Dark Secret

1268 Kata
Yang diinginkan oleh seorang ayah itu simple saja, memastikan putra putrinya selamat, sehat dan bahagia. Hanya itu. -------- Bramantyo Laksono --------- Dua pasang mata menyaksikan peristiwa itu, yang akan mengubah pemikiran mereka tentang Dimas. Andrea tidak mengerti kenapa ayahnya tidak ingin ada Dimas bersama mereka, sementara Bima merasa marah karena Bramantyo telah membuat ibunya menangis karena ingin membuang Dimas. Ia tahu bagaimana perasaan itu tatkala mainan kesukaannya di ambil orang atau dibuang. Bima keluar dan berlari menghampiri Bramantyo yang telah bertangan kosong karena Dimas telah kembali ke pelukan Alisha. "Papi jahat! Jangan ambil mainan Mami!" teriak Bima menyeruduk Bramantyo dengan tubuhnya. Merasakan kedua pahanya ditabrak oleh putra kesayangan Alisha, Bramantyo berdiri ditempat, satu tangannya mengelus kepala Bima, kemudian ia menurunkan badannya, berlutut di hadapan sang putra lalu memeluknya erat, "ma'afkan papi, Sayangku," ujarnya pelan ditelinga Bima yang seketika menjadi tenang. "Papi mandi dulu ya, mau ikut?" tanya Bramatyo kepada putranya. "Gak mau, Papi, Bim mau lihat dede bayi mandi," jawab Bima seraya berlari menuju ibunya, meninggalkan Bramantyo yang masih berlutut. Sepasang mata indah, menutup pintu perlahan lalu menahannya dengan punggung. Air matanya bergulir, merasa sedih karena melihat ibunya bersimpuh dan menangis, memohon kepada ayahnya agar tidak membawa bayi itu pergi. "Kenapa mami menyukai bayi itu?" keluhnya dengan nada lirih. Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari suram dalam rumah tangga Bramantyo dan Alisha. Mereka tidak pernah terlihat bersama saat di dalam rumah. Alisha tidak pernah lagi mengikuti suaminya pergi kemana pun. Kediaman mereka berdampak kepada Andrea dan Bima. Adik kakak tersebut tidak lagi dekat dengan ayah ibunya. Suatu pagi, saat libur kerja, sementara Alisha bersama ketiga anaknya sedang bertandang ke rumah Ann Beatrix yang berada di depan kediaman mereja, Bramantyo pergi mengunjungi orang tuanya, Catur Laksono dan Anastasya. Kunjungan tersebut untuk membahas mengenai kehadiran Dimas yang telah sampai ke telinga Catur. Bramantyo duduk dengan kaku di hadapan ayahnya yang sedang memegang walker atau tongkat bantu untuk berjalan. Tatapan Catur begitu tajam dan menusuk seolah-olah sedang mencabik-cabik perasaan putranya. Sementara Anastasya terus menggandeng dan mengelus punggung suaminya berharap Catur bisa menahan emosi demi kesehatannya. Catur Laksono sedang mejalani pengobatan akibat stroke yang dideritanya dua tahun terakhir, Setelah ia memberikan mandat bisnis keluarga Laksono sepenuhnya kepada Bramantyo, ia memilih menjadi pensiunan dan mengharapkan ketenangan hidup bersama istrinya setelah terjadi prahara-prahara besar yang mengguncang keluarganya "Katakan semuanya! Atau tanganku ini yang akan membunuhmu!" teriak Catur menggelegar dengan emosi tinggi kepada Bramantyo. Raut kekecewaan terlihat begitu nyata pada wajah rentanya. Bramantyo menghela napas panjang, wajahnya menunduk dalam-dalam. Ia tahu bahwa pagi ini akan tiba, yaitu persidangan langsung oleh ayahnya yang terkenal kejam dan mengerikan. Namun, ia telah berhasil menyiapkan semuanya, bukti-bukti tentang penjebakan di hari nahas tersebut. Dengan sikap tenang meskipun was-was karena Catur bukanlah orang yang punya kesabaran cukup, ia menyalakan note book di hadapannya. Mengoreksi posisi duduknya dan mengangguk hormat kepada Anastasya yang sedari tadi menatapnya dengan wajah ketus dan kesal. Ia memulai penuturannya dengan berdehem. "Ehem ... Pi, Mi. Sebelumnya aku minta maaf karena telah menimbulkan masalah baru yang bahkan sangat menyakiti Alisha serta membuat suasana di rumah terutama untuk Andrea dan Bima tidak kondusif, sekali lagi, aku mohon ma'af ...," tutur Bramantyo penuh perasaan. "Saat itu Alisha tidak bisa ikut denganku ke Paris, sewaktu Andrea harus dirawat karena typus. Aku sedang bekerja di kamarku, tiba-tiba aku kedatangan tamu dan para pengawalku tidak ada di tempat semua. Aku terpaksa membukakan pintu sendiri dan seorang wanita nyelonong masuk, dia bersama beberapa orang pria yang tidak kukenal." Bramantyo mengehela napas, diwajahnya tergambar kengerian yang berusaha ingin ia lupakan. "Seorang pria masuk bersama wanita itu, dia menenteng laptop lalu membukanya di hadapanku." Bramantyo membuka file pada note booknya dan memperlihatkannya kepada Catur serta Anastasya. "Saat itu, tanpa sengaja aku ingin melakukan video call dengan Bima yang ditinggal di rumah. Kamera pada note book ini pada posisi on ketika mereka datang dan sempat merekam beberapa saat sebelum akhirnya mati karena kehabisan batterai," papar Bramantyo dengan mimik serius. Terdengar percakapan tegang pada pada rekaman di note book Bramantyo. "Halo, Bram? Mencari anak buahmu? Mereka sedang ngopi santai di suatu tempat, ha ha ha." Terdengar suara perempuan agak sedikit nyaring tapi memiliki vokal yang bagus. Dari sisi samping tampak Bramantyo sedang didorong untuk duduk di kursi, dan saat tangan Bramantyo merogoh telepon genggam di sakunya, gerakan itu terlihat oleh kedua orang tadi. "Eit, no, no, Bram! Percuma kamu menggunakan HP-mu, karena saat ini, Putrimu dan istrimu sedang berada hanya berdua saja di rumah sakit, oiya, sebentar lagi dia pulang loh, putrimu akan sendirian di sana. Kamu lihat?" Suara perempuan itu terdengar lagi seraya mengambil telepon gengam lelaki itu dan meletakkannya di atas meja, agak jauh dari posisi Bramantyo berada. Bramantyo melihat ke arah layar laptop dan tampak kalau Alisha serta Andrea berada di ruang perawatan. Alisha tengah bersiap untuk pulang ke rumah, sebab Andrea tidak ingin ditemani. Otaknya berpikir cepat, melihat posisi dari kamera mestinya itu adalah hasil rekaman CCTV rumah sakit. Bramantyo bergidik, ia yakin sistem keamanan rumah sakit telah berhasil di retas oleh mereka, tapi ... mereka itu siapa? Bramantyo masih belum mengetahuinya. Saat ini yang pasti adalah, nyawa kedua wanita yang sangat ia cintai itu sedang berada di bawah ancaman bahaya besar. Mereka juga berhasil melumpuhkan para pengawal! Sungguh pekerjaan yang hebat, cerdas dan penuh kewaspadaan. "Siapa kamu dan apa tujuanmu?" tanya Bramantyo sambil mengepalkan kedua tangannya, ia benar-benar diuji untuk menahan emosi. "Oh, iya kita belum berkenalan secara resmi, saya Veronika, cucunya Tuan Jamed dari Montaya. Ada apa antara Jamed dengan kakekmu, tanyalah padanya di liang kubur, ha ha ha ... keinginanku jelas dong, Bram ganteng! Menghancurkan bisnis keluarga Laksono, caranya bagaimana? Serahkan padaku Bram," ujar Veronika seraya menyentuh kulit leher Bramantyo dengan ujung-ujung jarinya. Bramantyo memejamkan matanya dengan mulut terkatup, menekan rahangnya sekuat tenaga. Ia muak dengan seluruh teka-teki tersebut, "katakan! apa maumu, bang*sat!" teriak Bramantyo tidak lagi bisa menahan diri. Kekehan Veronika semakin panjang dan menjadi-jadi. "He he he, Bram, kemarahanmu membuat dirimu sangat seksi. Uh, aku ingin melumat seluruh tubuhmu, Bram," ucap Veronika seraya mengelus lembut pipi Bramantyo dari belakang dan menyusupkan satu tangannya ke balik kemeja Bramantyo melalui kerahnya. Sampai sini, tiba-tiba rekaman terhenti, berganti dengan warna hitam di layar. "Jadi ... jadi Dimas anaknya perempuan itu?!" Anastasya berseru kaget dan membelalak, "mengerikan sekali, mengerikan sekali," ujarnya berulang-ulang Sementara Catur Laksono tampak terpekur. Ia pernah mempersiapkan diri untuk bertahan dari perang dendam keluarga dulu, tapi tidak pernah terjadi apapun padanya dan keluarganya, tapi kini, bahkan mereka berani mengancam putranya melalui cucu kesayangannya. Ia juga paham kalau putranya akan melakukan apapun demi keselamatan anak dan istrinya. Ia pun pasti akan melakukan hal yang sama. "Maksud mereka tercapai, Veronika hamil, kamu menanam benih di rahimnya." Catur Laksono menatap satu titik, ia menerawang dengan tatapan nanar. "Untuk hal itu jujur aku tidak ingat apa-apa. Saat aku tersadar, bajuku masih menempel lengkap dan tidak ditemukan cairan aneh-aneh. Hanya saja aku kehilangan point bagaimana caranya aku bisa berada di kasur, sementara yang aku ingat terakhir kali adalah sedang duduk di kursi dan tidak meminum apapun." sahut Bramantyo merasa bodoh, kenapa bisa sampai ia terpedaya oleh keluarga Jamed malam itu. "Siapa yang mengkhianatimu?" tanya Catur kepada Bramantyo. "Pengawal bernama ihsan. Ternyata dia dari Montaya, mendaftar dan ikut test dengan identitas palsu," jawab Bramantyo. Braak. Walker yang terbuat dari besi tempa menghantam meja, "dasar bodoh! tidak pakai otak! Kamu terlalu terlena sampai-sampai kecolongan? Benar-benar bodoh!" teriak Catur dengan emosi tinggi. Napasnya megap-megap dan Anastasya panik luar biasa. "Tabung oksigen, tolong ... tabung Oksi!" teriak Anastasya yang disambut dengan menghamburnya para pelayan untuk menolong Catur Laksono. Bramantyo gugup melihat ayahnya seperti itu. Dengan sigap ia memencet tombol meminta pertolongan pertama kepada dokter yang stand by di rumah itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN