Part 20 - Bayangan Kerinduan

1257 Kata
Tiga hari sudah Sekar kembali ke rumahnya. Dan selama tiga kali pula Fauzi berusaha untuk mendekati Sekar. Datang ke rumah Sekar dengan membawa bingkisan. Sekar pun berusaha bersikap manis. Tak seperti biasanya. Jika awal-awal Sekar selalu menghindar jika Fauzi sudah beradadi rumahnya. Namun kini, Sekar sudah mau menemui Fauzi meskipun hanya hitungan menit saja. “Sekar, apa kamu sudah siap?” “Siap apa?” “Membuka lembaran baru.” “Kurasa waktu yang nanti akan menjawabnya.” Fauzi terdiam tatkala Sekar menunjukkan jawaban yang seakan masih terasa ambigu. Dia yang sebenarnya sangat ingin jika pernikahan itu segera dihelat dalam waktu dekat. Sayangnya, Fauzi menjadi ragu dengan keputusan Sekar tentang sebuah pernikahan itu. “Mas Fauzi, mafkan aku. Aku masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus aku selesaikan.” “Baiklah Sekar, kalau begitu aku pamit, ya.” Sekar segera menuju ke belakang. Dia masih harus menggiling pakaian kotor yang ada di mesin cuci. Sekar yang masih sedikit merasakan ngilu di bagian perutnya. Hanya saja. Dia tak pedulikan itu semua. “Kenapa Fauzi cepat pulang?” “Mungkin masih ada urusan, Yah.” “Kamu tidak mengusirnya?” “Tidak.” “Bagaimana dengan rencana pernikahan kalian?” “Dan bagaimana dengan rencana kita, Yah?” “Apa maksudmu Sekar?” “Bertemu dengan Ningrum.” “Siang ini kita akan berangkat.” Sekar seolah tak mengira dengan jawaban yang dilontarkan ayahnya itu. dalam hatinya pun bersorak kegirangan. Sebelum dirinya menampakkan senyumnya yang seakan menggantang langit. Sekar seketika memeluk ayahnya. Kegembiraan yang tak bisa diukur dengan sesuatu apa pun. Semua hanya karena keinginannya bisa berjumpa dan mendekap darah dagingnya. *** Dimas tak menampik jika pikirannya terus saja tertuju pada Hanum. Entah mengapa dirinya tak bisa dengan mudah menepis bayangan perempuan itu. Lagi-lagi Dimas pun kembali mengingat akan pesan sang ibu. Dimas pun kemudian bertekad untuk mencari tahu tentang Hanum. Dia hanya ingin mawas diri dan menjaga perasaan siapa pun. Dimas yang kala itu berangkat pada rutinitas seperti biasanya. Dia yang harus menjalani pekerjaan demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Di tengah perjalanan dirinya nampak melihat seorang wanita yang sedang menuntun sepeda motornya. Dimas pun seolah terketuk hatinya untuk sekadar menawarkan bantuan. Dimas memeninggirkan mobilnya dan menjeda langkah perempuan yang sepertinya sedang mencari bengkel terdekat itu. “Mbak, motornya kenapa?” “Dimas.” “Hanum.” Pertemuan mereka ketiga kalinya yang tanpa disengaja. Membuat Dimas tersenyum dengan sikapnya yang begitu salah tingkah. Bibir Dimas terasa begitu kelu, kala melihat kedua sinar mata perempuan yang berada di depannya itu. “Kamu mau ke mana?” “Ke tempat kerja.” “Biar saya antar saja.” “Tidak Mas, merepotkan.” “Sama sekali tidak repot, biarkan sepeda motormu di sini, nanti akan ada seseorang yang mengurusnya.” Hanum nampa berpikir dengan diamnya. Dia merasa bingung dengan jawaban yang akan diberikannya kepada Dimas. Menatap penuh dengan keraguan. Tapi, Hanum pun seakan tak bisa diam terlalu lama. Dia harus segera memberikan keputusan, apalagi dengan waktu yang terus berjalan. “Bagaimana Hanum?” “Baiklah.” Dimas kemudian mengambil ponsel yang ada di sakunya. Dia nampak sedang menelepon seseorang. Setelah itu, Dimas pun mempersilakan Hanum untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Meski dengan diselimuti rasa yang sedikit gugup. Hanum pun segera masuk ke dalam mobil Dimas dan berharap dia bisa segera sampai ke tempat yang ditujunya. Dimas pun juga diiringi rasa gugup yang tak seperti biasanya. Padahal dia biasa menghadapi pelanggan wanita saat di bengkel. Hanya saja, kali ini semua terasa begitu berbeda. Bibir Dimas terasa begitu kelu, saat dirinya ingin memulai sebuah pembicaraan. “Hanum, mau aku antar ke kantor mana?” “Pasar Beringharjo.” “Mau belanja apa?” “Aku kerja di sana menjaga salah satu toko pakaian.” “Maaf.” “Tidak apa-apa, Mas.” “Sudah lama kerja di situ?” “Baru hari ini.” “Memangnya sebelumnya kamu kerja di mana?” “Aku admin di salah satu perusahaan swasta.” “Kalau boleh tahu, kenapa kamu pindah kerja di pasar?” “Perusahaanku bangkrut, dan aku harus segera mendapatkan pekerjaan baru.” “Kenapa harus di pasar? Maksudku begini, kamu kan ada basic di administrasi, kenapa tidak melamar di kantor lagi?” “Yang terpenting aku tak bisa nganggur dulu, anakku butuh makan, apa pun pekerjaannya yang terpenting adalah aku tetap memegang uang untuk memenuhi kebutuhanku.” “Apa kamu mau menjadi administrasi lagi?” “Maksudnya apa?” “Salah satu cabang bengkel yang aku kelola, adminnya sedang cuti mau lahiran, mungkin untuk sementara kamu bisa gantikan dia dulu, sembari nanti kamu cari kerja yang sesuai dengan basicmu.” “Kamu serius, Mas?” “Sangat serius, jika kamu bersedia. Aku akan membawamu ke tempatnya.” Hanum pun berhias senyum. Dia pun mengangguk dengan apa yang dikatakan Dimas kepadanya. Betapa bahagianya Hanum dengan informasi pekerjaan yang sangat sesuai dengan bidangnya. *** Sekar merasa tak sabar, dia yang kini pergi untuk ke rumah Ningrum. Harapannya untuk bisa bertemu dengan buah hatinya terbuka lebar. Bersama pak Surya, Sekar pun menjalani perjalanan dengan hati riang. Bahkan, saking ingin dirinya sampai dengan cepat ke rumah Ningrum. Sekar memilih untuk memejamkan matanya. Dia tertidur dengan sangat pulas di pundak sang ayah. Menit yang berubah menjadi jam. Waktu berputar dengan sangat cepat. Roda kendaraan itu pun membawa Sekar dan juga pak Surya berada di kota Yogyakarta. Kini terminal Giwangan sudah berada di depan mata. Pak Surya yang juga baru saja membuka mata itu, segera membangunkan Sekar yang masih terlelap dengan kepala yang masih bersandar di pundaknya. “Sekar, kita sudah sampai di terminal. Ayo bangun.” Perlahan Sekar pun memaksa untuk membuka matanya. Meskipun sebenarnya rasa kantuk itu begitu sangat melekat dalam dirinya. Sekar pun segera beranjak dari kursi bus yang membuatnya merasa dalam kenyamanan saat perjalanan. Sekar dan pak Surya pun berjalan beriringan. Rumah Ningrum yang terletak tak jauh dari terminal Giwangan. Membuat Pak Surya dan Sekar tidak menyewa kendaraan untuk mengantarkan mereka ke rumah Ningrum. Di hati Sekar, rasanya rasa rindu semakin menggebu. Dia sudah sangat ingin bertemu dan mendekap darah dagingnya sendiri. “Sekar, ayah haus. Beli minum dulu.” Sekar pun mengikuti langkah sang ayah. Bahkan sebenarnya Sekar pun terasa sangat lapar. Hanya saja keinginan untuk bertemu bayinya sangatlah kuat. Membuat Sekar seakan tak memperdulikan lagi melilit perutnya. Meskipun begitu, Sekar pun menjeda langkahnya. Menunggu sang ayah yang masih membayar minuman yang telah digenggamnya itu. Sekar pun kemudian menerima sebotol minuman dari sang ayah. Sekar meminumnya dengan cepat. Kembali berjalan untuk menuju ke rumah Ningrum. Senyum mengiringi langkah Sekar, dirinya bahkan mempercepat langkahnya, seakan sudah benar-benar tak sabar untuk bisa segera bertemu dengan bayinya. Setelah beberapa saat menahan lelah. Kini Pak Surya dan Sekar telah berada di depan pintu gerbang rumah Ningrum. Sekar pun tak berpikir lama, dia segera memencet bel rumah itu. Berharap jika Bibi Lastri akan segera keluar untuk membuka pintu gerbang rumah yang sangat mewah itu. Berkali-kali Sekar menggunakan bel itu untuk memanggil si pemilik rumah. Hanya saja, seperti tak ada pergerakan dari penghuni rumah untuk segera membuka pintu gerbang. Lalu Sekar pun menatap wajah sang ayah dengan jantungnya yang berdegup lebih kencang. “Yah, kenapa tidak ada yang buka pintu?” “Coba ayah telepon Sekar dulu.” Pak Surya mengambil ponsel di dalam tasnya. Lalu dengan cepat dia mencari kontak anak kandungnya itu. Mencoba menghubungi Ningrum, akan tetapi panggilan itu tak tersambung, sepertinya nomor Ningrum tak bisa dihubungi. “Sekar, nomor Ningrum tidak aktif.” Mendengar penjelasan sang ayah. Sekar menelan ludahnya, dia seperti kehilangan sedikit semangat, bayangan sang bayi yang teramat dirindukan itu, membuatnya merasa gundah gulana.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN