Part 17 - Terpisahkan

1680 Kata
Sekar yang dilanda kebingungan atas apa yang dikatakan Ningrum kepadanya. Bahkan dia sangat berharap bisa bertemu kembali dengan suster. Sekar ingin menanyakan kebenaran akan jenis kelamin anaknya. Perempuan atau laki-laki memang tak ada masalah baginya. Hanya saja, Sekar pun ingin mengetahui kejelasan yang sebenar-benarnya. Maklum saja, selama hamil Sekar belum pernah melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin sang anak. Hanya saja, Sekar yang nampak gundah gulana jika dirinya belum bisa mendekap bayinya sendiri. Benaknya terasa dipenuhi dengan sesak yang tak mudah untuk diungkapkan. “Sekar, bayimu harus menerima perawatan intensif, sedangkan kamu bisa pulang.” “Tapi aku ingin bertemu bayiku dulu, Rum.” “Kita bisa datang besok, biaya kamar ini perhari sangat mahal.” “Tapi Rum.” Ningrum terus saja mendesak Sekar agar bisa diajak pulang. Ningrum bersama asisten rumah tangganya itu pun bersiap untuk membawa Sekar untuk segera keluar dari rumah sakit. Hal itu membuat Sekar semakin tak nyaman. Apalagi dia sama sekali belum bertemu dengan bayinya. Sekar semakin tak tenang, dia berusaha untuk melakukan negosiasi kepada Ningrum agar tak membawanya cepat pulang. “Rum, tolong biarkan aku sehari saja di sini, ya.” “Sekar, jangan buat aku marah. Seluruh biaya persalinanmu ini tak murah, dan kamu masih saja ingin berada di sini untuk menghabiskan uangku.” “Ningrum, sebelumnya terima kasih, kamu telah membantuku. Tapi ijinkanlah aku untuk bisa bertemu dengan anakku, sebentar saja.” “Anakmu tidak bisa ditemui, Sekar. Sudahlah jangan banyak membantah. Ayo ikut aku.” “Rum, aku akan bayar semua biaya yang telah engkau keluarkan untukku, aku mohon biarkan aku di sini dulu menemani bayiku.” Sekar yang terus meminta agar Ningrum menuruti satu keinginannya. Hanya saja Ningrum tetap bersikukuh untuk mengajak Sekar pulang. Bahkan Ningrum mendekap tubuh Sekar dengan sangat kuat. Dia tak mau jka Sekar akan melarikan diri dari dekapannya itu. Sekar seperti diborgol. Dia tak bisa banyak bergerak. Apalagi jahitan di perutnya membuat Sekar tak mudah untuk bisa bereksplorasi. Ningrum mengajak Sekar untuk melangkah lebih cepat. Sekar yang sangat lemah itu hingga akhirnya mengeluh tak sanggup lagi untuk berjalan. Ningrum mengambil kursi roda. Dia tak peduli dengan banyak orang yang melihatnya. Tiba-tiba saja, Sekar berteriak dan terus meminta agar dirinya tak ingin pulang. Sejurus Ningrum pun membawa Sekar kembali ke kamar. Dia tak mau jika ada yang merasa curiga dengan kepulangan Sekar. Meskipun sebenarnya, Ningrum telah membuat sebuah pernyataan palsu jika keluarga Sekar meminta Sekar untuk dirawat di rumah, karena keluarga sudah memilih dokter khusus untuk mengawasi Sekar. Pihak rumah sakit pun sebenarnya tidak menyarankan jika Sekar dibawa pulang begitu cepat. Namun, Ningrum yang sangat pandai berargumentasi itu pun membuat dokter akhirnya menyetujui jika Sekar berada dalam pengawasan keluarganya langsung. “Ningrum tolong jangan lakukan ini.” Suara Sekar lirih dan mencoba untuk tetap meminta Ningrum untuk kembali memikirkan keputusan yang sudah diambilnya itu. Sayangnya Ningrum sudah bertekad bulat dan akan tetap memaksakan kehendanya. Ningrum mengambil selembar kain yang dikeluarkan dari dalam tasnya. Dia mendekat ke arah Sekar dan dengan cepat dia menggunakan kain itu untuk membius Sekar. Seketika Sekar pun tak berdaya, tubuhnya lemah. Terkapar dan tak bisa melakukan apa pun. Ningrum tetap saja membawa Sekar keluar rumah sakit. Bersama asisten rumah tangganya itu, Ningrum pun berhasil dengan segala usaha yang telah dilakoninya. Sedangkan Sekar telah jatuh pingsan. Tak ada lagi kesadaran pada wanita itu. Dengan bantuan kursi roda, dengan mudah Ningrum membawa Sekar pulang. Tak ada yang mengetahui jika Sekar pingsan. Ningrum begitu cerdik, dia menggunakan tudung untuk menutupi wajah Sekar. Dan Ningrum pun menundukkan wajah Sekar, menaruh ponsel di depannya yang berisi sebuah film yang sedang dimainkan. Semua orang pasti akan menganggap jika pasien yang tak lain adalah Sekar itu, sedang menunduk dengan bermain ponsel. Maka hal itu membuat semua orang terbuai dengan tipuan yang sudah direncanakan Ningrum. Sekar meringkuk di jok belakang dan kedua matanya terpejam dengan begitu pulasnya. Seketika Ningrum yang melihat Sekar dari spion mobilnya itu nampak tersenyum. Dia lalu membelokkan setirnya, sang asisten rumah tangga pun merasa aneh dengan jalan yang dipilih oleh majikannya itu. “Kenapa Bi?” “Kita mau kemana?” “Jangan banyak tanya, diam!” Asisten rumah tangga itu pun hanya bisa diam. Dia tak berani bertanya lagi pada majikannya itu. Sembari menatap jalanan yang dilaluinya itu sama sekali tak dikenalnya, yang jelas jalan itu bukanlah jalan untuk menuju ke rumah si majikan. ***   “Siapa nama anakmu, Sekar?” “Namanya Raja, Yah.” “Mana mungkin perempuan diberi nama Raja.” “Tapi anakku laki-laki, Yah. Bukan perempuan.” “Tapi menurut ayah dia adalah perempuan, Sekar.” “Tidak, Yah. Anak Sekar laki-laki.” “Sekar, kasihan anakmu. Dia menjadi bualan tetangga. Bahkan banyak yang mengatakan jika dia adalah anak haram” Sekar kemudian menangis. Kepiluan itu hadir di tengah-tengah kebahagiaannya. Bayi yang begitu teramat disayanginya kini harus menerima sebuah hujatan dari para tetangga. Ketidakberadaan sang ayah yang membuat bayi itu seperti yatim. “Sekar, anaknya lahir tanpa ayah, ya.” “Iya, Sekar. Di mana ayah bayimu?” “Apa Dimas sudah benar-benar melupakan istri dan juga bayinya?” Hujatan itu didengar Sekar begitu sangat menyesakkan dadanya. Tak pernah berpiki jika dirinya akan berada di fase yang sangat membuat hidupnya seakan gelap. “Tidaaaaaak...” Sekar berteriak begitu sangat kencang. Dia ternyata telah bermimpi buruk. Peluh menghiasi dahinya. Napasnya pun seketika terengah-engah. Ternyata semua hinaan yang ada dalam benaknya itu hanyalah sebuah ilusi yang datang dalam mimpinya. Sekar membuang napas panjang. Sembari mengusap peluh yang sangat terasa di dahinya itu. Sekar lalu melihat disekelilingnya. Sebuah ruangan yang sama sekali tak pernah dikenali sebelumnya. Sekar menatap dari sudut ke sudut. Beberapa pertanyaan pun berkecamuk dalam pikirannya. Dia tak tahu ada di mana sekarang. Sekar ingin berdiri dan beranjak untuk melihat keluar kamar. Namun, dia merasa jika tubuhnya terlalu lemah sekali. Sekar tak bisa berbuat apa-apa. Dia membiarkan tubuhnya untuk tetap berbaring. Sembari mengumpulkan tenaga yang terasa hilang begitu saja. Beberapa menit kemudian, Sekar pun merasa tubunya lumayan segar daripada sebelumnya. Dengan cepat, Sekar pun segera mencoba untuk memaksakan tubuhnya bergerak. Dia tak mau diselimuti rasa penasaran yang bertubi-tubi. Bahkan Sekar sangat berharap jika bisa segera bertemu dengan bayinya, bahkan di dalam mimpi buruknya itu, Sekar yang sama sekali tak mendapatkan kesempatan menatap wajah sang bayi. Dia hanya mengatakan jika bayinya adalah laki-laki, namun Sekar tak dapat membuktikan atas ucapannya itu. Melangkah dengan pelan dan sangat hati-hati. Sekar segera membuka pintu. Dia menahan tubuhnya yang masih terlihat begitu lemas. Namun, dia tetap ingin tahu di mana dia berada. Sekar tak sanggup melanjutkan langkahnya. Dia benar-benar menahan rasa nyeri di bagian perutnya. Lalu Sekar memilih untuk duduk di sebuah kursi yang tak jauh dari kamar yang telah memberikan sedikit kenyamanan dalam beristirahat. Sekar lalu menatap sebungkus nasi yang berada di meja depannya itu. Sekar seperti menaruh kecurigaan dengan apa yang dilihatnya. Dia menatap sekeliling ruangan yang sepertinya tak ada siapa pun di dalam rumah. “Ningrum ... Bibi ...” Sekar terus saja memanggil dua nama itu. Namun, berkali-kali Sekar terus dalam panggilan yang sama. Tak ada satu pun yang menjawab akan panggilannya itu. Meskipun begitu, Sekar tetap saja berteriak dengan panggilan yang sama. Ketika dia sudah mulai lelah. Sekar yang merasa tak ada daya lagi untuk mengeluarkan tenaganya. Sekar memilih untuk diam dan membuka makanan yang berada di depannya itu. Sekar menyantap segera sebungkus nasi dan melahapnya. Setelah selesai dengan sebungus nasi yang tak bersisa. Sekar pun seperti mendapatkan suntikan tenaga. Dia berusaha untuk berdiri dan melangkah untuk mencari bantuan. Ruangan demi ruangan menjadi pijakan kaki Sekar. Hanya saja, dia sama sekali tak menemukan siapa pun di rumah asing yang kini ditempatinya. Sekar merasa tak kuat dengan tubuhnya sendiri. Kepalanya tiba-tiba terasa begitu pening. Sekar pun memutuskan untuk kembali beristirahat. Dia menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal. Lalu Sekar kembali tertidur pulas. *** Pagi menyapa, Sekar kembali membuka kedua matanya setelah dia merasakan sinar mentari yang menerobos kamar dari ventilasi jendela. Sekar pun merasa tubuhnya lebih baik daripada semalam. Sekar menyelingkap selimutnya, pergi ke kamar mandi. Setelah merasa tubuhnya segar. Kini Sekar tak mau berdiam diri lama-lama lagi. Dia teringat akan bayinya, Sekar pun dengan cepat segera membuka pintu kamarnya. Dia mencari Ningrum, agar Sekar bisa meminta tolong agar Ningrum mau mengantarkannya menuju ke rumah sakit. Hanya saja, saat Sekar membuka pintu kamarnya. Dia ,elihat sosok wanita yang terlihat sedang membersihkan piring bekas yang digunakan untuk makan semalam. “Bu, ibu siapa?” tanya Sekar. “Saya petugas kebersihan di penginapan ini.” “Penginapan?” Sekar seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya. Sekar pun semakin bingung dengan keberadaannya di rumah asing itu. “Bu, apa ibu tahu di mana Ningrum?” “Ningrum siapa? Maaf saya tidak kenal.” “Ibu tahu siapa yang membawa saya kemari?” “Tidak, yang saya tahu mbak harus segera keluar dari penginapan, karena penyewa hanya menyewa satu malam saja.” Sekar kembali terkejut dengan peryataan dari seorang wanita yang masih saja fokus dengan alat kebersihannya. Sekar pun tak banyak bicara lagi, dia memilih untuk keluar dengan cepat. Sekar ingin menuju ke rumah sakit. Dia sangat ingin bertemu dengan sang bayi. Saat Sekar keluar rumah. Dia benar-benar tidak tahu kemana dirinya harus melangkah. Dia sama sekali belum pernah memijakkan kakinya di sebuah tempat yang begitu asing. Sekar mencoba untuk berjalan menyusuri jalan raya. Hingga dirinya melihat sebuah bangunan yang menjadi ikon yang begitu sangat terkenal. Sebuah tugu yang begitu sangat bersejarah. Tugu pahlawan yang ada di kota Surabaya menandakan bahwa kini Sekar sedang berada di kota pahlawan. Sekar pun sepertinya merasa jika semua ini adalah ulah Sekar. Seperti mimpi rasanya, Sekar yang semalam berada di Jogjakarta kini tiba-tiba dirinya berada di kota yang membuatnya seperti dalam negeri dongeng. Sekar tak tahu harus bagaimana dirinya menghadapi sebuah kenyataan yang membuat dirinya serasa dalam kubangan jurang. Di kota itu, Sekar sama sekali tak mengenal siapa pun. Sekar hanya duduk diam. Sembari pandangan matanya tertoreh jauh ke ujung mata. Sekar dalam kebingungan yang melanda, dia masih bertanya-tanya akan kemana dirinya melangkah. Kedua mata Sekar berkaca-kaca. Lalu air matanya pun membuatnya harus merasakan kesedihan kembali. Pikirannya terganggu dengan bayangan tangisan bayi. Sekar semakin terisak, sungguh dadanya terasa begitu sesak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN