Part 15 - Prematur

1111 Kata
Sekar menatap wajah laki-laki yang ada di depannya dengan tubuh gemetar. Apalagi waktu yang sudah sangat malam, membuat pikiran Sekar berkelana dengan pikiran hitamnya. “Mau apa kamu ke sini?” “Ningrum sedang tidur, aku rasa kita bisa ngobrol santai.” “Ini sudah malam, saya mau tidur.” Sekar pun segera menutup pintu kamarnya. Akan taetapi suami dari adiknya itu terus saja memaksa untuk masuk. Sekar dalam kondisi tertekan. Dia yang merasa ketakutan itu pun segera mendorong adik iparnya itu hingga terjatuh. Sekar dengan cepat segera menutup pintu kamarnya. Napasnya terengah-engah. Serasa dia ingin sekali menjerit keras, namun Sekar tak kuasa untuk melakukannya. Tanpa disangka-sangka, pintu yang sudah dikunci itu ternyata terbuka dengan satu tendangan kaki dari laki-laki yang kini menertawakan akan diri Sekar. Betapa takutnya Sekar yang tak berdaya dengan dirinya sendiri. Suami Nungrum itu terus saja mendekat ke arah Sekar dan tanpa disangka Sekar yang merasa ingin menyelamatkan dirinya sendiri, Sekar berniat untuk keluar kamar. Sayang sungguh sayang, usah Sekar untuk menyelamatkan dirinya sendiri tak berbuah manis. Sekar yang berlari dengan cepat itu ternyata malah terhalang sebuah meja, perutnya terbentur benda itu dan seketika Sekar terkapar. Dia merintih kesakitan. Suami Ningrum mendadak diselimuti ketakutan ketika melihat Sekar dalam kondisi yang sudah tak berdaya itu. Sekar memegang perutnya dengan ditekan sekuat mungkin. Dia tak tahan lagi dengan apa yang dirasakannya. Bahkan yang membuat suami Sekar lebih khawatir lagi ketika Sekar mengelurkan darah yang terhias di lantai. Hal itu juga membuat Sekar semakin tak bisa lagi menahan rasa sakit yang maha dahsyat. “Tolong, bawa aku ke rumah sakit.” Suami Ningrum itu hanya berdiri dengan kebingungan yang melanda. Dia menggaruk rambutnya berkali-kali. Mencoba berpikir untuk melakukan sesuatu. Hanya saja, dia masih tak dapat menentukan apa yang akan dilakukannya. Sekar semakin kesakitan. Air matanya menetes berulang kali, sembari kedua tangannya yang sama sekali tak bisa lepas dari perutnya. Sekar lalu menjerit dengan sangat keras, dia berharap agar jeritan itu bisa sedikit mengurangi rasa sakitnya. Akan tetapi sakit yang dirasakan Sekar seperti menjulur ke seluruh tubuhnya, tak dapat lagi ditahan dan dia terus saja meraung dengan memohon pertolongan. Tak lama, asisten rumah tangga Ningrum yang baru saja ke dapur untuk mengambil minuman, dia seperti mendengar suara samar-samar dari kamar Sekar. Dengan diliputi rasa penasaran, wanita paruh baya itu pun melangkahkan kedua kakinya menuju ke kamar Sekar. Dengan sangat tak terduga, kedua pandang mata tertancap penuh ke arah Sekar yang tergeletak di lantai. Serta tak jauh dari itu majikan laki-lakinya tengah berdiri tak jauh dari Sekar. “Mbak Sekar kenapa?” Suami Ningrum yang melihat pembantunya datang tanpa disangka-sangka itu, membuatnya semakin terlihat gugup. Dia tak mau jika pembantunya berpikir hal-hal yang buruk tentang dirinya. Sesegera mungkin otak si majikan itu pun berputar dengan cepat. Berusaha membuat situasi tak nampak sebuah kerucigaan sedikit pun. “Bi, saya tadi mau ambil barang di mobil, saya lihat Sekar sudah terjatuh begini.” “Pak, lebih baik kita bawa saja mbak Sekar ke rumah sakit.” “Iya, kamu benar.” “Ayo, Pak. Bibi bantu.” “Saya ke kamar dulu.” Laki-laki itu segera melangkah dengan segera, meskipun dalam hatinya masih diselimuti rasa khawatir, bila sang pembantu itu mengetahui apa yang sebenarnya dia lakukan di kamar Sekar. Sebelum akhirnya Sekar terjatuh dan terkapar. Masuk ke dalam kamar dengan langkah terburu-buru. Suami Ningrum itu segera mengambil jaket dan juga kunci mobilnya. Akan tetapi, mendengar suara berisik membuat Ningrum segera membuka mata dan terbangun dari tidurnya. “Kamu mau ke mana?” tanya Ningrum. “Itu, a-pa?” “Kenapa sayang? Kamu gugup begitu, ada apa?” “Se-kar.” “Ada apa dengan Sekar?” “Dia mengeluarkan darah.” Jawaban sang suami yang diselimuti kekhawatiran dalam hati. Ningrum dengan cepat menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Lalu Ningrum tak hanya diam, dia segera melangkah untuk segera mengetahui apa yang terjadi pada saudara tirinya itu. “Kenapa dia jadi menyusahkan begini?” Gerutu Ningrum, saat dirinya melihat sosok Sekar yang seolah telah kehabisan napas itu. Pandangan kedua matanya seperti kabur, dia tak bisa lagi berkata-kata. Dengan sangat kesal, Ningrum pun meminta sang suami untuk membawa Sekar ke rumah sakit. Ningrum tak mau tinggal diam. Dia juga meminta pembantunya untuk membawa Sekar dengan langkah cepat. Ningrum segera bersiap mengganti piyamanya dengan baju, lalu dia pun tak lupa membawa tas kecil dan juga ponselnya. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Sekar terus saja merasa kesakitan. Hal itu membuat Ningrum semakin tak bisa bersikap tenang. Dia terus saja menggerutu dan bahkan meminta Sekar untuk tidak berkata-kata lagi. Ningrum merasa kedua telinganya seperti akan pecah, mendengar rintihan kesakitan yang tengah dirasakan Sekar itu. “Mas, Bi, dia tadi kenapa kok bisa keluar darah begini? Mobilku kan jadi kotor, menyusahkan saja!” “Bibi tidak tahu, Bu. Tadi pas Bibi lihat sudah ada bapak dan mbak Sekar di kamar dengan kondisi seperti ini.” Ningrum yang mendengar pernyataan pembantunya. Seolah membuat kecurigaan yang dalam dengan apa yang didengarnya itu. “Kamu ngapain di kamar Sekar, Mas?” “Aku tadi mau ke mobil, ada berkas yang ketinggalan, aku lihat pintu kamar Sekar terbuka dan dia sudah dalam kondisi begitu.” “Kamu gak bohong, Mas?” “Untuk apa aku bohong, gak ada gunanya sama sekali.” “Tapi, untuk apa juga mas ke mobil tengah malam begitu?” “Aku lembur, jangan pikir aneh-aneh.” Ningrum memang menyimpan tanda tanya atas apa yang kini menjadi pikirannya. Namun, jawaban sang suami seolah harus memaksanya untuk meninggalkan pikiran yang kini menjadi sebuah kecurigaan di dalam benaknya itu. *** Sekar sudah menerima penanganan dari dokter. Meskipun begitu, Ningrum masih daja bersikap tak acuh. Dia merasa sangat enggan untuk menemani Sekar. “Mas, kita pulang saja.” “Bagaimana mungkin pulang, bagaimana dengan Sekar?” “Ada bibi yang akan menemaninya di sini.” Toni, suami Ningrum menatap dengan tanda tanya yang dalam. Ningrum masih saja merasa tak senang membantu saudaranya sendiri. Dia masih berusaha merayu suaminya untuk bisa diajak pulang. Sesaat dokter pun datang untuk memberikan sebuah informasi tentang kondisi Sekar yang sudah diperiksa dokter. “Keluarga Sekar.” Ningrum dengan wajah masamnya, menatap dokter penuh kesinisan. Sembari dirinya menggenggam erat suaminya. “Bagaimana kondisinya?” “Dengan terpaksa, kami harus mengeluarkan anaknya, jika tidak bayinya tidak bisa diselamatkan.” “Dokter, silakan lahirkan saja bayi itu, tapi dokter harus mengatakan pada Sekar jika anaknya meninggal saat dilahirkan.” Ningrum berceloteh tanpa berpikir panjang. Toni pun menatapnya penuh keraguan. Sedangkan asisten rumah tangganya itu hany geleng-geleng kepala melihat dan mendengar apa yang dikatakan Ningrum kepada dokter. Dokter kembali menjawab dengan tatapan meragukan, apa yang dikatakan Ningrum tanpa sebuah pertimbangan yang jelas. Pembicaraan mereka pun terjeda. Saling melirik satu sama, kesunyian begitu terasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN