He Is My Son!

1486 Kata
Jika kehadiran bayi itu hanya membawa malapetaka untuk Alisha, lebih baik aku membuangnya! ---------- Bramantyo Laksono --------- Jet pribadi yang ditumpangi Bramantyo mendarat dengan mulus. Ia tidak sabar ingin segera keluar dari pesawat. Menunggu pintu pesawat dibuka saja rasanya bagai menunggu berbulan-bulan. Gestur tubuhnya tampak resah dan geram mengingat wanita itu yang menyebabkan istrinya jatuh pingsan dan terluka, terutama luka batin. Ya, Veronika. Akhirnya dia muncul menciptakan teror. Dulu, dua belas bulan yang lalu, Bramantyo mengira teror itu hanya tertuju pada dirinya seorang, ternyata ada misi lain yang diemban oleh Veronika. Kini keutuhan rumah tangganya benar-benar dipertaruhkan. Tidak, Bramantyo tidak akan pernah membiarkan Alisha pergi dari sisinya begitupun putra putrinya. Keluarga baginya adalah harta yang tidak ternilai, dia harus mempertahankannya apapun yang terjadi. Turun dari pesawat, Bramantyo mengusir sopir yang sedianya akan mengantarkan ke rumah sakit. Ia mengendarai mobilnya sendiri, memacunya dengan kencang, tidak peduli apakah akibat dari gaya menyetirnya yang menyeruduk sana-sini mengakibatkan kecelakaan pada orang lain atau tidak, ia tidak peduli. Sejak sepuluh hari yang lalu, perangai Bramantyo berubah, baginya tidak ada yang harus ia cemaskan dan tidak ada hal penting lainnya di dunia ini selain Alisha. "Sialan, Jameedd! Kau boleh ambil nyawaku tapi jangan kau sentuh keluargaku!" teriak Bramantyo kencang-kencang seraya mencengkram kuat setir mobilnya dengan wajah merah padam. Apapun yang terjadi, tetaplah Bramantyo tidak akan bisa seperti ayahnya, Catur Laksono yang berani bertindak tegas, kalau perlu, mencabut nyawa orang-orang yang ngeyel mengganggu keluarganya. Rupanya sifat keras Catur tidak menurun kepadanya. Terbukti selama satu tahun ini, Bramantyo tidak memgambil tindakan apapun terhadap Veronika yang merupakan martir dari Jamed, musuh bebuyutan keluarga Laksono, malah ia nyaris lupa pernah ada wanita yang menjebaknya hingga hamil. Anak yang telah dilahirkan olehnya meninggalkan jejak yang tidak bisa dibuang begitu saja, yaitu bukti berupa DNA. Sesampainya di gerbang rumah sakit, Bramantyo mengerem mobil itu dalam-dalam lalu melompat keluar dan meninggalkan mobilnya dalam keadaan mesin masih menyala. Satpam ikut melonjak terkejut melihat bos mereka tiba-tiba muncul dengan gaya serampangan dan kasar. "Siap, Bos!" seru mereka hampir bersamaan, tapi Bramantyo segera melesat menuju lift. Langkah kakinya terasa berat ketika menginjak lantai koridor menuju ruang rawat Alisha, ia harus menyeretnya dengan susah payah. Bukan tidak siap menghadapi kemarahan Alisha, tapi dirinya tidak siap melihat sang istri sakit. Akhirnya sampai juga ia di depan pintu ruang perawatan Alisha, dua orang pengawal bergeser memberikan jalan kepada bosnya. Bramantyo membuka pintu dan memasuki ruangan. Tampak Alisha sedang tidur dengan kepala dililit perban. Melangkah perlahan, Bramantyo mendekati Alisha dengan perasaan pedih. Terlukanya wanita yang sangat ia cintai itu karena kehadiran Dimas, bayi itu, bayi yang ia sayangkan terlahir dari rahim wanita lain. Wanita yang tidak pernah sedikitpun diinginkannya! "Sayang ... kekasih jiwaku dunia akhirat, aku tidak tahan melihatmu menderita seperti ini, bisakah kamu lepaskan Dimas? Please, honey, demi kita semua ...," ucap Bramantyo lirih. Dia sudah menyaksikan bagaimana Alisha berhati malaikat, di tengah kepedihannya, di tengah luka dalam pada egonya, ia tetap merawat Dimas dengan penuh kasih seperti ia merawat putra dan putrinya sendiri. Tapi saat ini, Bramantyo harus mengambil keputusan. Anak itu tidak bisa tinggal bersama mereka karena hanya akan terus menorehkan luka pada hati Alisha. Istrinya. Alisha bergerak-gerak, sesaat ia mengernyit karena rasa sakit di kepalanya. Saat kelopak matanya terbuka, dengan jelas dirinya melihat sosok sang suami, Bramantyo. Tatapannya begitu datar seolah-olah ia tidak mengenali lelaki itu. Bramantyo menjadi panik melihat sorot mata Alisha. Dengan segera ia memencet tombol untuk memanggil perawat dan menanyakan keberadaan dokter. Namun, Alisha mencegahnya. "Buat apa panggil orang? Mereka tidak bisa menghilangkan ingatanku atas pengkhianatanmu!" Alisha membuang muka demi menahan air matanya. Bramantyo terduduk lemas di sofa panjang samping ranjang pasien. Ia tidak tahu harus memulai menjelaskan semuanya dari mana. Ia hanya berharap, Alisha luluh karena ia memiliki cinta yang begitu besar terhadap istrinya dan akan melakukan apapun untuk kekasih jiwanya itu. Pintu diketuk, seorang dokter dengan dua perawat memasuki ruangan mereka, "Selamat sore, Tuan, Nyonya ... sekarang juga nyonya sudah boleh pulang, sesuai permintaan Nyonya untuk diberitahu langsung jika sudah bisa pulang," ujar dokter seraya memeriksa pergelangan tangan Alisha. "Terima kasih, Dok. Saya akan pulang segera, kasihan anak-anak di rumah," jawab Alisha tersenyum. "Baik, semuanya sudah oke, Nyonya, Tuan, saya permisi." Dokter itu berbalik bersama kedua perawat melangkah menuju keluar ruangan. Alisha turun dari tempat tidur, dengan sigap Bramantyo meraih bahunya tapi ia menepis dengan keras, "jangan coba-coba berani menyentuhku!" hardiknya dengan nada geram. Bramantyo hanya terkulai lemas, ia tidak berani membantah ataupun berbicara tapi mencari kegiatan lain yaitu membereskan barang-barang Alisha sementara wanita itu melangkah ke kamar mandi untuk sekedar menyegarkan diri. Tidak lama, Alisha keluar dari kamar mandi menghampiri tas travel yang sudah tertutup karena dibereskan oleh Bramantyo. Alisha membuka tas tersebut dengan kasar dan mengeluarkan isinya secara serampangan lalu mengambil satu lembar dress dan membiarkan isi tas berhamburan di atas sprei kemudian kembali melangkah ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Bramantyo tersenyum melihat tingkah lucu istrinya, dengan terampil ia memungut barang-barang itu dan melipatnya sebelum dimasukkan kembali ke dalam tas dan menguncinya. Kini, Alisha sudah siap untuk pergi, ia meraih tas selendangnya dan keluar setelah memakai sandal sepatu yang ia keluarkan dari tas travel tadi. Lalu melenggang dengan anggun keluar dari kamar itu. Sementara Bramantyo menyusulnya dengan menjinjing tas travel istrinya. Salah satu pengawal melihat kalau tuannya menjinjing tas, ia menghampiri Bramantyo untuk mengambil alih tas tersebut, tapi Bramantyo menolaknya. Ia segera berlari ke arah lift saat melihat Alisha sudah memasuki lift. Kedua pengawal saling pandang merasa heran dengan tingkah tuan dan nyonyanya tersebut. Duduk di dalam mobil berdua, Bramantyo sengaja menolak salah seorang pengawal untuk menyetir mobilnya, dan Alisha duduk di belakang, ia enggan duduk di depan saat tahu suaminya tidak mau memakai sopir. Bramantyo hanya tersenyum, menjadi sopir bagi istrinya itu hal yang lumrah, bahkan menjadi b***k Alisha pun ia akan jalani dengan penuh syukur dan ikhlas. Tanpa ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir Alisha saat Bramantyo mengajaknya bicara, seakan-akan di dalam mobil tersebut tidak ada orang. Akan hal ini pun Bramantyo tidak keberatan jika harus terus bermonolog, bicara sendiri tanpa feedback. Mereka sampai di rumah dan ketiga anaknya telah menunggu di depan. Mereka bersorak melihat ibunya turun dari mobil dengan pintu dibukakan oleh ayah mereka. Alisha tersenyum kepada Bima dan Andrea, memeluk dan mengecup mereka, tidak ketinggalan menyapa sang bayi yang sedang di gendong oleh salah seorang pelayan dan mengecupnya. Bramantyo diserbu oleh kedua putra dan putrinya hingga perhatiannya kepada Alisha teralihkan. Mereka sudah tiga hari tidak bertemu. Sementara Alisha menggendong Dimas dan masuk ke dalam rumah. Lelaki gagah itu menggandeng kedua anaknya memasuki rumah, Alisha sudah tidak terlihat. Ia menoleh kepada Andrea dan Bima, "Papi mau bicara dengan mami, bisa beri waktu? Nanti kita akan ketemu saat makan malam ya, kan sebentar lagi," ujar Bramantyo kepada kedua anaknya. Mereka mengangguk dengan patuh, tidak ingin banyak protes karena mereka menyadari adanya perubahan di antara ayah dan ibunya. Dengan langkah panjang, Bramantyo bergegas menuju lantai dua, ke kamar tidurnya karena sudah pasti istrinya berada di sana. Ternyata tidak ada siapa pun. Ia segera menuju kamar sebelah, kamar bayi yang dulu dipakai Bima sampai berusia tiga tahun. Ia hanya melihat sang bayi tergolek di atas kasur, sendirian. Samar-samar terdengar suara air di kamar mandi. "Istriku sedang di kamar mandi, sekarang kamu ikut, papi akan membawamu ke suatu tempat yang cocok untukmu, Dimas," gumam Bramantyo seraya meraih bayi tersebut. Dari mulutnya yang sangat mungil itu terdengar suara mengoceh. Suara lucu yang mampu mengalihkan perhatian sepotong hati paling kejam sekalipun. Sedikit perasaan tergores ia rasakan. Bagaimana pun bayi itu dalah darah dagingnya terlepas dari mana dia berasal, tapi keputusan telah dibuat. Bramantyo harus membawanya pergi. Dengan mantap, ia menggendong Dimas dan berbalik menuju pintu. Selangkah dari pintu, terdengar suara Alisha menegurnya, "mau dibawa kemana? Anak itu harus dilap, aku akan membersihkannya," seraya melangkah menyusul suaminya. "Ma'afkan aku, Sayangku ... tapi aku tidak mau membiarkannya tinggal di sini, yang akan terus membuat hatimu terluka ," sahut Bramantyo kembali melanjutkan langkahnya. "Tidak, tidak Bramantyo! Bukan dia yang melukai hatiku tapi kamu! Kembalikan anak itu, kembalikan!" teriak Alisha mulai kalap. "Aku harus melepasnya, Alisha!" seru Bramantyo tidak kalah keras. Alisha tahu ketika Bramantyo mengambil keputusan apalagi demi dirinya, keputusan itu akan sulit di bantah dengan alasan apapun. Wanita itu menitikkan air mata, ia terduduk dan bersimpuh, suaranya bergetar, air matanya bercucuran, "Ijinkan aku untuk merawat anak ini dengan sepenuh hatiku, dia tidak berdosa dan kamu tidak berhak melepaskannya begitu saja. Tolong, kasihanilah dia ... jangan bersikap sama dengan ibunya yang tega menyerahkan anak ini kepada orang lain, please, berhati nuranilah ... ibunya sudah membuangnya, kenapa kamu ingin membuangnya juga? Biarkan ia tetap bersamaku, aku akan merawat dan mendidiknya seperti anak-anakku sendiri, tolong ... berikan padaku," ucap Alisha dengan nada memohon sambil menangis terisak-isak. Bramantyo mematung, matanya terpejam. Hatinya pedih merasakan kepedihan istrinya. Tanpa sadar ia memeluk kencang-kencang Dimas hingga bayi itu menangis kesakitan. Secepat kilat Alisha melompat dan menarik tangan Bramantyo lalu merebut Dimas dari gendongan suaminya, "Berikan padaku, dia adalah anakku," ujar Alisha dengan tegas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN