Part 15 - Laki-laki Atau Perempuan

1928 Kata
Dokter tak bisa mengiyakan apa yang diminta oleh Ningrum.  Begitu pun juga dengan Toni, apa yang dikatakan istrinya sudah menyalahi aturan yang berlaku. Akan tetapi, Ningrum yang merasa tak mau jika dia hanya menolong Sekar tanpa imbalan. “Tolong, segera beri keputusan kepada kami, agar kami bisa segera melakukan tindakan,” seru dokter. “Apa saya bisa bertemu dengan Sekar sebentar, dokter.” “Bisa, tapi tidak lama-lama ya, karena kondisinya sudah semakin lemah.” “Hanya tiga menit.” Ningrum dengan cepat masuk ke dalam ruangan. Dia segera menemui wanita yang tak lain adalah saudara tirinya itu. “Sekar, kamu mau anakmu hidup atau mati?” Sekar yang melihat kedatangan Ningrum nampak sedikit bingung. Dia merasa apa yang dikatakan Ningrum membuatnya tak bisa tenang. Bahkan rasa sakit di perutnya pun semakin bertambah. “Sekar, cepat jawab. Atau kalau tidak anakmu bisa mati di dalam kandungan.” Sekar tak kuasa menahan sesak di dadanya. Dia sama sekali tak menginginkan jika darah dagingnya akan pergi begitu saja. Meskipun bayi itu harus terpaksa dikeluarkan meskipun belum waktunya. “Di-a harus selamat.” Sekar menjawab dengan nada terbata-bata. Mendengar jawaban itu. Ningrum pun begitu sangat gembira. Dia dengan cepat mengambil secarik kertas kosong yang tak sengaja ada di dalam tasnya. Ningrum menyodorkan bolpoin dan juga kertas itu ke arah Sekar. Meminta Sekar untuk tanda tangan di kertas kosong. Hal itu membuat Sekar tak mengerti dengan apa yang Ningrum maksud. Sekar hanya menahan perih di perutnya. “Sekar, cepat tanda tangan, supaya aku bisa menyuruh dokter untuk mengeluarkan anakmu, cepat. Kalau terlambat sedikit saja, anakmu akan mati.” Sekar sangat terpukul mendengar kata mati. Dia sama sekali tak menginginkan hal itu. Lalu Sekar segera meraih kertas dan bolpoin itu dengan susah payah. Ningrum pun membantunya, dia lalu menyuruh Sekar tanda tangan di pojok kanan bawah. Sekar pun menurut, tanpa berpikir macam-macam lagi. Toh kertas itu hanya kertas kosong tanpa tulisan. Beban yang ada di pikiran Sekar saat ini hanyalah anaknya yang harus diselamatkan. Setelah tanda tangan itu tercantum dalam selembar kertas. Ningrum pun pergi, dia meminta dokter untuk segera melakukan tindakan, Ningrum mengurusi semua berkas dengan cepat. Dan yang paling membahagiakan dirinya saat itu adalah, tanda tangan Sekar yang dengan mudah telah didapatnya. *** “Dimas, ibu kesepian tinggal di sini, tidak seperti di kampung.” “Sekarang kan kerja Dimas di sini, Bu. Kita tidak mungkin tinggal di kampung lagi.” “Setidaknya menikahlah, agar ibu di sini juga ada temannya.” Alih-alih permintaan sang ibu selalu saja menghiasi langkah Dimas. Dia hanya bisa diam dan sejurus wajah Sekar kembali menjadikan sebuah kerinduan yang teramat dalam. Masih ada cinta yang menggebu dalam hatinya. Hanya saja, takdir yang tak bisa mempersatukan mereka. Seperti apa pun Dimas berusaha, semua sudah kepalang tanggung. Nasi telah berubah menjadi bubur. Tak bisa diulang kembali. Kini Dimas dengan kehidupan barunya. Dia dipaksa oleh keadaan agar bisa melupakan sang istri yang sangat dicintainya itu. Tak ada pilihan yang saling membahagiakan. Kini Dimas harus merelakan cintanya hilang, terbawa angin yang berhembus dengan sepoinya. “Dimas, cari calon istri lagi. Kamu sudah tidak bisa kembali dengan Sekar.” Suara sang ibu kembali mengejutkan laki-laki yang berkulit putih dengan tubuh jangkung itu. kedua mata sipit Dimas berotasi, seolah dia sendiri masih belum yakin dengan keputusan yang ibunya berikan untuknya. Mencari calon istri lagi dan benar-benar melupakan istri sah. Sulit sekali untuk diwujudkan, namun tak ayal jika memang alam tak menghendaki Dimas dan Sekar berada dalam mahligai rumah tangga lagi. “Bu, Dimas ke apotek dulu ya, obat ibu sudah habis.” “Hati-hati.” Dimas mengendarai mobilnya karena hujan di luar sana begitu deras dan petir menyambar dengan begitu kerasnya. Dimas dengan cepat memanuver mobilnya dan menuju ke arah apotek langganannya itu. Untung saja, Dimas menyediakan payung di dalam mobilnya, setidaknya jika bajunya basah karena percikan air hujan, tak separah ketika payung itu tak digunakannya. Dimas segera menebus obat dari resep dokter. Kemudian tak lama penjaga apotek telah menyiapkan pesanannya Dimas. Saat Dimas akan membayar biaya dari obat itu, tiba-tiba saja dia melihat seorang wanita yang basa kuyup. Datang ke apotek dengan mimik wajah yang sepertinya diselimuti kepanikan. Dimas menatap wajah wanita itu dalam-dalam. Entah mengapa, dia seperti ingin tahu dengan apa yang terjadi pada wanita itu. Apalagi ketika Dimas tahu bahwa wanita itu tak cukup uang untuk membayar obat yang ditebusnya. Wanita itu terus memohon ke petugas apotek untuk diberikan keringanan. “Mas, bisa tidak saya tebus separo saja obatnya?” kata wanita yang basah kuyup dengan mimik wajah yang mengiba. “Maaf bu, tidak bisa.” “Kalau begitu apa boleh saya hutang dulu, besok akan saya bayar sisanya.” “Maaf bu, tetap tidak bisa.” Wanita itu semakin terlihat bingung, dia menatap wajah penjaga apotek dengan penuh harap. Keinginannya untuk membawa pulang obat itu pun di ambang pintu. “Mas, biar obat mbak ini saya yang bayar.” Dimas seperti pahlawan bagi wanita itu. Dia yang tak tega bila melihat air mata menetes di pipi wanita yang penuh dengan harapan. Dimas pun membayar semua obat yang dibeli wanita itu. Dengan senyum penuh terima kasih, wanita itu menatap Dimas dengan sangat haru. “Sekali lagi terima kasih mas, saya tidak tahu harus bilang apa lagi. Mungkin jika tidak ada Mas, anak saya bisa saja semakin parah sakitnya.” Wanita itu merengek dengan keluh kesah hidupnya. Saking terharunya membuat wanita itu tak bisa mengontrol emosinya. Dia bahkan meneteskan air mata dari balik kedua matanya itu. Dimas semakin tak tega dengan apa yang dilihatnya itu. “Mbak, saya antar pulang saja, ya.” “Tidak usah Mas, saya bisa jalan kaki. Permisi!” Wanita itu denga kegugupan yang menyelimutinya. Membuatnya segera berbalik badan dan akan melangkah untuk pergi. Namun, Dimas tak diam. Dia menarik salah satu tangan wanita itu dan seketika membuat langkah kaki wanita itu terhenti. “Mbak, di luar sedang hujang deras dan bahkan dihiasi petir. Biarkan saya antar, ya.” “Tapi saya tidak mau merepotkan lagi, mas sudah sangat berjasa untuk menebus obat anak saya.” “Saya tidak merasa direpotkan. Mari saya antar.” Dimas pun segera mengajak wanita itu melangkah ke mobilnya dengan hiasan satu payung yang melindungi kedua kepala mereka. Hanya saja, wanita itu merasa sangat canggung. Baju yang basah kuyup itu, membuat si wanita semakin tak enak hati. “Mas, baju saya basah.” “Tidak masalah, ayo masuk.” Wanita itu pun menurut dengan apa yang dikatakan Dimas. Dia segera masuk ke dalam mobil Dimas. Dan tak menunggu lama lagi, Dimas pun segera menyalakan mesin dan melajukan mobilnya dengan segera. Dimas yang melihat wanita itu seperti sedang kedinginan. Dimas pun kemudian melepas jas hitamnya dan memberikannya kepada wanita yang duduk di sampingnya itu. “Mbak, pakai saja ini, supaya tidak terlalu dingin.” Wanita itu pun segera meraih jas hujan dari tangan Dimas, sembari Dimas masih berkonsentrasi membawa mobilnya, wanita itu pun segera memakai jas pada tubuhnya. Rasa dingin memang tak bisa dihindari. Apalagi dia sudah basah kuyup sedari hujan baru saja turun membasahi bumi. “Rumahnya di mana, Mbak?” “Di Jalan Anggrek nomor 7 Mas.” “Tidak jauh dari sini, ya.” “Iya.” “Saya Dimas, nama mbak siapa?” “Hanum.” Wanita itu terus menundukkan kepanya. Entah apa yang kini menjadi beban dalam benaknya. Ada rasa tak enak, pun merasa sungkan karena telah merepotkan laki-laki yang baru saja dikenalnya itu. Tak lama, mobil Dimas pun berhenti di salah satu rumah yang nampak sangat sederhana. Dia pun mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa rumah yang ada di depannya itu adalah benar sesuai dengan alamat yang Hanum berikan kepadanya. “Sekali lagi terima kasih, Mas.” “Iya, Mbak. Semoga anaknya lekas sembuh ya.” “Terima kasih.” Hanum segera turun dari mobil Dimas. Dia berlari lintang pukang untuk menghindari air yang turun dari langit itu. Hanum dengan cepat menuju ke kamar anaknya, memberikan obat itu lalu dirinya segera bersih-bersih badannya. Sedangkan Dimas, sepanjang perjalanan menuju rumahnya. Pikirannya seolah tersita dengan apa yang baru dialaminya. Pertemuan dengan wanita bernama Hanum itu nampak memberikan kesan yang begitu berbeda. Hanya saja, Dima segera menepis akan pikirannya itu. Tak seharusnya Dimas memikirkan seorang wanita yang sudah memiliki anak dan siapa tahu jika Hanum juga sudah bersuami dan memiliki keluarga. Dimas mencoba mengalihkan pemikirannya. Dimas kini menyetel audio mobilnya. Mendengarkan lagu-lagu yang mengalun indah menusuk perasaan. Entah mengapa, Dimas semakin sulit untuk menghilangkan pikirannya tentang Hanum. Sepertinya wajah wanita itu terus saja menari-nari di atas kepalanya. Dimas tersenyum, seperti ada getaran yang tak mampu untuk dipastikan oleh dirinya sendiri. *** Sekar yang kini telah berjuang di ruang operasi. Dia harus segera menyelamatkan bayinya yang terpaksa harus dilahirkan secara prematur. Akibat benturan keras yang mengenai perutnya, kini Sekar harus menanggung akibatnya. Setelah semua proses persalinan selesai. Sekar harus kembali menerima kondisi pahit yang hadir dalam hidupnya. Dia masih belum bisa melihat sang bayi, dikarenakan kondisi organ bayi masih sangat riskan untuk berada si luar ruangan dengan suhu yang tidak mendukung. Bayi Sekar terpaksa harus berada di inkubator. Sekar dalam kerinduan. Dia sangat ingin memeluk dan memberikan air ASI pertama untuk bayinya. Akan tetapi Sekar harus menunda terlebih dahulu keinginannya itu. Dia harus bisa bersabar dengan apa yang menjadi keinginan terbesar dalam hidupnya. Sendiri dalam ruangan, Sekar dalam kesunyian. Dia sama sekali tak pernah mengira jika akan melahirkan secepat itu. Padahal Sekar belum melaksanakan acara tujuh bulanan untuk sang bayi. Dan ternyata Tuhan telah memberikan sebuah kejutan kepadanya terlebih dahulu. Dengan menghadirkan bayi mungil untuk berada dalam dekap tangannya. “Bu Sekar, saya tensi dulu, ya.” Suster datang dengan senyum mengembang. Dia begitu sangat hangat kepada pasien. Membuat Sekar pun merasakan kenyamanan dalam perawatan. “Sus, bayi saya bagaimana?” “Sementara masih berada di inkubator, Bu.” “Saya boleh lihat, sus?” “Bisa, tapi nunggu dokter periksa dulu ya, bu.” “Bayi saya laki-laki atau perempuan?” “Laki-laki Bu, pasti sangat mirip dengan ayahnya.” Sekar tersenyum mendengar jawaban suster. Bayangan wajah Dimas pun seolah memenuhi pikirannya. Sekar merasa tak sabar untuk bisa segera melihat sang bayi yang begitu amat didambakannya itu. Sekar terdiam dalam pemikirannya. Dia kini mencari nama untuk sang buah hati. Bayi laki-laki yang didambakannya itu harus segera memiliki nama. “Suster, aku ingin memberikan nama untuk anak saya, Sus.” “Tentu saja, Bu. Tadi pihak administrasi sempat menanyakan hal itu, mau diberi nama siapa bayinya, Bu?” “Raja Prasetya, Sus.” “Baik, nanti saya akan segera laporkan ke pihak yang mengurusi untuk diberikan nama tersebut ya, Bu.” Sekar tersenyum lebar. Dia benar-benar tak sabar untuk bisa segera menikmati sebuah dekapan untuk bayi yang begitu disanjungnya itu. Tak lama, suster yang sudah selesai menyelesaikan tugasnya itu pun segera keluar dari ruangan. Bersamaan dengan hadirnya Ningrum yang baru saja datang seorang diri, menatap Sekar dengan pandangan yang tak biasa. “Rum, terima kasih ya atas semua kebaikanmu.” “Kamu sudah pikirkan siapa nama anakmu?” “Sudah, namanya Raja, lengkapnya Raja Prasetya.” “Raja? Bukannya itu nama laki-laki?” “Ya, karena anakku laki-laki, Ningrum.” “Ngawur, anak kamu itu perempuan bukan laki-laki, Sekar.” Jawaban yang diberikan Ningrum semakin membuat Sekar bingung. Baru beberapa menit yang lalu suster memberitahukan kepadanya jika bayinya berjenis kelamin laki-laki. Namun, kini informasi tak selaras itu didapatnya dari Ningrum. Sekar pun hanya diam dan menatap Ningrum tanpa lepas. Seolah hatinya terus saja menilik dengan apa yang diragukannya. Sekar yang lemah itu tak bisa memutuskan untuk segera melihat secara langsung bayinya. Dia hanya tenggelam dengan sebuah informasi yang sangat menganggu benaknya. Sebenarnya laki-laki atau perempuan? . Sekar tak bisa menjawabnya lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN