Little Dove

1324 Kata
Wanita dengan sejuta pesona itu menoleh ke samping kanannya saat ia merasa ada kehadiran seseorang di sana. Iris mata hitam pekatnya menangkap bayangan sosok pria yang luar biasa tampan, sedang menatapnya tanpa berkedip. Lelaki itu mengenakan kemeja lengan pendek dengan tiga kancing bagian atas terbuka. Sejenak darahnya berdesir, keseksian dari d*da yang bidang dengan ujung alur-alur menuju cetakan six pack pada perutnya membuat mulut yang berisi bibir penuh berparit itu sedikit terbuka. Dalam beberapa detik, tidak ada satupun yang bergerak atau berbicara, mereka sama-sama terpaku di tempatnya masing-masing. Saling menatap dan menilai. Tampak dari kejauhan mereka bagaikan patung dengan gaya masing-masing layaknya sepasang model top dunia. Bima Sakti yang lebih dahulu menguasai diri, meskipun begitu ia masih membutuhkan beberapa detik untuk menenangkan deburan jantungnya yang seakan mengalahkan deburan ombak. Ia maju setengah langkah lalu mengulurkan tangannya, tenggorokannya tercekat, ingin mengatakan sesuatu, alhasil hanya bisa menelan salivanya berulang kali. Wanita dihadapan lelaki itu, menyambut uluran tangannya, sudut-sudut bibir mengangkat, menciptakan senyum lebar nan menawan, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. Senyum itu, membius kesadaran Bima, ia menjadi sedikit gugup. Jantungnya yang sudah sedikit tenang, kembali bertalu-talu tidak tahu diri. "Arletta ... panggil aku Letta," ujar wanita itu menggenggam erat telapak tangan Bima seolah ingin menenangkan perasaan lelaki itu. "Ah, Bi-Bima," sahut Bima agak tergagap. Arletta tersenyum, seraya berusaha melepaskan tangannya yang kini digenggam erat oleh Bima. Menyadari hal itu, Bima semakin gugup dan merasa tidak enak hati, dengan gerakan menyentak ia melepaskan tangannya. "Ma'af," ujar Bima dengan wajah memerah karena malu. "Permisi," lanjutnya seraya melangkah dengan perasaan tidak menentu meninggalkan Arletta yang masih tersenyum menghantar kepergian Bima. Setelah agak jauh, Bima menoleh ke belakang dan wanita itu telah hilang dari tempatnya berdiri tadi. Bima memutar tubuh, mata elangnya dengan lahap meneliti seluruh area yang bisa dijangkaunya, tapi ia tidak menemukan sosok itu. "Ah, sh*t. Kenapa tadi aku pergi, bodoh! Kenapa tidak mengajalnya ngobrol, aah!" kesal Bima dalam hatinya, sibuk merutuki dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa dilakukan Bima selain memanggil pengawalnya dan memerintahkan mereka untuk melacak wanita bernama Arletta. Dalam sekejap, para pengawal itu telah menyebar untuk mencari wanita yang telah membuat tuan mereka gusar. Dengan langkah kuyu, Bima kembali ke tempat di mana Parish sedang menunggunya. Ia menghempaskan diri ke kursi hampir tidak sanggup menguasai dirinya. Kegusarannya terbaca jelas oleh Parish, ia pun terkekeh sambil menepuk meja di depannya. "He he he, kenapa, Bos? Wanita itu kan yang tadi bicara dengan Bos? Katakan saja Bos, harus kita apakan dia? He he he ...," ujar Parish secara mengerling kepada wanita yang menempati meja di sebelah dalam, sofa yang didudukinya menempel tembok. Perlahan Bima memutar kepalanya dan menangkap sosok itu, tanpa kaca hitam dan topi lebarnya. Menyisakan kecantikan lain yang tadi belum sepenuhnya ia lihat. Seketika Bima berdiri, ia tidak mau mengulang kebodohan tadi, kali ini ia harus memperbaikinya. Ia menyeret langkah menghampiri Arletta yang tengah asik melihat telepon genggamnya dengan tangan kiri sambil menyeruput minuman dari gelas yang digenggam oleh tangan kanannya. posisi dia yang menyamping membuat perasaan Bima kalang kabut, kalau bisa dan boleh, ia ingin langsung menerkamnya, naluri primitif memang sulit diredam. Meskipun jantungnya bertalu-talu, keringat dingin mulai muncul di keningnya, dengan suara bergetar, Bima berkata, "Arletta, boleh saya duduk sebentar?" Gadis menawan itu menoleh ke arah suara, sejenak ia terpaku. Ia ingat Bima, tentu saja! Ia merasa kecewa saat Bima meninggalkannya tadi, padahal saat ini, dirinya sedang membutuhkan teman bicara. "Hm ... boleh saja sih, tapi aku sudah mau selesai di sini," ungkapnya pura-pura. Bima mengangguk, lalu ia segera duduk. "Boleh tukeran nomor telepon?" tanya Bima memberanikan diri. Sungguh nekat. Sang gadis mengulum bibirnya, menyembunyikan senyum seraya menurunkan kelopak matanya agar lelaki itu tidak membaca guratan rasa senang pada bola matanya. Tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Arletta, Bima memberi kode kepada pengawalnya. Dengan cepat pengawal tersebut menyerahkan telepon genggam kepada Bima, yang langsung ia sodorkan kepada gadis itu tanpa sedikitpun melepaskan tatapannya. Arletta masih menundukkan pandangan seraya menerima telepon genggam Bima, dengan tangkas ia menyalakan telepon itu dan memsukkan nomornya di sana lalu menyerahkan kembali pada si empunya. Bima tidak puas jika tidak mengecek kebenaran dari nomor tersebut, ia pun memencet tombol call dan tersambung. Telepon genggam Arletta bergetar, panggilan itu terus berkumandang, Arletta melirik Bima dengan mimik wajah heran, mestinya lelaki itu menyudahi dering panggilan setelah tahu bahwa benar itu adalah nomornya. Tatapan Bima kepadanya mengandung permohonan agar Arletta menjawab teleponnya. Arletta terkekeh geli seraya menggeser tanda telepon berwarna hijau ke arah kanan lalu menempelkannya pada daun telinga sebelah kiri, "Halo ...," sapa Arletta dengan lembut. Seulas senyum tipis membayang pada wajah Bima, tanpa sadar ia menjawab, "Hi, Cantik ...." Arletta terpana, ia tidak tahu harus senang atau tidak mendengar ucapan Bima. Ia memilih memejamkan matanya dan berucap, "Terima kasih." Lalu mengakhiri panggilan dan membuka matanya kembali. Kini ia bingung, harus pergi atau tetap di sini? "Sudah makan belum?" tanya Bima kepada Arletta. "Belum, tapi kalau kamu mau makan, silakan." Arletta mengangkat wajahnya dan menatap balik kepada Bima. Ia sedang menjajaki apakah lelaki ini pantas untuk dijadikan temannya selama liburan di sini atau tidak. Bima mengangguk, "Aku mau ajak kamu gabung dengan temanku di sana, mau?" tanya Bima dengan nada mendesak. Nada yang tidak menerima penolakan. "Uh, tapi-tapi aku harus segera pergi ...," sanggah Arletta ragu-ragu. Bima menangkap keragu-raguan dari Arletta. Tapi ia tidak berminat untuk memaksa atau menahan Arletta, "Belum saatnya Bim!" serunya dalam hati. "Oke kalau begitu, aku harus kembali, mereka sudah menungguku, sampai jumpa Letta ...," ujar Bima seraya berdiri dan menyodorkan tangan kepada Letta mengajaknya salaman. Dengan sikap ragu-ragu, Arletta menerima uluran tangan Bima sambil tersenyum. "Nanti aku telepon." Bima mengedipkan matanya kepada Arletta yang tersipu malu. Lelaki muda itu harus merasa puas dengan perkenalannya sampai di situ. Ia berbalik dan melangkah menuju meja Parish di mana makanan sudah terhidang di sana. Bima memberi isyarat kepada pengawalnya yang langsung mengerti. "He he he, sukseskah, anak muda?" kekeh Parish hampir berbisik kepada Bima. Bima hanya menjawabnya dengan tersenyum. Tidak lama mereka terlibat perbincangan serius sambil memakan hidangan yang tersaji. Tanpa terasa waktu sudah sore, pembicaraan Bima dengan Parish adalah pembicaraan bisnis, ia berkonsentrasi penuh menyimak semua hal yang dibicarakan Parish mengenai Montaya dan kaitannya dengan perpolitikan serta perekonomian. Tidak ada satu pun yang menyentuh bisnis dari keluarga Veronika. Di penghujung waktunya, Bima menegaskan satu hal yaitu kesiapan pasukan underground untuk terlibat dalam peperangan antara dirinya dengan keluarga Veronika. Parish dengan yakin menjawab bahwa itu hanyalah masalah kecil baginya. Mereka berjabat tangan dan Bima beranjak duluan dari sana menuju mobil pinjaman untuk kembali ke hotelnya. Ia akan menyusun rencana mengunjungi Andrea, tapi kalau begitu, ia harus kembali dengan pesawat jet pribadinya supaya keluarga Veronika tidak curiga. Malam itu, pesan di sampaikan oleh sekretarisnya, Linda, kepada Veronika. Ia menggunakan nomor telepon luar negeri untuk menghubungi Veronika. Mengabarkan bahwa Bima Sakti akan menemui Andrea sesampainya di Montaya besok sore pesawatnya mendarat di sana. Kabar lain yang diterima oleh Bima selain tidak ditemukannya keberadaan Andrea di mana pun adalah kabar tentang Arletta. Bima menepuk keningnya karena ia lupa telah memerintahkan pengawalnya untuk membuntuti Arletta. Gadis itu pergi ke salon setelah dari tempat ia bertemu dengannya, setelah itu menuju sebuah butik, tempat di mana Andrea dan suaminya, Pangeran Dato terekam CCTV di sana. Keluar dari butik membawa beberapa tas belanja lalu menuju hotel bintang lima dan reservasi di sana. Pukul delapan malam keluar dari hotel menuju sebuah restoran bergaya klasik, tempat yang terkenal untuk mengadakan kencan buta. Namun, Arletta terlihat sendirian di sana. Pukul sepuluh ia sudah sampai di suatu club kelas menengah. Club khusus atau diskotik. Sampai sini, Kening Bima berkerut-kerut. "Gadis club? Ah, sh*t!" teriak Bima. Laporan selanjutnya mengatakan bahwa gadis itu menikmati musik dan minum bir sendirian. Ia berinisiatif untuk menelepon Arletta tapi sampai lima kali mengulang telepon, tidak diangkat oleh gadis tersebut. "Lakukan sesuatu supaya dia pulang ke hotelnya!" perintah Bima kepada para pengawalnya. ---------- Bima Sakti Laksono --------- Ketika aku menginginkan seseorang, tidak ada yang bisa terbebas dari pengawasanku. Apalagi kamu, Arletta. Kau akan menjadi merpati mungilku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN