Pria Gila

2090 Kata
    Affa tampak duduk dengan tegap di tengah kolam berendam. Jangankan kalian, Affa sendiri bingung memangnya di rumahnya ada kolam berendam? Sejak Affa kehilangan kemampuan untuk melihat, Affa hanya bisa meraba-raba dan bertanya-tanya dalam diam. Tapi tampaknya penyandra Affa yang bernama Senu, sangat senang sekali mengajak Affa berbicara. Jadi, tanpa ditanya pun, dia telah menjelaskan posisi Affa yang kini dibawa ke dalam ruangan rahasia yang terhubung dengan kamar Affa.     Pantas saja, Affa merasa asing dengan udara lembap ruangan yang Affa tempati. Tubuh Affa semakin menegang saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Affa langsung merendahkan tubuhnya, mencoba menutupi sebanyak-banyaknya bagian tubuhnya di dalam air bersabun.     "Sudah mandinya? Kenapa rambutmu masih kering? Kau harus keramas." Affa memekik saat tubuhnya dibuat tegap oleh Senu. Wajah Affa terasa panas bukan main. Ia malu. Sangat malu. Kemarin sore, pertama kali dirinya dimandikan sejak usia remaja. Dan parahnya, orang yang memandikan dirinya itu, hanya Affa kenali sebatas nama saja.     Bibir Affa mengerucut. Semua gerak-gerik gadis itu tak lepas dari pengawasan Senu. Meskipun tangannya bergerak membuat busa di kepala Affa, tapi matanya tetap mengawasi wajah Affa yang tampak memasang ekspresi masam.     "Kenapa hm? Apa kau ingin, aku mandi bersama denganmu?"     Affa seketika menggeleng. Menolak untuk kembali mandi. Tubuhnya mulai menggigil karena kedinginan. Senu dengan cepat, menyelesaikan tugasnya mengeramasi Affa. Setelah berhasil membilas rambut sebahu Affa, dan tubuh gadis tersebut, Senu dengan santai mengangkat tubuh polos Affa dengan kedua tangannya.     Wajah Affa yang semula telah merah, bertambah merah lagi. Ia memeluk d**a dan menutupi organ intimnya dengan telapak tangannya. Affa benci situasi ini. Betapa tak berdaya dirinya dihadapan Senu. Tapi mau bagaimana lagi? Affa tak bisa menolak Senu. Ia masih ingat perbincangan kemarin dengan Senu. Tepatnya pertama kali Senu menelanjangi Affa.     Saat itu, Affa berontak sekuat tenaga dan menangis kuat. Namun Senu berubah menjadi tuli dan terus melanjutkan kegiatannya. Affa tetap memohon hingga akhir dan menangis. Hingga akhirnya Affa frustrasi dan menggigit tangan Senu dengan kuat.     Dan saat itulah, Senu berbisik pelan. Bisikannya sarat ancaman. "Jangan menolak diriku Affa. Apa kau tau, kini nasib kakakmu berada di tanganku. Setiap penolakan darimu, akan berimbas padanya. Jika kau tidak percaya, ku beri contoh satu hal. Kau tau, kakakmu ditugaskan ke luar negeri atas ikut campur diriku. Dan coba bayangkan, jika kau melakukan kesalahan sedikit saja padaku, maka apa yang akan aku lakukan pada Kakak tersayang mu itu? Ingat, sikapmu menentukan nasib kakakmu."       Affa tidak mau membayangkan apa yang akan dilakukan Senu pada Guntur. Ada satu kesimpulan yang bisa Affa ambil. Senu itu, gila. Jadi, Affa tidak boleh mengambil langkah yang salah. Atau nyawa orang-orang disekitar Affa, bahkan nyawa Affa sendiri bisa melayang. Intinya, kini Affa harus merelakan tubuhnya diperlakukan seperti boneka oleh Senu. Tapi jujur saja, sampai kapan pun Affa tidak akan pernah bisa rela. Hatinya berat. Namun, ini harus ia lakukan, sebelum semuanya kembali seperti semula. Affa telah membuat sebuah rencana untuk melepaskan diri dari manusia gila ini.     Tiba-tiba Affa diturunkan oleh Senu. Lalu tak lama, dengan telaten Senu memperlakukan seperti boneka. Kini Affa tengah dipakaikan gaun rumahan oleh Senu. Dulu, Affa tak akan merasa nyaman menggunakan gaun ketika bersantai di rumah. Tapi harus bagaimana lagi? Yang memaksa dirinya, adalah seseorang yang menakutkan dan bisa berbuat apa saja.     Jangan mengira jika Affa tak merasa takut. Affa juga tengah merasakan takut. Namun sayangnya, sejak kemarin sore Affa seakan tak bisa mengekspresikan rasa takutnya. Ia seolah-olah berubah menjadi sosok anak anjing manis yang menuruti semua perkataan Senu.     Dan satu hal yang Affa herankan. Serangan panik Affa tak kembali lagi!! Padahal bisa dibilang, kini apa pun kondisi Affa, hanya kegelapan yang menemaninya. Tapi hal itu tak membuat Affa panik atau ketakutan. Ia sangat tenang. Bahkan saat Senu menelanjanginya pun, meskipun hati Affa mengatakan untuk berontak. Seluruh tubuhnya seakan mengizinkan Senu untuk melakukannya. Arghh Affa jadi pusing sendiri. Yang penting sekarang, Affa harus fokus untuk melaksanakan rencanya.     "Sudah cantik," ucap Senu setelah menyisir rambut sebahu Affa. "Ayo, sekarang kita sarapan." Affa refleks mengalungkan tangannya di leher Senu. Matanya yang tak berfungsi bergerak-gerak tak fokus. Senu yang melihatnya, gemas sendiri dan mencuri sebuah ciuman di ujung hidung Affa.     Setelah tiba di ruang tamu. Senu membuat Affa duduk menyamping di atas pangkuannya. "Menu pagi ini adalah, nasi goreng bakso. Kau suka bukan? Aku sendiri yang memasaknya loh."     Affa yang membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Senu, malah saat itu pula Senu mengisi mulut Affa dengan satu sendok penuh nasi goreng. Mau tak mau, Affa harus mengunyahnya. Dan ternyata, masakan Senu tak mengecewakan.     "Enak kan?"     Affa mengangguk antusias. Tapi Affa menelengkan kepalanya. Masakan Senu terasa sama dengan masakan bi Inem. Jangan-jangan, Bi Inem telah datang     "Tidak ada orang lain selain kita berdua di sini sayang. Dan itu akan berlaku untuk beberapa hari kedepan." Senu menggigit ujung hidung Affa dengan gemas. Gadis mungil ini, sangat mudah untuk dibaca. Affa mengerutkan keningnya dan menjauhkan wajahnya dari jangkauan Senu. Entah mengapa kini Affa merasakan sesuatu yang aneh. Napasnya mulai sesak. Kepalanya pening bukan main. Serangan panik Affa kembali!!     Kedua tangan Affa mendingin dan bergetar. Wajah mungilnya berubah pucat secara cepat. Senu yang melihatnya, dengan tenang meletakkan piring dan menarik gelas air putih. Ia segera membantu Affa untuk meminumnya. Dan setelah Affa meminum air tersebut, berangsur-angsur kembali tenang.     Sangat aneh. Seakan-akan, air yang diminum Affa memiliki obat penenang. Tunggu, mungkin itu benar, pikir Affa.     "Sekarang makan lagi." Senu menempelkan ujung sendok yang dingin tepat di bibir Affa. Dan gadis itu tak punya pilihan lain untuk membuka mulutnya serta makan dengan patuh.     Ya, hidup Affa berubah dari saat itu. Hidupnya telah diatur. Tapi Affa tidak akan berdiam diri seperti ini terus. Ia akan melawan. Ya, melawan.   ***       "Apa?" Anggi bertanya datar saat Ghuan menghalangi langkahnya yang akan memasuki kelas. Sekolah memang telah dimulai lagi. Masa-masa berkabung telah lewat, dan semuanya telah kembali seperti semula.     "Affa gak masuk sekolah?" tanya Ghuan.     Anggi memijit pangkal hidungnya. Hari ini banyak sekali tugas yang harus ia kerjakan, ia sudah terlalu pusing karena itu. Dan Ghuan menambah pusing kepalanya.     "Pusing gue, lo orag kedua yang nanya begini setelah si Ketos. Dan jawaban gue masih sama Yang lo liat? Dia dari pagi gak ada kan? Jadi lo pasti bisa mikir sendiri." Anggi berjalan melewati Ghuan. Tapi tampaknya Ghuan tak puas mendengar jawaban dari gadis bertubuh semampai itu, ia menarik kerah kemeja Anggi dan membuat langkah Anggi tertahan.     "Heran gue, kenapa ada cewe sejudes lo."     Anggi melirik Ghuan dengan sinis , sebelum menjawab tak kalah pedas. "Gue juga heran, kenapa ada cowo? Pergi sana! Mata gue sepet liat muka lo." Anggi menginjak kaki Ghuan dengan kuat, menyebabkan Ghuan memekik kesakitan dan melepaskan Anggi.     Ghuan hanya menghela napas dan berniat untuk menghampiri Dhan di ruang guru. Pasti Dhan bisa memberikan informasi yang valid. Kini Ghuan melangkah dengan cepat menuju ruang guru, ia mengabaikan teman-teman sekolahnya yang menyapanya dengan ramah. Bahkan beberapa siswi ada yang sampai mengikutinya dan berceloteh genit. Tapi Ghuan tak menganggap mereka, ia tetap bersikap dingin hingga masuk ke dalam ruang guru.     Ghuan mengetuk ujung meja Dhan, dan menarik Dhan dari kesibukannya yang tengah menilai tugas-tugas anak didiknya. "Permisi pak, ada yang ingin saya tanyakan."     Dhan melepaskan penanya dan membenarkan letak kacamata baca yang ia kenakan. "Oh Ghuan, apa yang ingin kamu tanyakan?"     "Kenapa Affa tidak masuk sekolah?"     Dhan akhirnya tersenyum saat mendengar pertanyaan Ghuan. "Ah anak muda memang berbeda ya. Affa meminta izin untuk beberapa hari kedepan. Dia pergi ke luar negeri, mengunjungi kakaknya yang tengah dinas di Swiss."     "Swiss?"     Dhan mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, Ghuan undur diri. Sepanjang perjalanan, Ghuan berkali-kali mencoba menghubungi Affa. Baik telepon dan SMS Ghuan, semuanya diabaikan oleh Affa. Ghuan merasa khawatir, kemarin di acara pemakaman Wida, ia tak sempat berbicara banyak dengan Affa, apalagi saat pulang Affa diantar oleh Stella.     Ghuan takut jika ada yang terjadi dengan Affa. Pemuda itu kini memasuki kantin. Ia segera menuju pada meja dimana Ing tengah tertawa saat beberapa siswi memberikannya kotak bekal.     "Ih Eneng, tau aja kalo Abang suka makan ini." Ing berubah mode menjadi kang kardus, alias tukang gombal perempatan.     "Apa sih yang enggak aku tau, tentang Kak Ing," jawab salah satu siswi yang mengenakan rok yang tampak kekecilan untuknya.     "Ih genit kamu, semua orang juga tau kali kalo kak Ing suka makan itu. Gak usah belagu deh kamu!!"     "Eh lo ngebacod mulu, ngajak ribut? Hayo, mau adu cakar apa adu goyang?"     Ghuan hanya menghela napas, ia menarik kursi di depan Ing dan duduk. Ia kini memperhatikan Ing yang tampak menonton keributan siswi-siswi yang memperebutkan dirinya. Tapi lain hal dengan dirinya, Ghuan kesal karena terlalu ribut. Maka, Ghuan membuka air mineral botol dan menyiapkannya pada dua kubu siswi yang tengah saling cakar dan adu mulut. Seketika mereka berhenti dan menatap syok pada Ghuan. "Et maap. Gue kira tadi kucing kawin, berisik banget sih," ujar Ghuan santai.     Ing yang mendengarnya seketika tertawa keras. Sahabatnya itu memang super. Super dingin dan pedas. Ghuan memang tipe lelaki yang tidak suka berbasa-basi dan tidak suka menebar senyum pada kaum hawa. Maka, Ing sangat terkejut saat tahu jika Ghuan dengan gencar mendekati Affa. Karena percayalah, ong adalah saksi hidup bagaimana Ghuan tumbuh selama ini.     "Udeh gak usah ketawa mulu. Congor lo bau." Ghuan menyalak galak saat kerumunan siswi tadi membubarkan diri. Kantin kembali tenang. Hanya tinggal beberapa siswa-siswi yang bertahan di kantin untuk mengisi perut.     "Sekate-kate. Congor gue gak bau ya. Btw, lo kenapa? Bad mood? Muke lo asem banget. Eh, muka lo kan emang selalu asem." Ing kembali tertawa, Ghuan yang kesal melemparkan sendok dan garpu pada Ing.     "Ih si anying, ditanya bener-bener juga!!" Ing tampak tak kalah kesal.     “Lo ngeselin sih. Tapi serius, gue emang lagi gak enak hati.”     “Kenapa dah?” Ing bertanya, namun ia segera mengangkat tangan dan berteriak, “Bang Juki nasi uduknya dua dong!!”     Ghuan memutar bola matanya. Kenapa Ing memesan makanan lagi? Padahal makanan yang diberi oleh para siswi tadi saja belum dimakan. Tapi, Ghuan juga tidak khawatir. Meskipun tubuh Ing dan dirinya sendiri memiliki tubuh kurus, tapi mereka adalah pelahap nomer satu. Makanan apa pun bisa mereka lahap.     “Ayo cerita!! Kok malah diem, dasar si bangsul.”     “Affa katanya lagi ke luar negeri. Tapi semua telepon, chat, sama SMS dari gue gak ada yang dinotice. Padahal gue cuma mau mastiin kondisi dia. Perasaan gue gak enak soalnya.”     “Mungkin dia takut sama lo. Takut kalo lo minta oleh-oleh sama dia. Lo kan demennya yang gratisan,” ucap Ing yang kini menunduk dan mencomot potongann buah yang berada di kotak bekal.     “Oleh-oleh? Kayak judul lagu.” Ing segera menarik ukulele yang berada di sampingnya, setelah mendengar kode dari Ghuan. Ia langsung memetik senar dan memberi intro untuk Ghuan yang telah bersiap-siap menyanyi.   “Aku tidak minta oleh-oleh~ Emas permata dan juga uang~ Tapi yang kuharap engkau pulang~ Tetap membawa kesetiaan~”       “Hoba!!! Cikarang digoyang!!!” Ing breriak heboh. Ghuan tertawa dan memukul-mukul meja seirama dengan petikan ukulele Ing. Ini yang membuat keduanya berteman lama. Ghuan dan Ing selalu mwelengkapi dan nyambung dalam segala hal. Termasuk dalam hal gila tadi. Dan sejenak, Ghuan bisa menghilangkan rasa khawatirnya untuk Affa.   ***       Affa memejamkan matanya dengan erat. Kini dirinya tengah dipeluk dengan erat denga posisi berbaring di ranjang yan berada di ruangan rahasia yang terasa asing bagi Affa. Affa sama sekali tak bisa merasakan nyaman dengan posisinya ini. Apalagi, pelukan Senu terasa sangat erat dan sesak.     Kegelisahan Affa tampaknya bisa dibaca oleh Senu. Pria misterius itu menunduk dan menempelkan keningya pada kening Affa. “Kenapa belum tidur hem? Melawan?”     Seketika Affa membuka matanya. Ia menggeleng panik. “Affa belum  ngantuk. Tadi siang Affa kan tidur siang.” Affa memberikan alasan. Senu melepas pelukannya pada Affa. Ia bangkit dan meraih gelas air di atas nakas. Ia menarik laci dan mengeluarkan sebuah taug berukran kecil, berisi tablet berwarna biru muda. Pria itu memasukkan satu butir obat ke dalam gelas air. Begitu menyentuh air, obat tersebut larut, tanpa menyisakan bau atau perubahan rasa.     “Ayo bangun dulu. Setelah minum air, pasti kau akan mengantuk sayang.”     Tanpa penolakan, Affa menyesap air putih tersebut hinga tandas. Setelah meletakkan gelas ke tempat semula. Senu kembali berbaring dan menarik Affa kedalam pelukannya. Namun bedanya kini, Senu memerintahkan Affa untuk membalas pelukannya. Dengan bergetar, Affa melingkarkan kedua tangannya pad atubuh Senu. Tapi sayangnya, tangan Affa tidak cukup untuk memeluk Senu dengan sempurna.     Tapi, senu tak terlihat kesal. Ia malah tersenyum dan mengusap-ngusap punggung Affa dengan sayang. Dan secara perlahan kedua mata Affa memberat, beberapa kali ia menguap, secara tidak sadar ia mendusel-duselkan wajahnya pada d**a Senu.     Pria itu tersenyum saat Affa jatuh tertidur dan mendengkur pelan. Ia menunduk da mencium bibir Affa, sembari berbisik.       “Good night my little angel.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN