolong Mas.” “Kita mau ke mana?” “Terserah, yang penting laki-laki tadi tidak bisa menemukanku.” Teguh pun mengikuti apa yang Sekar minta. Dia dengan cepat melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Setelah dirasa aman, Teguh pun berbelok arah menuju ke rumahnya. Dia yang seakan masih bingung akan membawa Sekar ke mana, akhirnya untuk sementara, Teguh pun memberhentikan mobilnya di rumahnya sendiri. “Mas, ini kita ke rumah siapa?” “Ke rumahku.” “Kenapa harus ke rumahmu?” “Sekar, maaf ya. Aku belum tahu harus membawamu kemana, mungkin untuk sementara waktu kamu di sini dulu sampai keadaan aman.” “Tapi, aku tidak mungkin di rumah bersama denganmu, Mas.” “Tenang saja, di rumah ada Budeku, jadi kamu tidak perlu takut.” Sekar mengikuti apa yang dikatakan Teguh. Dia kemudian segera keluar dari mobil. Sayangnya, saat satu langkah kakinya, dia begitu merasa kesakitan. Tak sadar jika telapak kiri Sekar penuh dengan hiasan darah. Dia bahkan baru merasakan perih yang begitu memuncak di ubun-ubunnya. Sekar terduduk kaku, dia tak mudah untuk melangkah lagi. Sekar berusaha mengingat akan penyebab kakinya mengeluarkan darah tanpa henti itu. “Sekar, kamu kenapa?” Sekar belum menjawab pertanyaan Teguh. Dia hanya duduk di atas tanah dengan memegangi satu kaki kirinya. Perihnya sudah tak tertahan lagi. Sekar berusaha berjalan, namun dia tak sanggup dengan rasa yang seakan membuatnya tak mampu untuk melangkah. “Ya Tuhan, kenapa kakimu penuh dengan darah begitu?” “Mungkin terkena pecahan piring tadi, Mas.” “Sini aku bantu untuk jalan, ya.” Sekar pun mengangguk dan mengikuti apa yang dikatakan Teguh. Hanya saja, semakin dia berusaha untuk melangkah, Sekar semakin merasa kesakitan. Darah itu terus saja keluar tak henti-hentinya. Sekar merintih dengan rasa perih yang tiada terkira. Teguh yang melihat hal itu, merasa sangat iba. Dia dengan cepat segera membopong Sekar tanpa berpikir lama untuk masuk ke dalam rumah. Dan Sekar pun hanya membisu dan tak banyak berkomentar. Teguh mengetuk pintu dengan sangat keras. Berharap budenya segera membuka pintu. Dan ternyata harapan itu pun terkabul. Pintu itu telah terbuka dan Teguh segera membawa Sekar masuk ke dalam rumah. “Teguh, ini kenapa Mbaknya?” “Terkena pecahan piring, Mi.” Ami adalah panggilang sayang Teguh kepada budenya. Wanita paruh baya itu pun nampak panik melihat kaki Sekar yang berlumuran darah. Dengan cepat bude segera masuk ke dalam untuk mengambil kotak P3K. Seketika bude kembali lagi ke ruang tamu dan segera membantu Teguh untuk mengobati luka wanita yang kini sedang duduk bersama sang keponakan itu. “Sini biar bude yang obatin.” “Tidak perlu, Bude. Biar Sekar sendiri saja.” “Tidak perlu sungkan, Mbak.”                        Bude segera mengambil posisi duduk di bawah Sekar. Membuka kotak obat, dengan cepat Teguh yang melihat aksi budenya itu, segera mengambil alih agar tak membuat sang bude merasa direpotkan. “Mi, biar Teguh saja.” “Jangan, dia wanita biar Ami saja yang mengobatinya.” Teguh tak berkutik dengan ucapan sang bude. Dia hanya diam, lalu Teguh memilih untuk ke dapur dan mengambil minuman dingin yang ada di kulkas, untuk disuguhkan pada Sekar. Setelah Teguh kembali ke ruang tamu, berkat kedua tangan bude, kaki Sekar pun telah selesai menerima pengobatan dari wanita yang sudah hampir sepuluh tahun tinggal bersama Teguh. “Namanya siapa, Mbak?” tanya bude pada Sekar. “Saya Sekar, bude.” “Kekasihnya Teguh?” Sekar terlihat begitu malu dengan pertanyaan itu. Sedangkan Teguh yang berdiri dan meneguk minuman dingin itu nampak tersedak hingga menimbulkan batuk-batuk kecil, bahkan hampir saja dirinya menyemburkan minuman yang sudah masuk ke dalam mulutnya itu. “Teguh, makanya kalau minum sambil duduk. Siapa yang mengajari kamu minum sambil berdiri begitu, sudah dewasa bukan malah jadi teladan.” Lagi-lagi omelan tentang kebaikan itu kembali di dengar oleh Teguh. Dia sama sekali tak marah dan bahkan dalam hatinya mengucapkan terima kasih, karena budenya itu selalu saja mengingatkan kepadanya akan kebaikan. Teguh kemudian mengambil tempat duduk dan ikut membersamai Sekar dan juga budenya di kursi ruang tamu. Pandangan bude tampak terus mengarah ke Sekar, sepertinya ada pertanyaan yang masih disimpan dan belum diutarakan. “Ami, kenapa menatap Sekar begitu?” tanya Teguh. “Kalau kalian sudah saling cocok, tidak usah pacaran. Langsung saja menikah biar tidak banyak dosa yang ditimbun.” “Mi, Sekar ini pegawaiku di warung.” “Kamu punya pegawai secantik ini.” Sekar hanya bisa diam mendengarkan dua orang itu yang terus saja bercengkerama. Sedangkan Teguh nampak sedikit salah tingkah dengan ucapan budenya yang seakan tak bisa dikendalikan itu. “Ami, bukannya jam segini waktunya lihat acara favorit Ami di televisi.” “Iya, tapi Ami takut jika Ami tinggal, kalian akan macam-macam di sini.” Sekar memberanikan diri untuk menatap Teguh, begitu pun dengan Teguh. Dia merasa tak enak hati dengan ucapan budenya itu. Namun, Teguh sama sekali tak menyalahkan budenya, karena kekhawatiran orang tua itu, pasti mempunyai dasar. “Mi, sebelumnya ijinkan Sekar untuk tinggal di sini satu atau dua hari saja, ya,” pinta Teguh. “Kalian belum menikah, tidak bisa tinggal serumah.” “Mi, aku dan Sekar tidak memiliki hubungan khusus, hanya saja Sekar terancam nyawanya. Apa Ami mau berbuat dosa karena tidak menolongnya?” “Memangnya ada apa?” “Nanti Teguh akan ceritakan ke Ami, tapi ijinkan Sekar untuk istirahat dulu di kamar tamu, ya, Mi.” Bude itu nampak terdiam dan berpikir keras. Apa yang dikatakan Teguh itu seketika membuat hatinya tersentuh. Bude tak pernah bisa melihat seseorang dalam kesusahan, hingga akhirnya bude pun mengiyakan apa yang dipinta oleh Teguh. “Tapi ingat, kalian dalam pengawasanku, tidak boleh saling berbicara satu sama lain, mengerti!” Bude lalu membawa Sekar ke kamar tamu. Sedangkan kini Teguh dalam kebingungan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Sekar, mengapa dia lari dan menghindari laki-laki yang mengejarnya. Teguh tak tahu bagaimana harus mengorek cerita dari anak buahnya itu. Sedangkan budenya sudah memberikan ultimatum agar dirinya dan Sekar tidak saling berbincang berdua. Bahkan Teguh yang berjanji akan bercerita tentang masalah Sekar kepada budenya itu pun, kini menjadi beban dalam pikirannya.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN