Part 30 - Pencarian Hati

1810 Kata
Hanum kini tengah sibuk untuk mencari ketentraman hati. Setiap hari untuk menyenangkan dirinya, Hanum tak lagi mengurung dirinya di rumah. Hanum memilih untuk pergi ke sebuah panti asuhan.  Di tempat itu, Hanum bisa mengobati hatinya yang kesepian. Bermain dengan anak-anak panti, membuatnya bisa tersenyum lepas dan sangat merasa nyaman. Hanum bebas mau pergi kapan pun ke panti asuhan itu, karena kebetulan si penegelola panti asuhan itu adalah temannya sendiri. Usai bermain dengan keringat bercucuran, Hanum pun tak langsung pulang. Dia bersantai sejenak dengan sahabat karibnya itu, yang tak lain adalah pengelola panti asuhan. “Hanum, kamu sudah kembali bekerja lagi?” “Belum, aku hanya ingin istirahat dari penatnya tuntutan pekerjaan, apalagi aku sudah tak ada tanggungan lagi untuk membiayai anakku, Naya.” Wanita berhijab itu bernama Naya, tutur katanya begitu lembut. Dia adalah satu-satunya sahabat yang dimiliki Hanum. Di pundak Nyalah, Hanum akan menceritakan semua keluh kesah dirinya. Tak ada rasa sungkan, keduanya sudah saling mengisi satu sama lain. “Ingat Hanum, kamu masih punya tanggungan untuk bayar kontrakan rumah, kan?” “Iya, tapi masih beberapa bulan lagi jatuh temponya.” “Aku tidak mau mengguruimu, hanya saja jika aku boleh bilang, bersedih terlalu berlebihan itu tak baik, pun dengan bahagia yang berlebihan juga sama halnya, semoga kamu mengerti apa yang aku maksud.” Hanum tak menjawab. Dia terdiam dalam hatinya. Naya memang belum punya anak. Tapi dia sudah bersuami. Dan Naya hidup dengan keluarga yang masih utuh. Sebenarnya dalam benak Hanum, ingin sekali dirinya membantah akan ucapan itu. Hanya saja, Hanum tak mau berdebat dengan apa yang sudah sahabatnya katakan untuk mennghibur dirinya. Hanum menghargai itu, meskipun sebenarnya hatinya masih sangat rapuh. Dia masih belum bisa untuk berdiri kokoh tanpa bantuan. “Nay, aku pamit dulu.” “Mau pulang?” “Tidak, ke makam anakku.” Naya hanya menghadiahkan senyuman untuk Hanum. Ada sebuah hasrat yang tak mudah untuk diungkapkannya lagi. Senyum hangat itu mengantarkan kepergian Hanum. *** Kini Sekar dalam kondisi tertekan, berita tentang orang hilang yang ditujukan untuk dirinya itu, membuat hatinya berdebar jika bertemu dengan orang yang tak dikenal. Bahkan beberapa pegawai yang bekerja bersamanya, sudah membuat dirinya sangat resah. Sekar tak mau jika ayahnya tahu akan keberadaannya itu. Bahkan Sekar bertekad jika sudah mendapatkan gaji pertamanya, dia akan segera pergi untuk mencari alamat rumah Ningrum. Sekar tak ingin berdiam diri, keinginan untuk bertemu dengan bayinya sangatlah luar biasa besarnya. “Sekar, kamu harus pulang.” Lagi-lagi Sekar kembali mendengar celoteh dari rekan kerjanya. Pemaksaan kepada dirinya kembali terdengar. Sekar masih saja diam dan menatap dua wanita yang berdiri di depannya itu. “Itu bukan urusan kalian, aku punya masalah yang tak bisa kalian tahu, jadi tolong jangan buat aku tak nyaman di sini.” “Harusnya kamu menyelesaikan masalahmu dulu, bukan malah kabur begini, kalau pak Teguh tahu kamu adalah buronan pasti dia akan mengusirmu.” “Aku bukan buronan, karena aku sama sekali tidak melakukan tindak kejahatan.” “Tapi kamu merugikan banyak orang, Sekar.” “Siapa yang aku rugikan?” Perdebatan itu tak bisa dihindarakan. Mereka saling adu mulut saat kondisi di belakang sepi. Tak ada orang yang melihat atau bahkan ikut nimbrung dengan apa yang mereka saling akui kebenarannya. Tiba-tiba saja, Teguh datang dan merasakan ada kejanggaan dengan kedua pandang matanya, juga pendengaran telinganya. “Ada apa ini? sepertinya kalian ada masalah?” “Tidak ada, Pak.” Wanita bernama Lani dengan cepat membantah apa yang sebenarnya terjadi. Dia tak mau jika majikannya itu tahu apa yang tengah dilakukannya pada Sekar. Lani kemudian beralih bersama dengan Sita. Dua wanita itu kini telah pergi dari pandangan Sekar. Batin Sekar seakan masih terguncang dan tak mudah untuk bisa lepas dari pikiran-pikiran yang mengganggu kepalanya. “Apa ada yang mereka lakukan padamu, Sekar?” “Tidak ada.” Sekar kemudian berbalik badan. Dia segera fokus kembali dengan pekerjaan yang akan digelutinya lagi. Beberapa benda kotor itu telah siap menerima sentuhan tangan Sekar untuk dibersihkan. Teguh seolah mengerti apa yang dirasakan Sekar, masih ada setitik kemarahan yang nampak sekali di balik wajah cantiknya itu. Teguh membiarkan Sekar dengan segala pikirannya. Dia tak mau memaksa wanita itu untuk memaafkan atau bahkan mengerti akan maksud hatinya. *** “Dimas, kamu sudah waktunya mencari istri lagi.” Suara itu sebenarnya begitu bosan didengar oleh Dimas, hanya saja sang ibu yang mengatakan kepadanya, membuat Dimas tak mudah meluapkan emosinya. “Bu, mencari istri itu tidak mudah, butuh saling mengenal satu sama lain, mengerti kondisi dan bahkan harus rela dalam suka dan duka.” “Iya, tapi kalau kamu tidak berusaha, mana mungkin istri bisa datang sendiri, mau beli barang di toko saja harus milih mana yang sesuai dengan hati, cocok dengan diri dan bahkan juga sesuai harganya. Tapi kalau istri lebih dari itu, dan kamu sudah harus berpikir bagaimana cara untuk bisa mendapatkannya.” Kata-kata sang ibu sungguh sangat panjang dan menguras emosi batinnya. Akan tetapi Dimas masih berusaha untuk tetap tenang dan tak mudah untuk meluapkan kemarahannya. Sang ibu yang memiliki penyakit jantung, membuat Dimas harus benar-benar hati-hati untuk menjawab semua perkataan ibunya itu. “Ibu, doakan Dimas ya, semoga saja Dimas bisa mewujudkan keinginan Ibu.” “Kalau kamu tidak bisa mencari istri, biar ibu saja yang carikan.” Sang ibu beranjak dari tempat duduknya. Hal itu membuat Dimas seakan pusing tujuh keliling. Ibunya seakan tak bisa dinego lagi. Mendesak Dimas untuk bisa mengikuti keinginanya secepat mungkin. Dimas yang baru saja selesai sarapan, dia kemudian juga beranjak dari kursi yang telah memberikan fasilitas untuk duduk dengan nyaman. Dimas melangkah ke kamar ibunya untuk berpamitan. Hanya saja dia tak mendapati sang ibu di dalam kamar itu. Dimas memutar otak. Dia kemudian melangkah ke dapur. Dimas sangat yakin jika sang ibu berada di tempat itu. Dan ternyata apa yang dipikirkannya itu benar, dia melihat sang ibu dibalik dinding sedan berbincang dengan asisten rumah tangganya, Lastri. “Las, apa kamu di kampung punya suami?” “Tidak ada, Bu.” “Kalau menurut kamu, Dimas itu orangnya seperti apa?” “Pak Dimas, putra Ibu yang dimaksud?” “Iya, siapa lagi kalau bukan Dimas anakku.” “Pak Dimas orangnya baik, bertanggung jawab dengan keluarga.” “Kamu mau aku nikahkan dengan...” Dimas yang mendengar dengan jelas kata-kata itu, dengan cepat dia menggerakkan kedua kakinya untuk melangkah dan mencegah apa yang akan dikatakan oleh ibunya itu. “Bu, Dimas mau berangkat, tapi Dimas lupa menaruh sesuatu, apa ibu bisa bantu Dimas?” Sang ibu menoleh ke arah anaknya. Kemudian melangkah dan mengikuti apa yang dikatakan Dimas. Sedangkan Lastri dalam pemikiran tajam akan ucapan majikan perempuannya itu kepandanya. Lastri seolah-olah terngiang-ngiang akan ucapan yang sempat menggelitik hatinya. Lastri senyum-senyum kecil dan pikirannya seolah melayang memikirkan Dimas. Dia jadi salah tingkah dan bahkan lauk yang digorengnya itu berubah menjadi gosong, karena lamunannya yang tak tentu arah. *** “Bu, jika Dimas boleh meminta, jangan jodohkan Dimas dengan siapa pun, termasuk dengan Lastri.” “Apa salahnya dengan Lastri, dia tidak punya suami, dia jago masak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah, kita tidak boleh melihat seseorang dari profesinya, Dimas.” “Iya, Bu. Dimas tahu, tapi Dimas sama sekali tak memiliki perasaan apa pun kepadanya.” “Cinta itu bisa dipelajari, Ibu yakin jika kalian menikah pasti kalian akan saling jatuh cinta.” Dimas begitu sulit untuk membuat sang ibu mengerti akan maksud hatinya. Dia menghembuskan napas panjang, dan tetap saja meyakinkan sang ibu untuk tidak menjodohkannya dengan asisten rumah tangganya itu. “Bu, tolong beri Dimas waktu untuk mengenalkan seseorang pada Ibu, Dimas ingin mencari sendiri calon istri untuk Dimas.” Dimas memohon dengan tatapan yang begitu penuh harapan. Mengarah tepat pada kedua bola mata sang ibu, tanpa lepas dan nampak sangat tajam “Baiklah, satu minggu. Jika dalam waktu satu minggu kamu tidak mendapatkan calon istri, kamu harus menikah saja dengan Lastri.” “Bu, mencari istri itu tidak sama dengan belanja di toko, bila suka diambil, dibayar dan dibawa pulang. istri tak semudah itu, Bu. Dimas minta waktu satu bulan, ya.” “Tidak bisa, waktumu hanya satu minggu.” Sang ibu kemudian berlalu, meninggalkan Dimas sendiri. Wanita paruh baya itu dengan cepat masuk ke dalam kamarnya dan nampak mengunci kamar itu dari dalam. Dimas hanya berdiri termangu. Beban berat kini dipikulnya. Dia seakan tak tahu harus bagaimana lagi merayu sang ibu, Dimas lalu berangkat bekerja dengan pikiran penuh dan belum bisa untuk dipecahkan. *** Pak Surya yang memiliki keinginan untuk mencari Sekar bersama dengan Fauzi. Hari itu dirinya pun berangkat bersama dengan sang calon menantu. Harapan besar itu digantungkan, pergi ke kota untuk membawa kembali sang anak pulang ke rumah, menikah dengan laki-laki pilihannya dan hidup bahagia tanpa ada beban lagi. Di tengah-tengah perjalanan, ada kemacetan yang dirasakan cukup parah oleh Fauzi. Demo beberapa orang itu membuatnya begitu sulit untuk mengoperasikan mobilnya. Bahkan dirinya sempat menggerutu di dalam hati. Merasa tak sabar untuk bisa melalui jalanan yang super padat itu. Semenit kemudian, Fauzi mendapati ponselnya berdering. Dia menatap layar ponselnya yang nampak sebuah nomor baru yang tak disimpan olehnya. Fauzi pun segera mengangkat telepon itu dan mengetahui siapa gerangan yang tengah menghubunginya. “Halo.” “Pak, apa benar ini dengan keluarga Sekar yang menyebarkan berita kehilangan itu?” “Iya betul sekali, apa ada informasi tentang Sekar?” “Iya, Pak. Sekar kini telah bekerja bersamaku.” “Di mana alamatnya?” “Sebelum saya memberikan alamat, apakah benar bapak akan memberikan saya upah imbalan jika saya sudah memberitahu alamat Sekar?” “Tentu saja iya.” “Seratus juta seperti yang tertera di pengumuman itu.” “Iya, aku akan berikan semuanya kepadamu, asalkan Sekar bisa kembali bersamaku.” “Apa jaminannya jika Bapak berbohong?” Fauzi terdiam dengan apa yang dikatakan wanita dalam teleponnya itu. Semabri memanuver mobilnya, Fauzi berusaha untuk berpikir dengan sangat teliti. “Yakinlah, aku tidak akan pernah mengingkari ucapanku, karena aku sangat mencintai Sekar.” “Tapi aku mau jaminan, supaya bapak tidak membohongiku.” “Baiklah, mana nomor rekeningmu?” “Untuk apa?” “Satu juta sebagai tanda jadi di awal dan segera berikan alamat Sekar padaku.” “Baiklah, aku akan memberikan rekeningku, setelah bapak transfer aku akan mengirimkan alamat Sekar.” “Ya, aku tunggu.” “Baiklah, sebentar lagi aku akan mengirimkan lewat pesan.” Panggilan itu terputus. Fauzi tersenyum riang dengan sebuah kabar yang membahagiakan. Tak lama, ponselnya kembali berdering. Sebuah nomor rekening nampak begitu jelas. Fauzi mengikuti aturan main, dia segera mengirim uang senilai satu juta pada nomor rekening itu. Setelah berhasil, Fauzi pun kembali mendapatkan pesan dari wanita misterius yang belum pernah dijumpainya. Sebuah alamat warung makan itu terlihat begitu sangat jelas dibaca oleh Fauzi. Kini dia pun memiliki tujuan utama, tapa harus bingung lagi akan ke mana mencari Sekar, karena alamat itu sudah dikantonginya. “Pak, kita akan segera menemukan Sekar, aku sudah mendapatkan alamatnya.” “Baguslah, Aku sudah tidak sabar ingin segera membawa Sekar pulang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN