Demi apapun, aku benar-benar menginginkan seluruh keindahan pada tubuhmu. Auramu memagut erat jiwaku, siapakah kau jika bayangan bidadari terindah tenggelam oleh pesonamu?
--------- Bima Sakti Laksono ----------
Pesawat yang ditumpangi oleh Bima dan rombongan mendarat di Negara tetangga, keputusan ini diambil agar kedatangan mereka tidak terdeteksi oleh keluarga Veronika. Di sana telah siap mobil yang akan membawa mereka ke Montaya melalui jalur darat yang bisa di tempuh selama dua jam. Hal ini pun membuat Bima semakin merasa gelisah karena harus membuang waktu banyak hanya dalam perjalanan.
Bima dijemput langsung oleh ketua underground, menggunakan mobil sederhana, mobil yang diistilahkan untuk sejuta umat, hal ini sangat penting agar bisa menyamarkan kedatangan Bima dan rombongan di ibu kota Montaya.
Mereka tidak membahas apapun selama dalam perjalanan tersebut, kecuali pembicaraan umum mengenai pekerjaan dan perkembangan kota. Kewaspadaan dan kehati-hatian harus dilakukan, mengantisipasi kebocoran info penting.
Berkat Parish, ketua underground itu, mereka bisa melewati perbatasan yang dijaga ketat, tanpa pemeriksaan terhadap orang-orang maupun barang yang dibawa.
Dengan mulus, mobil yang membawa rombongan memasuki pelataran parkir sebuah hotel sederhana. Tampak dari luar, hotel tersebut adalah hotel tua dengan cat terkelupas di sana sini, biaya menginap untuk umum di hotel tersebut tentu saja murah dan okupansinya bisa mencapai sembilan puluh persen.
Mobil rombongan membawa mereka kebagian belakang hotel lalu berhenti tepat di depan pintu yang terhubung dengan tangga. Rupanya tangga yang terlihat dari luar tersebut hanya sebuah kamuflase. Itu adalah tangga palsu yang undakannya tepat berhenti pada sudut plafon.
Parish membawa tamunya masuk melalui pintu tembok tipuan. Tembok itu bergeser saat di dorong, mereka dibawa masuk ke dalam, tampak empat buah meja bilyar di ruangan itu, tapi tidak terlihat satu orang pun di sana. Di seberang mereka, ada pintu lagi dan kali ini, pintu tersebut menuju tangga yang sebenarnya. Hotel itu terdiri dari dua lantai, lantai pertama kamar-kamarnya disewakan untuk umum, lantai dua yang berdisain mewah tidak disewakan untuk umum, terdiri dari enam ruang kamar bertipe suites di mana setiap unitnya memiliki dua buah kamar.
Disanalah Bima ditempatkan dan meskipun Parish menyediakan ruang tersebut secara cuma-cuma, tapi Bima menyuntikkan dana segar untuk bisinis pembangunan pasar modern yang sedang digarap oleh Parish.
Di ruang Suitenya, Bima hanya menghuni berdua dengan sang asisten, Dodo. Linda dan staff menempati satu suite, begitupun para pengawal yang membutuhkan dua suites.
Indra, kepala pengawal Andrea dengan tiga orang anak buahnya, telah menempati suite di sana dari dua hari yang lalu. Mereka langsung bekerja, memasang beberapa peralatan di suite Bima, agar bos mereka bisa mendapatkan berita atau informasi dengan cepat.
Hari ini sudah dijadwalkan, Bima akan dipertemukan dengan seorang pelayan yang telah disuap oleh Indra, pada saat pelayan tersebut bebas tugas jam tujuh pagi. Indra telah mengumpulkan data mengenai kehidupan sang pelayan, untuk berjaga-jaga kalau-kalau pelayan itu menolak kerjasama atau membelot dari mereka.
Tempat pertemuan telah ditentukan yaitu di supermarket di mana pelayan itu akan berbelanja untuk kebutuhan di rumahnya. Supermarket itu sendiri terletak di bagian kiri sebuah mal yang buka pada pukul sepuluh pagi, sementara supermarket yang terhubung dengan tempat parkir, buka dua jam sebelumnya.
Telah berjejer penjual makanan di pelataran supermarket tersebut, Bima dan Indra duduk di salah satu yang menjual bubur campur, makanan khas Montaya, terdiri dari hancuran nasi dengan sembilan jenis sayur berbumbu santan kuning, ditaburi bawang putih goreng dan beberapa potong kerupuk bawang.
Sambil menikmati sarapan buburnya, Bima mengedarkan pandangan ke sekitar. Para pengawalnya telah berpencar di sekitar mal, tentu saja ada yang stand by di dekat Bima, duduk di meja pada kios makanan yang lain, hanya memesan secangkir kopi saja.
Tidak lama, seorang wanita berumur tiga puluhan datang menghampiri sebuah kios makanan ringan dan minuman. Ia duduk disana seraya celingukan mencari orang yang membuat janji dengannya. Bima dan Indra memperhatikan dengan cermat. Mereka membiarkan wanita itu beberapa saat, sambil menunggu aba-aba dari orang-orang di lapangan yang berpencar itu.
Wanita tersebut telah mendapatkan perintah palse dari Indra untuk menunggu di tempat yang sekarang ia duduki. Terdengar suara dari walkie talkie pada saku jas Indra bersahutan, "Clear. Clear. Clear ...."
Indra memberi tanda kepada anak buahnya agar menjemput wanita tersebut dan membawanya kehadapan mereka. Sementara, Bima berpindah tempat duduk pada posisi yang tidak terlihat dari luar.
Setelah wanita tersebut duduk, dan terlihat seperti sedang duduk berhadapan dengan Indra saja, Bima menegurnya, "Siapa namanu?" tanya Bima.
"Maia, Tuan," jawabnya pendek. Dari sorot matanya tampak ia familiar dengan potongan raut wajah Bima.
"Maia, putrimu sangat cantik, sayangnya ia membutuhkan biaya yang sangat besar akibat gagal ginjal akut, tapi itu bisa disembuhkan dengan biaya yang sangat tinggi dan bukan di Montaya, kamu harus berobat di luar negeri." Tatapan mata Bima menelisik mimik wajah wanita itu.
"Ja ... jadi, kalau di sini tidak akan sembuh, Tuan?" Air mata menggenang di kedua bola mata Maia.
"Saya bisa membiayai semuanya, termasuk menggajimu tiga kali lipat dari gaji yang kamu terima sekarang dan kamu tetap bekerja pada keluarga itu," ujar Bima sambil terus membaca raut wajah Maia.
"Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" Maia mulai menundukkan wajahnya untuk menghapus tetesan air mata yang turun ke pipinya.
"Saat ini, kamu hanya butuh menyelundupkan benda kecil ke kamar nyonya Andrea, bisa?" tanya Bima dengan nada rendah, menahan seluruh perasaan gundahnya mengingat Andrea.
"Bisa Tuan, saat saya membersihkan kamarnya itu setiap sore, Tuan," sahut Maia.
"Baiklah, setelah saya mendapatkan hasilnya, anakmu akan dipersiapkan untuk berobat di luar negeri. Utuslah seseorang yang bisa mendampingi putrimu," tutur Bima seraya bangkit dan berlalu dari sana, menuju mobil yang sedang terparkir di bagian belakang gedung tersebut.
Indra menatap tajam kepada Maia, setelah terlihat bercakap-cakap sebentar, lalu mempersilakan Maia untuk beranjak dari sana dengan memberikan amplop kecil kepadanya. Amplop berisi lembaran uang untuk wanita itu berbelanja kebutuhannya.
Anak buah Indra menyisir tempat tersebut setelah bos bos mereka meninggalkan area, memastikan bahwa semunya aman dan satu orang ditempatkan untuk mengawal Maia tanpa sepengetahuan Maia, mengantisipasi gerakan kalau-kalau wanita itu dibuntuti oleh pihak keluarga Veronika karena dicurigai. Semuanya harus dalam kondisi 'Clear' agar rencana bisa berjalan mulus.
Indra akan menemui Maia saat ia dalam perjalanan menuju kediaman keluarga Veronika untuk kembali bekerja jam empat sore di sebuah bis. Ia akan menaiki bis dari pemberhentian selanjutnya setelah melihat Maia berada di dalam bis. Untuk itu telah diatur pula, Maya harus mendapatkan tempat duduk dibelakang sopir dengan membayar dua seat sekaligus. Maia paham dengan instruksi itu, ia akan berada lebih dulu dari penumpang lainnya, berarti dari jam tiga ia sudah harus berada di dalam bis tersebut.
Tanpa Maia ketahui bahwa tidak seharusnya ia begitu repot mengatur semua karena ada pengawal yang membuntuti dirinya yang terus menerus melakukan komunikasi dengan atasannya, Indra. Hanya saja kerepotan itu harus diciptakan untuk menjebak kelengahan Maia, seandainya ia dibuntuti pihak lawan atau dia sendiri yang membelot dari perintahnya, akan lebih cepat ketahuan dan melakukan tindakan selanjutnya.
Namun, wanita single parent tersebut sangat serius menjalani tugasnya demi si buah hati yang harus melakukan cuci darah tiap pekan. Terbayang olehnya saat melakukan cuci darah tersebut, setiap tiga puluh menit harus dihentikan karena putrinya sangat kesakitan. Buruknya fasilitas rumah sakit di Montaya dikarenakan lebih murah dengan fasilitas komplit bagi orang-orang untuk berobat di negara tetangga.
Beberapa rumah sakit yang ada, hanya bertahan untuk orang-orang yang kurang mampu di kota itu. Peralatan cuci darah di sana, tidak ada untuk anak-anak, sehingga terpaksa putrinya memakai peralatan untuk orang dewasa yang sangat menyakitkan baginya. Hal itulah yang membuat Maia akan melakukan apapun demi sang putri yang baru berusia sepuluh tahun itu.
Sementara Bima sudah berada di lokasi underground, menemui Parish untuk membicarakan beberapa alat dan membeli senjata ilegal darinya. Selanjutnya, Parish membawa Bima ke pinggir pantai untuk menjamu tamu istimewanya berjarak enam puluh kilometer dari Ibu kota Montaya. Mereka akan menyantap ikan-ikan laut yang segar di sebuah restoran bergaya khas daerah Montaya.
Sementara menunggu pesanan, Bima beranjak dari kursinya, tertarik untuk menelusuri pantai berpasir putih dengan kaki telanjangnya. Seharusnya siang itu sangat terik, tapi mendung menggelayut pada langit menutupi cahaya matahari dan menghentikan hembusan angin kencang yang biasa menjadi sahabat pantai.
Udara terasa lembab sekaligus kering, menjebak butiran keringat seakan malu-malu untuk menampakkan dirinya melalui pori-pori kulit. Rasanya panas dan pengap. Bima berjalan perlahan, merasakan butiran pasir halus pada sela-sela jemari kakinya dengan kepala menunduk. Tiba-tiba, pada pasir dihadapan kakinya ia melihat sepasang kaki indah yang mulus sedang berdiri tanpa bergerak menghadap ke arah laut.
Deg, deg.
Bima menghentikan langkahnya sementara matanya enggan berpaling dari kaki tersebut, tapi ia harus melihat secara keseluruhan dari orang yang berada di depannya itu, karena dia telah menghalangi jalannya.
Kedua bola mata Bima mulai mengangkat ke atas, menyapu secara perlahan dari ujung kaki, betis dengan tungkai yang panjang, paha, pinggul yang berlekuk, d**a yang membusung indah, rambut ikal di pinggang, leher jenjang dan sebuah wajah dari samping dengan kaca mata hitam bertengger pada hidung mancung, serta topi anyaman rotan yang lebar.
Bima terpaku menatap keindahan di depan matanya tanpa berkedip.