Part 21 - Menghilang Tanpa Kata

1626 Kata
Sekar cukup sabar menunggu di depan rumah Ningrum. Bahkan Sekar memberanikan diri untuk bertanya kepada tetangga Ningrum, tentang keberadaan sang adik itu. Hanya saja, beberapa tetangga mengatakan tak tahu menahu tentang keadaan Ningrum. Hal itu membuat Sekar semakin dilanda kebingungan. Sekar yang seakan sangat ingin bertemu dengan Ningrum, untuk bisa menatap sang bayi dan mendekap dalam impian yang sudah dirindukan itu. “Sekar, kalau begitu kita kembali pulang saja.” “Tidak, Yah. Aku akan menunggu Ningrum di sini, aku yakin pasti Ningrum akan pulang.” “Tapi ini sudah hampir malam, Sekar.” “Ayah tolonglah, aku ingin bertemu dengan Ningrum.” Pak Surya sudah mulai dilanda kegelisahan. Dia mengambil ponselnya lagi, kembali berusaha untuk menghubungi Ningrum. Akan tetapi jawaban yang sama kembali diterimanya. Ningrum sama sekali tak bisa dihubungi. “Ayah, coba telepon saja suami Ningrum.” Pak Surya pun mengikuti apa yang dkatakan Sekar. Dia segera menghubungi Toni. Sayangnya kondisi yang sama kembali didapat. Nomor ponsel Toni juga tak bisa dihubungi. Pak Surya hanya menggelengkan kepalanya, sembari menatap Sekar dengan wajah lelahnya itu. “Sekar, sepertinya Ningrum pergi ke luar kota, buktinya saja di rumah ini sepi.” “Yah, ijinkan aku untuk menunggu Ningrum di sini, ya.” “Tidak, lebih baik kita pulang saja.” “Yah, perjalanan ke rumah sangat jauh, aku ingin sekadar beristirahat sejenak di sini.” Pak Surya pun seakan memutar otak. Sepertinya dia setuju dengan apa yang Sekar katakan, bahwa perjalanan kembali pulang memang tak mudah untuk cepat ditempuh. Hingga akhirnya pak Surya pun memutuskan untuk mencari penginapan yang tak jauh dari kediaman Ningrum. Hal itu hanya untuk berjaga-jaga, jika besok mereka akan kembali untuk kembali ke rumah Ningrum. Dan akhirnya Sekar pun menyetujui dengan apa yang dikatakan sang ayah kepadanya. *** “Mas, kenapa pembantu baru kita belum juga datang, katanya kamu sudah minta ke agen?” Suara Ningrum menggelegar dengan sangat kerasnya. Di hadapan sang suaminya itu, dia meluapkan emosinya yang sangat lelah untuk mengurusi urusan rumah tangga. Tiba-tiba saja suara tangisan bayi itu kembali membuat telinga Ningrum terasa ingin pecah. Dia menjerit dengan keras, rasa lelah dengan segala keperluan dan kebutuhan sang bayi yang membuatnya merasa tak bisa bersantai dengan mudah. “Mas, bagaimana pun caranya, hari ini juga kamu harus mendapatkan asisten rumah tangga dan juga baby sitter untuk Pras.” “Kamu ini bisanya cuma marah-marah saja, lagian siapa yang menyuruh kamu mengambil anak itu, bikin susah!” “Hai Mas, jangan seenaknya kamu memarahiku, jika aku tidak mengambil anak itu mana mungkin kamu bisa memberiku anak, kamu sendiri kan mandul!” Mendengar ucapan itu. Toni naik darah dan tak sengaja dia menampar pipi sang istri dengan sangat keras. Bahkan emosi yang meluap-luap itu membuat Toni membanting pula gelas yang ada di atas meja. Dia tak peduli dengan perasaan Ningrum. Toni sudah sangat sakit hati dengan ucapan Ningrum yang seolah selalu menyalahkanya karena kondisi ketidaksuburan itu. Toni kemudian memilih pergi tanpa berkata-kata lagi. Sedangkan Ningrum, dia semakin merasa tertekan. Suara tangis bayi yang terdengar semakin keras dan seolah merusak gendang telinganya. Ningrum mneggerutu tanpa henti. Hingga dirinya berjalan menuju ke kamar bayi dengan perasaan kesal. Mengambil s**u di dalam botol itu dan segera memberikan pada sang bayi dengan tujuan Ningrum tak mendengar lagi suara tangis yang sangat mengganggu dirinya. *** Pagi-pagi betul. Sekar sudah keluar dari penginapan. Bahkan Sekar tak memberi tahu ayahnya terlebih dulu. Sekar pergi secara diam-diam. Dia hanya ingin bisa bertemu Ningrum dengan cepat. Asa yang digantungkan itu, semakin kuat ketika kekuatan cinta semakin tergenggam erat. Menunggu dengan berdiri dan menatap pintu pagar rumah Ningrum dengan harapan yang sangat besar. Tak lama, Sekar melihat sebuah mobil sedan berhenti tepat di depannya. Sekar tak mengenali mobil itu, meskipun begitu dia tetap saja berharap bahwa pengemudi mobil adalah Ningrum. Sesaat kemudian, seorang wanita cantik dengan rambut terurai panjang. Dia keluar dari mobil itu dan melangkah mendekat ke arah Sekar. “Maaf, Mbak siapa ya?” Sekar yang melihat wanita itu memegang kunci pagar rumah Ningrum dan terlihat sedang mengaplikasikan kunci itu untuk membuka pagar. Sesaat, wanita itu pun menoleh ke arah Sekar dan menatapnya lamat-lamat. “Harusnya saya yang tanya, Mbak yang siapa dan sedang apa berdiri di depan rumah saya.” Suara wanita itu begitu lantang. Sekar pun sempat terkejut dengan jawaban yang didengarnya itu. Sekar mencoba menatap wanita yang kini seolah menatapnya dengan tatapan nanar. “Maaf mbak, saya sedang menunggu pemilik rumah ini.” “Saya pemilik rumah ini, untuk apa menunggu saya?” “Mbak, tolong jangan bercanda, ini rumah adik saya, Ningrum.” “Rumah ini sudah saya beli satu minggu yang lalu.” “Apa?” “Saya minta kamu pergi dari rumah saya.” Sekar terdiam melihat wanita itu kembali ke mobilnya dan segera mengemudikan mobilnya untuk memasuki halaman rumah. Sekar menatap dengan rasa penasaran yang masih belum terjawab secara tuntas. Sekar tak bisa menerima dengan jawaban yang baginya masih terasa begitu ayal. Sekar berlari ke arah halaman sang wanita yang tak dikenalnya itu. Sekar hanya butuh kepastian yang tak meragukan lagi hatinya. “Mbak, tolong jelaskan pada saya, apa yang mbak katakan itu apakah benar?” Sekar menatap wanita itu dengan sejuta harap yang masih bersatu dengan segala mimpinya. Dia bahkan merendahkan suaranya, dia sangat ingin jika wanita itu mau dengan sukarela menjelaskan atas apa yang masih sulit dipercaya Sekar. “Apa lagi yang kamu tanyakan, ini sudah jadi rumahku. Cepat pergi!” “Mbak beli dari siapa rumah ini?” “Toni, puas kamu, cepat pergi!” Wanita itu mendorong tubuh Sekar hingga berhasil keluar pagar rumahnya. Setelah itu wanita pemilik rumah baru itu pun segera mengunci pintu pagar dan segera masuk ke dalam rumah. Sekar terhuyung dengan kenyataan yang membuatnya semakin rapuh. Kini dia tak tahu lagi kemana harus mencari Ningrum. Baginya harapan yang sudah digenggam dari rumah, nyatanya harus berakhir dengan kekecewaan. “Sekar, ayah mencarimu ke mana-mana, ternyata kamu di sini.” Suara sang ayah tba-tiba saja hadir di tengah kegelisahan Sekar. pak Surya pun nampak melihat raut wajah yang seperti sedang kebingungan di depan matanya itu. Sekar tak menjawab kata-kata sang ayah. Dia hanya sibuk berpikir dengan beberapa hal yang tak mudah untuk digambarkannya. “Sekar, apa kamu sudah bertemu Ningrum?” “Tidak, Yah. Baru saja Sekar bertemu dengan seorang wanita, dia bilang jika telah membeli rumah ini dari Toni. Jadi secara tidak langsung, Ningrum telah menjual rumah ini, Yah.” “Apa?” “Yah, coba hubungi kembali Ningrum atau Toni, tanyakan apa benar kabar yang baru saja Sekar dengar itu.” Pak Surya langsung mengambil ponselnya, dia bahkan tak merespon lagi kata-kata Sekar. Fokus dengan kontak Ningrum, melakukan panggilan dengan segera. Nyatanya hal yang sama seperti kemarin. Tak ada yang diangkat panggilan telepon itu, meski nomor Toni pun sama. “Bagaimana, Yah?” “Tetap sama, nomornya tidak ada yang bisa dihubungi.” Seketika Sekar merasa tubuhnya lemas. Dia seperti kehilangan semangat untuk bisa memperjuangkan cintanya itu. Sekar terduduk kaku, pikirannya berkelana ke mana-mana. “Sekar, sekarang juga kita pulang. Percuma juga kita menunggu di sini, Ningrum juga tidak bisa dihubungi.” Kata-kata yang dikeluarkan pak Surya semakin membuat Sekar goyah. Seketika bayangan akan Fauzi berkelibat di kedua bola matanya. Sekar yakin, jika dirinya pulang. Maka pernikahan itu pun akan segera dilangsungkan. “Sekar, ayo kemasi barangmu di penginapan. Kita akan pulang sekarang juga!” Sekar berdiri dan mencoba membawa tubuhnya untuk kembali ke penginapan untuk berkemas. Jiwa Sekar seolah hampa. Asa yang dirajut kini harus runtuh dengan begitu mudahnya. Sekar yang hanya menatap dengan pandangan kosong, namun pikirannya terasa bercabang-cabang. Pak Surya terus saja meminta Sekar untuk segera melangkah lebih cepat. Agar kepulangan itu tak ditunda lagi. *** Sebuah kendaraan umum bernama bus itu, kini telah berada di depan tatapan mata Sekar. Pak Surya masuk terlebih dulu, lalu baru disusul oleh Sekar. Tak ada pembicaraan apa pun yang terlontar dari bibir Sekar. Hanya kediaman yang menemani. Sekar duduk bersama sang ayah. Pak Catur mengambil posisi duduk di dekat jendela kaca. Sedangkan Sekar berada di sampingnya. Setelah penumpang dirasa sudah cukup memadai, sang sopir pun segera menggerakkan kedua tangannya untuk melajukan kendaraan besar itu. Saat perjalanan baru saja sekitar satu kilo meter. Sekar melihat sang ayah telah tertidur pulas. Bahkan Sekar pun mendengar suara dengkuran yang begitu keras di telinganya. Sekar menatap ke depan dan samping kanan. Seperti ada bisikan yang membuat Sekar terus saja menggunakan akal pikirnya untuk berkelana dan terbang ke sana kemari. Sekar lalu melihat ke arah sang ayah. Ada guratan rasa yang tak mudah untuk dijelaskan. *** Perjalanan kendaraan yang penuh akan penumpang itu, membuat pak surya terbangun karena suara musik yang begitu kencang. Pak Surya membenarkan posisi duduknya yang kurang beraturan. Tiba-tiba saja pak Surya menoleh ke samping kanannya. Pak Surya pun nampak terkejut. Dia tak mendapati Sekar di smapingnya. Bahkan kini laki-laki bertopi itu telah menggantikan posisi duduk Sekar. Pak Surya pun berdiri dan menggunakan kedua matanya untuk mencari sosok sang putri yang tak bersa di sampingnya itu. “Sekar, kamu ke mana? Sekar.” Pak Surya terus saja menatap satu persatu penumpang. Dengan terus memanggil nama Sekar berkali-kali, hal itu membuat penumpang dan juga kernet bus bertanya-tanya akan apa yang terjadi dengan penumpang yang duduk di sebelah kaca itu, yang tak lain adalah pak Surya. “Ada apa Pak?” “Kemana putriku yang duduk di sini?” Beberapa penumpang saling memandang dan mencari jawaban akan apa yang ditanyakan pak Surya. Kemudian sang kernet itu mendekat ke arah pak Surya, menatapnya penuh tajam. “Wanita yang duduk bersama bapak, sudah turun sekitar satu jam yang lalu.” “Apa?! kalau begitu turunkan saya di sini.” “Tidak bisa, Pak. Kita sedang berada di jalan tol.” Pak Surya tertohok dengan apa yang didengarnya itu. Pikirannya terasa keruh. Hingga tak tahu apa yang akan dilakukan setelah itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN