Part 32 - Mengungkapkan Rencana

1640 Kata
Teguh merasa bahwa budenya begitu sangat ketat menjaga tradisi keluarga. Bahkan meskipun satu rumah pun, Teguh sama sekali tak bisa berbicara langsung dengan Sekar. Teguh mulai bingung, jika dirinya harus ditanya tentang problema Sekar, maka dia tak tahu jawaban yang tepat untuk dihadirkan kepada budenya. Teguh melihat ponselnya, dia seolah mendapatkan suatu ide cemerlang untuk bisa berbicara dengan Sekar. Teguh pun dengan cepat segera berdiri dan meraih ponselnya, dia segera keluar dari kamar. Namun, di depan kamarnya nampak budenya telah berdiri dengan tatapan wajah nanar. “Mau ke mana Teguh?” “Ke dapur, lapar Mi.” Teguh mencari alasan untuk membuat budenya percaya dan tak curiga akan apa yang dikatakannya. Segera melenggang dan pergi dengan cepat. “Teguh, tunggu!” “Ada apa Mi?” “Kamu belum cerita ke Ami tentang Sekar.” Teguh memutar otaknya. Sepertinya sangatlah sulit untuk dirinya berusaha menemui Sekar tanpa sepengetahuan budenya. Teguh harus bisa mendapatkan alasan dari Sekar secepatnya. Sebelum dirinya benar-benar tak bisa memberikan jawaban pada budenya itu. Teguh masih saja terdiam. Seolah pikirannya tak bisa bekerja dengan baik. Teguh hanya bisa memandang budenya dengan tatapan kosong. “Teguh, kenapa diam?” “Mungkin kita bisa bicara besok saja Ami, lagian ini sudah malam. Ami juga butuh istirahat, kan?” “Tidak, Ami mau tahu sekarang, supaya Ami tidak merasa berdosa menyembunyikan wanita di rumah ini.” Teguh tak bisa memberikan alasan lagi. Dia harus menuruti apa yang diinginkan oleh budenya itu. Jika tidak, dapatlah dipastikan jika budenya akan terus mengejar Teguh sampai mendapatkan apa yang ingin ditanyakannya itu. “Teguh, apa yang kamu sembunyikan?” Lagi-lagi Teguh tak bisa berdalih. Dia memang harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Teguh yang sama sekali belum mendapatkan cerita dari Sekar, membuatnya terdiam dalam lamunan tanpa jawaban. “Mi, lebih baik Ami tanyakan langsung pada Sekar, Teguh belum mendapatkan cerita yang sebenarnya dari dia.” “Kamu ini bagaimana Teguh, harusnya sebelum menolong orang itu kamu harus tahu dulu apa masalahnya, bagaimana jika wanita itu adalah seorang penjahat, kita tidak boleh melindungi seorang yang bersalah.” “Teguh pastikan, jika dia bukan seorang penjahat, Mi.” “Kamu ini sudah tidak bisa menggunakan logika.” Budenya segera melangkah pergi. Ada sebuah kekecewaan yang terlintas di raut wajah wanita paruh baya itu. Sedangkan Teguh hanya bisa berdiri mematung dengan apa yang berkecamuk dalam pikirannya. *** Dimas yang selalu menyempatkan diri setiap satu bulan sekali untuk berbagi rejeki dengan anak-anak panti asuhan. Dia tak pernah absen untuk membawakan makanan dan mainan ketika Dimas telah menerima gaji dari pekerjaannya. Hal itu tak pernah terlupakan, untuk selalu berbagi kepada yang membutuhkan. Sore itu tanpa sengaja, Dimas bertemu dengan Hanum di pintu gerbang panti asuhan. Keduanya pun saling menatap satu sama lain. “Hanum.” “Mas Dimas.” “Kamu dari panti?” “Iya, Mas.” “Sekarang kamu mau ke mana?” “Pulang, Mas.” Baru saja Hanum menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba saja hujan turun begitu sangat deras. Hanum dan Dimas pun segera berlari untuk melindungi tubuh mereka dari air hujan yang bisa membuat basah kuyup baju yang dikenakan. Dimas dan Hanum berada di teras panti asuhan. Keduanya merasa sedikit canggung. Hanum memilih untuk duduk di kursi, sedangkan Dimas tak mengikutinya. Dia semakin jadi salah tingkah. “Hanum, aku ke dalam dulu, ya. Antar makanan dan mainan ini.” Hanum mengangguk. Sembari menahan dinginnya angin yang menerpa diiringi hujan turun yang begitu derasnya. Hanum sangat ingin pulang, sayangnya hujan membuatnya harus kembali bersabar. Apalagi Hanum datang tidak membawa kendaraan, dia harus mencari ojek untuk kembali pulang ke kontrakannya. Sayangnya, hujan yang deras itu pastinya membuat langkah Hanum tak semulus saat hujan tersimpan di langit. Dia kini hanya diam dan menunggu yang bisa dilakukan olehnya. Sudah hampir lima belas menit, terdiam dengan tangan yang menyangga dagu. Bosan mulai melanda, namun Hanum berusaha untuk tetap menikmati sesuatu yang tak disukainya. Tak lama, terlihat Dimas menutup pintu dan pandangannya segera tertuju pada Hanum. Hanum pun segera berusaha untuk membuang kebosanannya. “Hanum, aku mau pulang, apa mau aku antar?” “Tidak, Mas. Terima kasih.” Dimas tak segera melangkah. Serasa masih ada hal yang membuatnya tetap berdiri tak jauh dari Hanum. Menatap Hanum sesekali, ada kebingungan yang tak mudah untuk diucapkan oleh Dimas. “Hanum, hujannya sepertinya akan lama, kontrakanmu searah dengan jalanku pulang, ayo aku antar saja.” “Tidak perlu, Mas. Biar aku menunggu hujan reda dan nanti pulang naik ojek saja.” “Hanum, hari hampir malam. Lebih baik pulanglah. Supaya tidak terjadi hal yang diinginkan. Aku hanya ingin membantumu.” Hanum terdiam dengan ucapan Dimas. Dia menatap sorot mata Dimas yang sepertinya begitu tulus menawarinya untuk diantar pulang. Hanum masih berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri. Lalu memandangi air yang turun dari langit itu semakin deras, membuat kegundahan semakin bertambah di hati Hanum. Apalagi dengan hiasan petir yang terus bersahutan menyambar dengan begitu kerasnya. Hanum bahkan merasa takut dengan suara petir yang begitu keras itu. Berkali-kali Hanum selalu menutup kedua telinganya tatkala petir kembali hadir untuk memperlihatkan kekuatannya. “Hanum, ayo. Aku janji tidak akan melukaimu.” Hanum pun akhirnya cenderung untuk mengiyakan ajakan Dimas. Cuaca ekstrim itu membuat Hanum tak bisa berada terus di panti asuhan. Dia memang lebih baik pulang dan berada di rumahnya. “Tapi, apa benar aku tidak merepotkanmu, Mas?” “Sama sekali tidak, Num. Justru aku sangat senang bisa membantumu.” Hanum akhirnya beranjak dari kursinya. Dimas yang tengah membawa payung itu pun memberikannya kepada Hanum, untuk melindungi tubuh Hanum dari hujan yang deras. Sayangnya Hanum tak bisa menerima begitu saja, dia juga memikirkan keadaan Dimas. Setelah slaing berargumen, akhirnya Hanum dan Dimas pun berjalan beriringan di dalam satu payung. Meskipun hal itu terasa tak biasa, namun kondisi memaksa mereka untuk bisa bekerja sama dan saling mengerti. Setelah berada di dalam mobil. Dimas pun segera menyalakan mesin mobilnya. Dia dengan cepat membawa mobilnya untuk mengantarkan Hanum ke rumahnya. Di tengah perjalanan, Dimas tiba-tiba teringat dengan pesan ibunya untuk bisa mendapatkan calon istri dalam waktu satu minggu. Dimas sesekali melirik ke arah Hanum. Terbesit sebuah ide yang ada dalam pikirannya. Dimas yang sama sekali tak memiliki teman wanita selain Hanum. Dia merasa sangat sulit untuk menerima keinginan sang ibu dalam waktu yang sangat singkat itu. Bila tidak, sebuah perjodohan dengan asisten rumah tangganya itu pun telah berada di depan mata. Hanum yang seakan mengetahui jika Dimas melirik ke arahnya berkali-kali. Hanum pun merasa tak nyaman dengan hal itu. Dia kemudian menunduk dan membiarkan perasaannya tak berkutik dengan suasana yang kini telah dijalaninya itu. Hampir setengah perjalanan yang ditempuh. Tak ada suara pun yang terdengar di antara keduanya. Dimas sibuk dengan pemikirannya, begitu juga dengan Hanum. Dia hanya membisu, diam seribu kata. Ketika rumah Hanum sudah berada di depan mata, dia melirik ke arah Dimas. “Terima kasih ya, Mas. Sudah mengantarkanku pulang.” Dimas mengangguk dengan mata yang tak seperti biasa. Hanum segera menggerakkan tangannya untuk membuka pintu. Namun, ternyata Dimas memegang tangan Hanum dengan segara. “Hanum, ada yang ingin aku katakan padamu.” Hanum dnegan cepat melepaskan genggaman tangan Dimas. Dia merasa sangat tak nyaman jika tangannya dipegang oleh orang lain yang bukan siapa-siapanya itu. “Tolong lepaskan tanganku.” “Maafkan aku Hanum, aku sama sekali tak bermasksud...” “Apa yang ingin kamu katakan?” Dimas mengambil napas. Diiringi suara gemericik air yang begitu membisingkan. Dia mulai menatap Hanum dengan begitu serius. Tatapan kedua bola matanya sama sekali tak beralih, bahkan tertuju tepat pada kedua mata Hanum. “Aku sangat menginginkan bantuanmu, Hanum.” “Apa itu?” “Aku sedang dalam masalah besar.” “Lalu apa yang bisa kubantu?” “Maukah kamu pura-pura menjadi kekasihku?” “Apa? kamu tidak gila mengatakan hal itu kepadaku?” “Sebelumnya aku minta maaf, Hanum. Sama sekali aku tak bermaksud untuk menyinggung perasaanmu. Tapi aku sendiri sangat bingung menghadapi ini semua.” Hanum terdiam. Dimas menjeda perkataannya. Seolah dirinya perlu untuk menyusun kata-kata yang bisa membuat Hanum percaya dengan apa yang kini terjadi di dalam kehidupannya. “Hanum, ini hanya demi kesehatan ibuku, jika dalam waktu dekat aku tak mendapatkan calon istri untuk aku kenalkan kepadanya, aku takut jika penyakitnya kambuh karena kekecewaan yang aku berikan.” “Kenapa harus aku? Pastinya Mas Dimas bisa menyuruh siapa pun yang bisa diajak untuk bersandiwara, bukan denganku.” “Jujur saja, aku sama sekali tidak memiliki teman wanita. Bahkan rekan kerja di kantor yang perempuan sudah bersuami semua, aku tak mungkin meminta mereka bersandiwara denganku, sedangkan harus ada hati yang dijaga.” “Lalu, kalau denganku tidak ada hati yang aku jaga?” Dimas terdiam dan merasa bahwa apa yang baru saja diucapkannya itu telah menyinggung perasaan Hanum. Dimas memutar otaknya, dia mencoba untuk mencari solusi lagi agar Hanum bersedia untuk membantunya. “Hanum, jika kamu tidak mau melakukan ini untukku, anggap saja engkau menolong ibuku.” “Tidak segampang itu, Mas.” “Ya, aku tahu jika ini sangatlah sulit, tapi aku harus bisa membuat ibuku tak banyak pikiran karena terus memintaku cepat menikah.” “Lalu kenapa mas Dimas tidak cepat menikah?” “Hanum, menikah itu bukan hanya sebuah ucapan. Tapi menyatukan dua karakter yang bisa berjalan beriringan dalam suka dan duka, dan aku belum menemukan orangnya, aku mohon Hanum. Kamu bantu aku, ya.” Hanum seakan tak mudah untuk mengiyakan. Di dalam gejolak hatinya tak mendapati apa pun untuk dikatakan. Dia masih menatap ke depan. Melihat hujan rintik yang masing turun menghiasi bumi tanpa henti. Sembari pikirannya melayang jauh untuk bisa memutuskan apa yang akan dikatakannya pada Dimas. Dan Dimas pun nampak sangat berharap jika Hanum bersedia mengikuti permintaannya. Berpura-pura menjadi kekasih adalah jalan yang ditempuh Dimas. Agar sang ibu tak terus menanyakan kapan dirinya akan segera menikah. Dimas jantungnya berdegup maraton. Seolah tak sabar untuk segera mendapatkan jawaban dari Hanum, yang sedari tadi masih saja mengunci mulutnya. Hening dan terasa sangat menegangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN