Part 43 - Pamit dalam Mimpi

2109 Kata
Sekar kelimpungan tatkala dia harus kehilangan foto pernikahan yang tertiup angin itu. Apalagi kekhawatirannya akan kebohongan yang terbongkar. Dia harus segera bisa mengatasi semuanya. Sekar tak mau jika Ningrum mengetahui apa yang telah dilakukannya itu. Dengan cepat, Sekar segera menidurkan bayinya. Dia melangkah dengan cepat, diiringi kedua matanya yang saling bekerja sama untuk mengetahui jika kondisi di dalam rumah aman, untuk dirinya bisa segera keluar rumah. Lekat-lekat, jantung Sekar seakan berdenyar-denyar. Ada sebuah kekhawatiran mendasar dalam dirinya. Tak ingin bila penghuni rumah mengetahui akan apa yang dilakukannya itu. Sekar telah berhasil keluar rumah. Dia melangkah dengan sangat cepat, untung saja Ningrum belum menemukan pengganti penjaga rumahnya yang baru dua hari mengundurkan diri. Setidaknya langkah Sekar pun aman, karena tak ada yang mengetahui. Sekar melangkah dengan kedua matanya mencari-cari. Seluruh tempat itu menjadi incarannya, dia masih saja tak menemukan apa yang tengah dicarinya. Sekar hampir saja putus asa, sedikit rasa menyesal pun menggerubuti benaknya. Andai saja tadi Sekar tidak mengeluarkan foto itu, tentu saja foto itu tak akan hilang tersapu angin. Kini Sekar yang susah sendiri. Kenangan satu-satunya dengan lelaki yang dicintainya itu, kini tengah dipertaruhkan. Sekar mulai lelah, dia mengitari rumah yang sangat besar itu untuk menemukan benda kecil miliknya. Hanya saja, sebuah keberahasilan belum juga didapatnya. Harapan itu seakan semakin mengecil. Detik berikutnya, Sekar berdiri mematung dengan pikiran yang masih saja tertuju pada satu kata, foto. “Riska.” Sekar seperti mendengar seseorang memanggil namanya dengan nama samaran itu. Sekar mulai mencari sumber suara itu. Dan ternyata, di ujung pandangan matanya, dia melihat Teguh yang tengah berada di dalam mobilnya. Kedua mata Sekar nampak melihat kesana-kemar. Dia ingin memastikan jika kondisi rumah aman untuk dirinya bisa menemui Teguh sebentar. Setelah dirasa cukup aman, Sekar pun melangkahkan kakinya segera. “Mas Teguh, ngapain ke sini?” “Apa kamu mencari ini?” Teguh memperlihatkan sebuah foto kecil yang tampak sepasang kekasih saling tersenyum. Sekar pun gembira melihat apa yang ditujukan oleh Teguh itu, foto pernikahannya dengan Dimas kini telah berada pada orang yang tepat. Setidaknya di tangan Teguh, rahasia akan dirinya bisa dijaga dengan sangat baik. Untuk itu, Sekar pun berterima kasih dengan sangat atas sebuah pertolongan yang kembali dihadirkan Teguh kepadanya. “Mas, terima kasih ya, Sekar gak tahu lagi harus bilang apa.” “Iya sama-sama, kamu baik-baik saja kan di sini?” “Iya Mas, Sekar baik-baik saja, Mas Teguh kenapa ke sini?” “Cuma mau mengantarkan ini, bude bilang jika kamu telah membuat pakaian rajut untuk anakmu, mungkin kamu ingin memakaikannya.” Teguh pun memberikan paper bag kepadanya. Sekar kembali tersenyum penuh antusias. Bahkan dirinya baru ingat jika sudah menghasilkan sebuah karya untuk anaknya sendiri itu. “Mas, terima kasih, ya.” Teguh hanya tersenyum, dia tak menjawab dengan kata-kata. Melihat Sekar berwajah ceria itu, Teguh nampak sangat senang. Dia yakin, jika Sekar sangatlah bahagia bisa bertemu dengan anak kandungnya. “Riska, Riska, di mana kamu?!” Skar tersentak dengan suara yang begitu dikenalnya. Dia tak mau berlama-lama lagi bersama Teguh. Sekar harus kembali pada pekerjaannya. Dengan cepat, Sekar pun segera beralih dan lari terbirit-b***t. Ningrum melihat Sekar yang ternyata telah menemui seorang laki-laki yang berada di dalam mobil. Melihat hal itu, Ningrum pun seketika marah besar, apalagi baby sitternya itu keluar rumah tanpa meminta izin dulu kepadanya. “Riska, lancang sekali kamu! Waktunya kerja malah seenaknya saja menemui orang lain, Siapa dia?” “Maaf Bu, saya hanya sebentar menemui kakak saya.” “Kakak? Mana mungkin seorang baby sitter punya kakak yang naik mobil sebagus itu, jangan bohong kamu!” Teguh yang melihat Ningrum sedang melampiaskan kemarahannya pada Sekar, membuat Teguh seolah tak bisa pergi begitu saja. Dia memandang Sekar dari kejauhan, ingin sekali jika dirinya turun dan membantu Sekar, namun jika itu dilakukan, Teguh akan semakin takut jika Sekar akan memperoleh hukuman. Seketika itu, Teguh merelakan untuk segera berlalu dari area rumah Ningrum. Dia ingin Sekar tak kena marah lagi. Teguh meninggalkan pandangan kedua matanya pada sosok wanita yang begitu amat dikasihinya itu dengan keterpaksaan. “Apa yang kamu bawa itu, Riska?” Ningrum menunjuk pada paper bag yang tengah digengam erat dengan kedua tangan Sekar. Untung saja, Sekar telah mengantongi foto pernikahannya, setidaknya dia akan merasa aman dan rahasianya akan tetap terjaga dengan baik. “Ini pesanan orang, Bu. Tapi kurang cocok jadi dikembalikan lagi ke saya.” “Kamu belum menjawab pertanyaanku, siapa tadi yang ada di mobil itu?” Sekar begitu sangat kebingungan, dia benar-benar tak tahu harus menjawab dengan alasan apa lagi. Sedangkan Sekar tak cukup keberanian untuk kembali menghadirkan kebohongan lagi. Dia masih saja terdiam dan kedua pandang matanya tertuju ke bawah. “Riska, kamu dengar kan apa yang saya tanyakan? Sekar pun mengangguk cepat. Hanya saja dia belum bisa menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan itu. Bibirnya masih kelu dan tak kunjung terbuka. Tiba-tiba saja, Dewi Fortuna seolah berpihak pada Sekar, suara tangisan bayi itu membuat Sekar terperangah. Dia meminta ijin kepada Ningrum untuk melihat bayi yang harus dijaga olehnya itu. Sekar pun berlalu, sedangkan Ningrum masih saja diselimuti rasa penasaran atas pertanyaannya yang belum juga mendapatkan kepastian dari jawaban baby sitter-nya itu. *** Betapa bahagianya sebuah hati yang kini telah menemukan tempat berlabuhnya. Bak bunga di taman yang bermekaran, semerbak harumnya pun penuh dengan keindahan bagi setiap mata yang memandang. Hanum dan Dimas kini mereka telah berkomitmen untuk menjalin sebuah hubungan. Tidak hanya itu, sepertinya keduanya pun sudah saling yakin atas pilihan yang sudah ditentukannya itu. “Hanum, apa kamu bersedia jika kita naik pelaminan secepatnya?” tanya Dimas. “Aku ikut mas Dimas saja,” jawab Hanum dengan malu-malu. “Kalau kamu bersedia, aku akan segera melamarmu. Bagaimana menurutmu?” “Terserah mas Dimas saja.” “Kalau begitu kapan aku bisa bertemu dengan keluargamu, Num?” Hanum seketika terdiam dengan pertanyaan yang didengarnya itu. Kedua matanya tiba-tiba saja berkaca-kaca. Seperti ada sebuah beban yang masih belum diketahui oleh Dimas. Menit selanjutnya, air mata itu pun menganak sungai, membuat Dimas semakin tak tahu dengan apa yang tengah terjadi pada wanita yang tengah berada di depannya itu. “Hanum, apa kata-kataku menyakitimu?” tanya Dimas pelan. Hanum bibirnya masih terkunci. Dia hanya memberikan sebuah isyarat dari gelengan kepalanya. Hal itu menandakan jika Dimas bukan penyebab dirinya menghadirkan air matanya. Dimas pun memilih diam, sembari pikirannya melaju pesat dan menduga atas apa yang tengah dipikirkan oleh wanita yang dicintainya itu. Dimas tak mau jika suasana berubah menjadi hening. Dia berusaha dengan sebaik-baiknya agar bisa membuat keadaan kembali seperti sedia kala. “Hanum, aku tidak ingin memaksamu, jika apa yang aku katakan menyinggungmu, aku akan menarik semua kata-kataku.” “Tidak, Mas. Sama sekali perkataan Mas Dimas tidak menyingung hatiku, hanya saja aku ingin mengatakan jika aku sudah tak punya siapa pun di dunia ini, aku hanya punya diriku dan juga Tuhanku, hal itu yang membuatku merasa bersedih.” “Maafkan aku Hanum, aku janji akan terus menjagamu, dan aku tak ingin jika kamu merasa sendiri di dunia ini. Baiklah, jika kamu tak keberatan, besok aku akan mengajak ibuku ke rumahmu, aku akan melamarmu, Num.” Hanum kemudian menganggukkan kepalanya. Dia lalu mengusap air mata yang sudah basah di pipinya itu. Kemudian menggantinya dengan sebuah senyum simpulnya. *** Ningrum yang tersipu malu dengan kalung yang diberikan suaminya itu. Ningrum menunggu Toni pulang ke rumah. Ningrum berusaha untuk bersikap manis atas apa yang tengah dituduhkan pada suaminya itu. Ketika Toni pulang. Ningrum memperlihatkan wajah sumringah. Dia mendekat ke arah suaminya yang memilih langsung masuk ke kamar tanpa banyak bicara kepada Ningrum. “Mas, terima kasih ya hadiahnya, aku sangat suka.” Toni melirik sedikit ke arah istrinya. Dia melihat sekilas jika istrinya telah memakai kalung emas dengan liontin huruf “N”. “Ya.” “Kenapa jawabannya singkat sekali?” “Lalu aku harus bagaimana?” “Ya jangan begitu dong, Mas.” “Aku harus pergi ke luar kota. Jadi tak punya waktu banyak lagi untuk mendengarkan apa yang akan kamu katakan itu.” Ningrum memilih untuk diam. Dia tak berkata-kata lagi. Seolah apa yang dikatakannya akan berakhir dengan sia-sia. Dia melihat suaminya yang tengah sibuk menata kembali barang-barangnya. Ningrum tak menganggunya. Dia berusaha untuk membantu, tapi ternyata pakaian-pakaian yang akan dibawa pergi itu sudah disiapkan Toni sebelumnya. Setelah itu, Toni segera masuk ke kamar mandi. Dia membiarkan Ningrum dengan kesendirian tanpa kata-kata. Sepuluh menit kemudian, Toni yang keluar dari kamar mandi itu tak melihat lagi istrinya yang ada di dalam kamar. Dia kemudian mengambil ponsel dan melakukan panggilan video dengan seseorang. Senyum penuh kegembiraan pun terpancar dengan begitu nyata. Tak lama, Ningrum masuk ke kamar tanpa diketahui suaminya. Ningrum pun begitu heran melihat suaminya yang sedang berkomunikasi dengan orang lain dan terlihat begitu mesra. “Mas, telepon siapa?” Toni yang mendengar suara istrinya itu, dengan cepat dia segera mematikan panggilan yang sebenarnya masih berlangsung itu. Toni lalu meletakkan ponselnya di atas meja. “Rekan kerja, aku ke kamar mandi dulu, perutku mules.” Toni melangkah dengan sangat cepat. Ningrum yang masih berdiri dengan sejuta pemikiran yang berkecamuk dalam pikirannya. Dia nampak begitu penasaran dengan apa yang tadinya dilihatnya itu. Diam-diam, Ningrum melangkah untuk mendekat ke arah ponsel sang suami. Kedua mata Ningrum mencoba untuk melirik ke arah kamar mandi. Ningrum yakin, jika Toni akan sedikit lama berada di kamar kecil itu. Ningrum pun yang diliputi rasa penasaran, dia segera meraih ponsel sang suami. Dia ingin tahu siapa sebenarnya yang menjadi lawan bicara sang suaminya melalui panggilan video itu. Dengan sangat berhati-hati, Ningrum mencoba untuk menatap layar ponsel itu tanpa lepas. Sayang sungguh sayang. Ningrum seketika tampak terkejut dengan layar yang tak bisa dibuka itu. Suaminya telah mengunci ponsel yang digenggam oleh Ningrum itu dengan kata sandi. Ningrum mencoba untuk tenang, dia berusaha untuk mencari kata sandi yang digunakan oleh sang suami untuk membuka ponsel itu. Pertama, Ningrum memasukkan tanggal lahir suaminya, dia berharap jika tanggal yang dipilihnya itu adalah kata sandi ponsel yang masih saja menjadi pusat perhatiannya. Akan tetapi, ternyata kata sandi yang dimasukkan itu pun salah. Lalu kedua kalinya, Ningrum memasukkan tanggal lahirnya sendiri, dan ternyata hasilnya pun masih sama. Layar ponsel itu masih juga belum bisa dibuka. Ningrum pun mulai berpikir keras, dia mencari alternatif lain lagi. Hingga akhirnya Ningrum pun memiliki praduga atas apa yang sedang terlintas dalam pikirannya itu. Ningrum memasukkan tanggal pernikahan dirinya dengan Toni, dia sangat yakin jika tanggal itu adalah kata sandi yang sedang dicarinya. Sayangnya, apa yang dipikirkan Ningrum itu sama sekali tak mendapatkan hasil yang diinginkan. Kata sandi masih juga tetap salah. Pikiran Ningrum menjadi carut marut tentang kata sandi yang masih menjadi misteri. Ningrum menarik napas panjang, dia seolah menyerah dengan usaha yang sudah dilakukannya itu. “Apa yang kamu lakukan?” Ningrum terkejut dengan ucapan sang suami yang mendadak mengagetkannya. Hingga tak sadar, Ningrum yang memegang ponsel suaminya itu harus dilepas hingga jatuh ke lantai. “Maaf, Mas. Aku kira ponselku, ternyata bukan.” Teguh menatap Ningrum dengan pandangan garang. Hal itu membuat Ningrum semakin merasa ketakutan. Dia hanya diam dan mengalihkan pandangannya ke arah berlawanan dengan sang suami. “Aku pergi dulu.” “Iya, Mas.” Ningrum nampak sangat jelas jika dirinya merasa gugup berada di depan pandang sang suami. Meski begitu, Ningrum pun berusaha untuk tetap bersikap biasa. Seiring kepergian sang suami dari pandangan matanya. *** Malam seakan mencekam dengan suara guntur yang bersahutan. Hujan deras dan angin kencang membuat Sekar merasa sangat ketakutan. Dia terbangun saat petir itu menyambar begitu sangat keras. Sekar teringat akan bayinya. Dengan cepat, Sekar pun melangkah dari kamarnya untuk melihat Pras, yang tak lain adalah Raja, nama yang diberikan sendiri olehnya saat bayi laki-laki itu lahir ke dunia. Sekar berlari lintang pukang menuju kamar bayinya. Membuka pintu dan menatap Raja masih terpejam dengan nyenyaknya. Sekar tersenyum manis, mengecup kening sang bayi yang begitu sangat dicintainya. Sekar duduk di samping box bayinya. Rasa kantuk yang masih menyelimuti diri, membuat Sekar dengan cepat kembali menuju fatamorgana. “Sekar, maafkan aku. Aku harus pergi jauh.” “Mas, jangan tinggalkan aku, aku dan Raja masih sangat membutuhkanmu, Mas.” “Aku tidak bisa, aku doakan agar kalian bahagia.” “Jangan pergi, Mas. Aku mohon!” “Maaf Sekar, aku tidak bisa bersama kalian lagi. Aku harus pergi sekarang!” “Tidak! Jangan! Tidak! Jangan!” Sekar terbangun dengan mimpi yang baru saja hadir dalam tidurnya. Peluh menghiasi keningnya. Serasa tubuhnya begitu sangat kelu dengan apa yang dirasakannya itu. Seiring tangisan yang menghiasi Raja, bayinya itu menangis dengan sangat keras. Sekar segera menggendong Raja. Sembari pikirannya masih saja tertuju pada mimpi buruknya itu. Seolah apa yang terjadi seperti sebuah kenyataan. Sekar menitikkan kedua air matanya. Sedihnya kembali hadir, saat dia harus menerima sebuah pesan yang begitu mneyakitkan dari laki-laki yang begitu dicintainya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN