Part 19 - Penasaran

1087 Kata
Lamat-lamat kedua pandang mata Sekar berpacu dengan pandangan pak Surya. Ada geletar dalam benaknya yang tak mudah untuk dia katakan lagi. Bahkan yang paling membuat Sekar seolah senam jantung adalah rasa penasarannya dengan sebuah persyaratan yang akan diajukan oleh sang ayah itu. “Tinggallah di sini bersama Fauzi.” Seketika raut wajah Sekar pun berubah. Tak berhenti di situ saja derita yang harus dialaminya. Sekar terdiam cukup lama, sembari terus menatap wajah sang ayah yang sepertinya sudah sangat menunggu jawab dari Sekar. Pikiran Sekar berotasi, dia seolah ingin menuruti kata hatinya. Sekar dalam kebimbangan, yang ada di pikirannya sebenarnya adalah sang bayi. Tak ada yang lain. Sekar pulang hanya ingin jika sang ayah bisa membawanya pada Ningrum. Nyatanya, kini dia harus kembali menjalani sebuah drama yang harus segera diperankannya. Pikiran itu terus saja berkelana, sembari kedua pandang mata itu tak beralih ke yang lain. “Apa jawabanmu, Sekar?” “Ya, aku akan menikah dengan dia.” Pak Surya seolah tak percaya dengan apa yang Sekar katakan. Bahkan yang membuatnya tak yakin lagi, Sekar menjawab pertanyaan pak Surya dengan sangat lantang. Seperti tak ada keraguan sedikit pun dalam hatinya. Pak Surya nampak tersenyum lebar. Apa yang diinginkannya kini telah terjawab sudah. Anak perempuannya yang sudah digadang-gadang sejak lama untuk menikah dengan lelaki kaya raya, kini akan segera terwujud. Setelah itu, pak Surya pun nampak menyuruh Sekar masuk ke dalam rumah dan memintanya untuk segera membersihkan badannya. Pak Surya yang tidak ada makanan di rumah, dengan cepat dirinya segera berjalan ke warung sebelah. Membungkuskan nasi untuk Sekar. Kebahagiaan yang hanya berdasar sebuah jawaban. Kini menggelantung penuh harap dalam hatinya. Bayangan akan pernikahan sudah terbesit dalam gambaran pikiran pak Surya. Senyum simpulnya terasa begitu menggetarkan. Pak Surya seakan tak sabar untuk segera membicarakan hal pernikah dengan Fauzi. “Sekar, apa kamu sudah melahirkan?” “Iya, Yah. Dan bayiku ada bersama dengan Ningrum.” “Tidak apa-apa, biar Ningrum yang merawat bayimu, nanti kamu bisa mengandung anak lagi jika kamu sudah menikah dengan Fauzi.” Sesaat Sekar hanya diam mendengar ucapan ayahnya. Dia mengalihkan pandangan kedua matanya pada sepiring makanan yang ada di depannya. Menyantapnya perlahan, sembari bayangan sang bayi terus saja mengganggu pikirannya. “Sekar, kapan kamu siap untuk menikah dengan Fauzi?” “Setelah Sekar bertemu dengan bayi Sekar, yah.” “Apa maksudmu?” “Sekar hanya ingin bertemu saja, Yah. Setelah itu silakan ayah langsungkan pernikahan aku dan Mas Fauzi.” “Ya sudah, kapan kita ke rumah Ningrum.” “Terserah ayah saja.” *** Di hari libur, Dimas yang menghabiskan waktunya hanya di dalam rumah. Sang ibu memintanya untuk mengantarkan ke swalayan.  Dimas pun sama sekali tak menolak, namun kali ini sang ibu juga pergi di temani oleh bibi Lastri, yang tak lain adalah asisten rumah tangganya. Dimas mengemudikan mobilnya dan segera melaju menuju ke swalayan terdekat. Sayangnya kala itu, swalayan yang biasa digunakan tempat berbelanja Dimas sedang terjadi kebakaran. Sehingga membuat Diman untuk mencari alternatif swalayan yang lain. Dimas terus saja melajukan mobilnya itu. Hingga dirinya dengan cepat telah sampai ke salah satu swalayan yang letaknya memang sedikit jauh dari swalayan langgannya. Dimas tak memilih untuk turun. Dia tetap berada di dalam mobilnya untuk menunggu wanita yang dicintainya itu. Sang ibu dan juga Bibi Lastri telah berjalan untuk segera membeli keperluan rumah tangga yang dibutuhkan untuk satu bulan ke depan. Dimas kemudian menyalakan audio mobilnya. Dia mendengar lagu-lagu yang bisa menenangkan dirinya. Tak lama. Dimas yang baru saja mendengarkan satu lagu. Tiba-tiba saja dia harus merakan perut yang melilit. Dimas pun tak bisa diam saja. Dia segera keluar dari mobil dan ingin menuju ke toilet yang pastinya berada di dalam swalayan itu. Dimas yang kemudian dengan cepat melangkah dan segera menyelesaikan kenginan dirinya itu. Beberapa saat kemudian, setelah Dimas selesai dengan urusan perutnya. Dia melangkah untuk kembali ke mobilnya. Hanya saja ketika dia melewati beberapa barang yang ada di swalayan. Dia terkejut melihat seorang wanita yang beberapa waktu lalu pernah berjumpa dan berkenalan dengan dirinya. “Hai, Hanum.” “Dimas.” “Lagi belanja?” “Iya.” Dimas tampak menatap seorang anak laki-laki yang usianya mungkin sekitar delapan tahunan. Dia menggandeng tangan Hanum dengan sangat erat. “Dia anakmu?” “Iya, Dimas.” Anak laki-laki itu kemudian tampak merengek dan mengajak Hanum untuk segera pergi dari. Hanum pun mengikuti apa yang diinginkan oleh anaknya. Dia segera ke kasir dan membayar belanjaan yang telah dibelinya. Sedangkan Dimas, dia melanjutkan langkahnya untuk kembali ke mobil dan tetap menunggu sang ibu di dalam mobilnya. Dan tak sengaja, Dimas kembali menatap Hanum yang tengah menghentikan taksi yang lewat. Tatapan Dimas tak beralih, dia bahkan memandang Hanum hingga sosok wanita itu tak dapat lagi terjangkau oleh pandangan matanya. Dimas pun tak mengerti kenapa dirinya harus menatap Hanum dengan tatapan yang tak biasa. *** “Siapa wanita yang bertemu denganmu tadi di swalayan?” Suara sang ibu membelah malam yang terasa begitu dingin. Dimas yang sedang duduk di balkon kamarnya itu pun segera menoleh dan menatap wajah tenang sang ibu. “Ibu tahu tadi Dimas berbicara dengan seseorang?” “Ya, wanita itu cantik dan dia bersama seorang anak kecil, apa dia anaknya?” “Iya, dia anaknya Hanum.” “Jadi namanya Hanum. Sudah punya suami?” “Kalau sudah beranak pasti juga sudah punya suami kan, Bu?” “Kenapa suaminya tidak mengantarkannya ke swalayan dan membiarkan belanja sendiri, padahal kan hari libur.” “Dimas tidak tahu, Bu. Bahkan Dimas hanya mengenalnya karena ketidaksengajaan.” “Dekatilah dia, sepertinya dia hidup sendiri, Dimas.” “Tapi, Bu.” “Cobalah dulu cari informasi tentang wanita itu, kamu sudah waktunya untuk melupakan Sekar, ayahnya tak akan pernah merestui kalian. Percuma jika cinta harus dipertahankan, Dimas.” Dimas terdiam. Dia memang sadar, bahwa cintanya pada Sekar seperti terhalang dinding kaca. Bak bumi dengan langit. Sulit untuk kembali disandingkan. Dimas menatap wajah sang ibu yang seolah tersirat sebuah pengharapan tentang Hanum. Dimas hanya diam, dia tak bisa menjawab lagi perkataan ibunya. Tak lama, sang ibu nampak menguap dan mengeluh jika kantuk sudah datang dan wanita senja itu segera saja melangkah kembali ke kamarnya. Dimas dalam bayangan wajah Hanum yang terus saja meracuni pikirannya. Dua kali dia bertemu dengan wanita itu tanpa kesengajaan. Sepertinya, semesta memberikan sinyal kepada Dimas untuk bisa mengerti akan maksud yang belum diketahuinya. Sayangnya, wajah Sekar masih membius cinta yang ada dalam hatinya. Dimas ingin kembali. Tapi sepertinya keadaan secara telak telah menolaknya. Dimas pun tertidur, tanpa sengaja dalam tidurnya itu pun dia tampak melihat senyum Hanum yang berhasil menggetarkan seluruh tubuhnya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN