Sekar tertohok dengan apa yang dikatakan sang adik kepadanya. Dia masih belum menjawab apa pun. Namun, dalam lubuk hati yang terdalam, Sekar sangat menolak akan keinginan itu. Mana mungkin dia dengan susah payah mengandung dan berjuang sekuat tenaga, kini dengan mudahnya Ningrum meminta calon bayinya itu.
“Aku tidak mungkin memberikan anakku ke kamu, Rum.”
“Ya sudah, aku tidak bisa membantu apa-apa untukmu.”
Ningrum kemudian beranjak untuk masuk ke kamarnya. Sedangkan Sekar masih saja terdiam dengan segala beban yang kini menjadi pikiran utamanya.
Dia tak tahu lagi harus pada siapa mencari bantuan. Ayahnya telah memutuskan untuk tak peduli lagi dengan dirinya. Lalu saudara satu-satunya yang dimiliki pun seolah acuh dan sama sekali tak bisa dijadikan tumpuan.
Tak terasa tetes air mata Sekar kembali hadir. Bahkan jika dia terus saja memforsir pikirannya, perutnya pun semakin terasa kram. Sekar bingung dengan kondisi yang semakin menyulitkan. Andai saja masih ada Dimas di sisinya, pastinya Sekar tak akan kesulitan seperti ini.
“Aku mau pergi, dan ingat Sekar, suamiku akan pulang sore nanti. Kalau kamu tidak bisa memberikan anak itu padaku, lebih baik kamu pergi dari rumahku.”
Lagi-lagi kata-kata Ningrum membuat air mata Sekar semakin mengalir deras. Jika dia tak menyetujui apa yang dikatakan adik tirinya itu maka pastilah Sekar akan hidup di pinggir jalan. Dia tak ada sanak saudara lagi selain Ningrum.
Namun, di lubuk hati yang terdalam. Tak mungkin Sekar membiarkan darah dagingnya diambil orang lain, meskipun itu adalah saudaranya sendiri. Sekar dalam kebingungan. Seolah keputusan yang diyakininya begitu sulit untuk bisa diwujudkan.
Semua ada konsekwensinya. Sekar terus saja diam dan mencoba untuk mencari solusi yang benar-benar terbaik untuk dirinya dan juga calon bayinya itu.
“Mbak Sekar, sarapan dulu, Mbak.”
“Iya, Bi.”
Suara sang bibi membuyarkan lamunan Sekar. Membuat Sekar harus segera melangkah menuju ke meja makan. Sekar yang sebenarnya sedang tidak memiliki nafsu makan sama sekali. Dia hanya terus saja memikirkan nasib bayi yang harus dia lahirkan.
“Mbak Sekar, ayo dimakan. Bayi mbak Sekar harus cukup gizinya.”
“Iya, Bi. Saya makan.”
***
Ningrum yang sedang menikmati harinya dengan teman-temannya. Pergi ke sebuah pusat pembelanjaan. Senyum, canda tawa terhias dengan begitu kentara. Mereka saling bercerita akan keindahan dunia.
Ningrum yang selalu bisa membeli apa yang dia inginkan. Suaminya adalah seorang manager di salah satu perusahaan ternama. Jika bebas menggunakan uang hasil kerja keras suaminya dengan sesuka hati.
Hanya saja, di usia pernikahan ke tujuh tahun. Ningrum belum juga memiliki keturunan. Dia dan suaminya telah menjalani berbagai macam program. Akan tetapi jawaban atas semua hasilnya itu belum juga terlihat kasat mata.
Hari-hari Ningrum berjalan dengan sepi jika dirinya berada di rumah, setelah sang suami berangkat kerja. Untuk itu, Ningrum selalu mencari kegiatan di luar rumah, berkumpul dengan teman-temannya, berbelanja dan apa pun itu yang membuat dia bisa bebas untuk berfoya-foya.
Sore pun telah menyapa. Ningrum harus segera mengakhiri pertemuan yang hampir tiap hari selalu dilakukan di luar rumah. Kini Ningrum menyusuri kembali jalan raya menuju ke rumahnya. Akan tetapi, dia harus menerima kesialan saat salah satu ban mobilnya kempes.
Ningrum pun segera mengambil ponselnya untuk menelepon montir. Akan tetapi sayang sungguh sayang, ponsel yang digunakannya itu pun mati dan tak bisa digunakan.
Dia seperti terjatuh dan tertimpa tangga. Ningrum mulai menggerutu dengan kondisi yang membuatnya sangat ingin marah.
Akan tetapi, untungnya mobil Ningrum yang terhenti secara paksa itu tepat berada di depan bengkel. Meskipun Ningrum harus menyeberang terlebih dahulu. Dia harus berjalan kaki untuk mendapatkan bantuan.
Awalnya Ningrum terasa sangat berat melangkah, akan tetapi jika dirinya hanya diam menunggu, maka sudah dapat dipastikan jika urusan mobilnya tak akan kunjung beres. Sambil terus menggerutu, Ningrum berjalan untuk menuju ke bengkel seberang jalan.
“Ada yang bisa dibantu, Bu?”
“Ban mobil saya kempes, di seberang sana. Cepat dibetulkan.”
“Baik, Bu.”
Ningrum pun mengambil tempat duduk yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Sembari mengeluh kepanasan, Ningrum mengambil kipas yang ada di tasnya. Mengipas tubuhnya berkali-kali.
Tiba-tiba saja, Ningrum melihat sosok laki-laki yang pernah dilihatnya sebelumnya. Kedua mata Ningrum pun semakin tak ingin lepas dari tatapan kedua matanya. Dia melihat laki-laki itu dengan sangat tajam.
Hatinya berbisik dengan sangat jelas, bahwa dia benar-benar tak salah lihat. Bahkan pandangan mata Ningrum terus saja mengikuti kemana laki-laki itu melangkah.
“Bu, mobilnya sudah beres, silakan bayar di kasir.”
“Mas-mas, tunggu sebentar. Siapa laki-laki yang berada di sebelah mobil itu?”
Ningrum menunjuk ke arah laki-laki yang dimaksud, dan pegawai bengkel itu pun mengikuti arah jari telunjuk Ningrum.
“Dia Pak Dimas, Bu. Penanggung jawab bengkel di sini.”
Setelah mendapatkan jawaban itu. Ningrum semakin yakin dengan apa yang dilihatnya. Laki-laki berdasi dan berjas hitam itu adalah Dimas, suami dari Sekar.
Ningrum buru-buru membayar tagihan yang harus diselesaikannya. Kemudian tanpa sengaja, laki-laki yang menjadi tujuan pandangannya tadi juga sempat melihat Ningrum. Hal itu membuat Ningrum seolah tak bisa berlama-lama lagi.
Ningrum bahkan tidak berjalan untuk menuju ke mobilnya, dia memilih berlari bahkan karena sepatu hak tinggi yang dipakainya itu tak mendukung. Ningrum haris menerima jika kaki kanannya terkilir. Ningrum semakin tak mau tertangkap pandangan dari Dimas.
Sakit yang dirasa pada kakinya pun seolah ditahan dalam-dalam. Dia harus segera pergi dan tak ingin bila Dimas akan mengikutinya. Tak lama, usaha Ningrum pun berhasil. Dia masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin dan segera pergi untuk menghindari pandangan Dimas padanya.
***
Sesampainya di rumah, Ningrum mengeluh dengan suara yang sangat lantang. Meminta asisten rumah tangganya untuk memanggil tukang urut. Sekar yang melihat kondisi sang adik yang terus merintih kesakitan, membuatnya tak memiliki rasa iba yang dalam.
“Ningrum, aku kompres kakimu dengan air dingin ini, ya.”
“Gak, aku gak mau.”
Ningrum menolak bantuan Sekar, bahkan dirinya mengibaskan baskom tempat isi air dingin itu. Sekar pun terhuyung tubuhnya, dia tak menyangka dengan apa yang dilakukan Ningrum kepadanya. Meskipun begitu, Sekar pun tetap bersikap baik. Dia sama sekali tak marah dengan sikap Ningrum yang tak mengenakkan itu.
Ningrum terus merintih karena kakinya semakin bengkak dan sakit. Sekar yang seolah tak dianggap keberadaannya itu pun hanya diam. Bahkan sepertinya Sekar ingin peri saja dari rumah saudaranya itu.
Beberapa menit kemudian sang asisten rumah tangganya telah menghadirkan tukang urut untuk segera memijat kaki Ningrum yang terkilir itu. Dengan menahan rasa sakitnya, Ningrum pun menjerit dengan sangat keras, bahkan dirinya tak kuasa dengan sakit yang rasanya seperti ditusuk pisau itu.
Setelah selesai diurut, Ningrum pun duduk dan menatap Sekar dengan pandangan lurus, Ningrum berbisik pada hatinya, bahwa dirinya yang tadi bertemu dengan Dimas sepertinya sudah ingin disampaikan pada Sekar.
Tetapi, Ningrum berpikir keras dengan apa yang kini mengganggu pikirannya itu. Jika dia memberitahu keberadaan Dimas, takutnya Sekar akan segera pergi untuk menemui Dimas dan membuat Sekar tak akan menyerahkan calon bayi yang dikandungnya itu untuk dirinya.
Kedua mata Ningrum berotasi, dia mencari cara yang dianggapnya bisa berhasil dengan apa yang diinginkan. Dia harus bisa membawa Sekar pada kondisi yang kini dirasakan olehnya.
Berdua di ruang tengah, sembari kedua mata mereka saling memandang. Tiba-tiba saja Sekar menangis, dia mengeluarkan air matanya yang terus membanjiri kedua pipinya. Sekar pun nampak sangat terkejut.
Sekar mengira jika Ningrum menangis karena rasa sakit yang sedang dirakannya itu. Sekar pun bingung, dia tak tahu harus melakukan apa agar Ningrum tak semakin menangis.
“Sekar, apa aku boleh bercerita suatu hal ke kamu.”
Suara Ningrum terdengar begitu lirih, membuat Sekar memasang kedua pendengarannya dengan sangat hati-hati. Dia tak mau salah dalam mengartikan apa yang dikatakan Ningrum padanya.
“Ada apa Ningrum?”
“Kamu wanita sempurna, Sekar.”
“Kenapa kamu bilang begitu?”
“Kamu yang baru saja menikah, sudah dititipi anak. Sedangkan aku, sudah tujuh tahun lamanya aku dan suami menanti, namun tak kunjung ada tanda-tanda jika aku akan hamil.”
“Sabar, kita tak pernah tahu keindahan akan datang ke kita di waktu yang bagaimana.”
“Aku tidak akan punya anak, Sekar.”
“Jangan begitu, Tuhan pasti akan berikan apa yang kamu inginkan nantinya.”
“Tidak mungkin, karena suamiku mandul.”
Sekar begitu terkejut dengan apa yang dikatakan Ningrum itu. Sama sekali tak menyangka jika Ningrum akan menceritakan masalah rumah tangganya yang begitu sangat rahasia itu.
“Sabar ya, Rum.”
“Apa kamu tidak kasihan kepadaku, Sekar. Jika kamu memberikan anakmu kepadaku, suatu saat kamu juga pasti bisa hamil lagi kan? Sedangkan aku mana bisa?”
“Vonis dokter, belum tentu sama dengan vonis Tuhan, kamu masih bisa berusaha lagi Rum, aku percaya jika Tuhan tak akan mengabaikan kita yang berusaha dengan sungguh-sungguh.”
“Ya, tapi kemungkinan itu sangatlah tipis, Sekar.”
Ningrum kembali terisak, seakan perasaannya begitu sensitif. Wajahnya sayu, kedua matanya pun sembab. Sekar semakin tak tega melihat kesedihan di wajah adiknya itu.
“Jadi bagamana Sekar, apa kamu mau memberikan anakmu padaku?”
Sekar diam telak, dia masih saja tak bisa memberikan sebuah jawaban yang dirasa sangat memilukan itu. Sekar masih butuh waktu untuk berpikir. Apalagi yang diminta ini bukan sebuah barang, melainkan separuh jiwanya.
“Begini saja Sekar, biarkanlah anakmu tinggal bersamaku selama dua tahun, siapa tahu dengan aku merawat bayimu, aku bisa ketularan hamil. Seperti trik-trik orang-orang kan seperti itu, tolonglah pikirkan apa yang aku katakan ini, Sekar. Sangat sakit bila wanita dikatakan tak bisa memiliki keturunan.”
Sekar kembali terkunci mulutnya. Dia seakan tak bisa dengan mudah mengiyakan. Batinnya terasa sangat tersiksa dengan keadaan yang benar-benar menyakitkan itu.
Tak lama, suami Ningrum terlihat memasuki rumah. Dia yang baru saja datang dari tempat kerjanya. Masuk dengan cepat dan menatap sosok sang istri yang sedang terisak dalam tangisnya.
“Sayang, kamu kenapa?”
“Kakiku terkilir, rasanya sakit sekali.”
“Kita ke dokter, ya.”
“Besok saja, sekarang sudah malam, lagian kaki ini baru saja diurut sama tukang urut.”
Si suami menuruti apa yang dikatakan Ningrum. Tiba-tiba saja pandangan mata suami Ningrum tertuju pada Sekar yang masih saja duduk di samping Ningrum.
“Ini siapa Ningrum?”
“Kamu lupa ya, dia Sekar, kakakku.”
“Oh, maaf. Soalnya sudah lama sekali tidak bertemu, jadi lupa wajahnya.”
Toni, suami Sekar itu mengulurkan tangannya. Dia bermaksud untuk mengajak Sekar berjabat tangan. Tak lama, sebagai tanda menghormati Sekar pun menerima uluran tangan itu. Sekar menggenggam tangan Toni selayaknya tamu dan tuan rumah.
Hanya saja, Sekar merasakan suatu hal yang aneh dari cara bersalaman Toni. Sekar buru-buru melepaskan genggaman tangannya itu. Sekar menundukkan kepalanya, dia merasa sangat kaku dengan perjumpaan itu.
Bahkan Sekar yang hanya menatap lantai di putih itu, hatinya bergetar hebat. Seperti ada ketakutan yang melandai dalam hatinya. Sesekali Sekar menatap wajah Toni, tiba-tiba saja Toni mengedipkan satu mata kanannya ke arah Sekar.
Suasana nampak sunyi, hingga akhirnya Ningrum merengek minta digendong untuk menuju ke kamar. Sedangkan Sekar, dia juga memilih untuk segera masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan Ningrum untuknya.
***
Sekar tak bisa tidur, dia terus saja memikirkan permintaan Sekar. suara jarum jam yang berputar menambah kegundahan hati Sekar. Dia sudah berusaha untuk memaksa kedua matanya agar cepat terpejam. Nyatanya hal itu semakin sulit untuk dilakukannya.
Suara ketukan pintu terdengar begitu sangat lirih. Berkali-kali ketukan itu menghiasi kedua pendengaran Sekar. Dia lalu melihat jam dinding yang menunjukkan pukul satu. Sekar pun segera berdiri dan berniat akan membuka pintu kamar itu.
Saat gagang pintu digenggam oleh tangan kanan Sekar, dia lalu membuka pintu kamarnya dan pandangannya berubah menjadi sebuah ketidaknyamanan yang sangat dalam.