Senu bangun lebih awal dari pada Affa, pria misterius tersebut kini tengah mengamati wajah tidur Affa yang tampak menggemaskan. Ah bagi Senu, disituasi apa pun, Affa memang selalu menggemaskan. Ia menurunkan wajahnya dan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajah mungil Affa. Hal itu sukses membuat tidur Affa terganggu. Namun, Senu dengan cekatan menarik gaun Affa dan mengusap lemut perut telajang Affa. Perlakuan Senu membuat Affa kembali nyenyak dalam tidurnya. Senu masih ingin mengamati wajah Affa yag tegah tidur.
Bisa dibilang situasi ini telah lama Senu harapkan. Di mana saat dirinya terbangun, ada malaikat kecil yang terlelap dalam pelukannya. Senu meyeringai, mimpinya secara perlahan mulai terwujud. Dan tinggal menunggu waktu, hingga Affa benar-benar jatuh dalam pelukannya dan takluk dalam kuasanya.
Kini Senu menggigiti puncak hidung Affa, meminta agar gadis itu segera bangun. Dan berhasil, kini Affa mulai merengek dan membuka matanya secara perlahan. Sen tersenyum, walaupun Affa tak bisa melihatnya. Mata Affa masih belum berfungsi, Senu akann mengebalikan penglihatan Affa nanti jika waktunya telah tiba.
“Pagi sayang, ayo bangun dan mandi.” Senu menarik tangan Affa dan membuat gadis itu duduk di atas ranjang. Tampaknya Affa belum sepenuhnya bangun dari tidurnya, matanya yang semula terbuka kini telah tertutup kembali dengan erat.
Senu dibuat gemas dengan tingkah Affa, ia dengan jail meniupi bulu mata Affa. Dan refleks, Affa menggerakan tangannya menampar sumber penggaggu. Senu sendiri terdiam karena kaget, ia tak menyangka akan mendapatkan tamparan pedas dari Affa. Ia mendesis marah, dan membuat Affa sadar jika yang barusan ia tampar tak lain adalah Senu.
“Ma-maaf, Affa gak sadar. Tadi Affa kira, bukan Se-senu.” Lidah Affa terasa berbelit, karena tak terbiasa berbicara dengan gaya seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, itu yang diminta oleh Senu. Dan Affa tak bisa menolak, atau dia akan mendengar ancaman yang melibatkan kakaknya.
Senu yang melihat tangan Affa yang bergetar pelan, merasa terenyuh. Ia menangkup wajah Affa dengan lembut. “Hus tenanglah, aku tidak marah. Sekarang kau harus mandi, dan aku akan memasak.” Senu mengangkat Affa, selama perjalanan, Senu ertanya pada Affa, “Untuk sarapan, kau ingin sarapan apa?”
Affa sempat terdiam beberapa saat sebelum menjawab, “Apa aja, asal Senu yang buat,” jawab Affa. Hei, jangan kira bahwa Affa memang ingin berkata seperti itu. Ini adalah rencana Affa. Setelah menghabiskan hari dengan Senu, Affa telah bisa membaca apa yang disenangi oleh Senu. Pria misterius itu, sangat senang jika Affa bersikap manja dan menurut.
“Affa udah lapar banget, Senu cepetan masak ya. Affa bisa mandi sendiri kok,” ucap Affa saat Senu membuat dirinya duduk dan berniat membuka satu persatu pakaian yang ia kenakan.
Senu terdiam untuk beberapa saat, hingga ia mnyetujui permitaan Affa. Ia tak munngkin membiarkan Affa untuk terus kelaparan. “Ya sudah. Semuanya telah siap, kau tinggal masuk ke dalam kolam berendam. Tapi, ingat saat sudah selesai mandi panggil aku dan jangan ke luar sebelum aku datang. Affa menangguk paham. Setelah memastikan semua aman. Senu meninggalkan Affa yang mulai melepaskan pakaiannya, ia harus memasak untuk malaikat kecilnya.
Saat akan memasuki dapur, Senu terlebih dahulu mengecek ponsel Affa yang sejak kemarin terus mendapatkan pesan masuk. Untuk pesan dari Guntur, Senu segera membalasnya. Namun untuk pesan yang dikirimkan oleh Ghuan, Senu sama sekali tak membukanya dan segera menghapusnya.
***
Ing mengunyah batagor miliknya dengan semangat. Sedangkan matanya fokus menatap layar laptop dihadapannya, yang dipenuhi oleh kode-kode yang tidak mudah dimengerti oleh siapa pun. Termasuk Ghuan, pemuda berwajah datar itu menatap Ing yang mengabaikan dirinya sejak tadi.
“Heh Bang Ing, gue dari tadi curhat loh. Lo kagak dengerin gue ya?” tanya Ghuan sembari mengacak-ngacak batagor di piringnya.
Tapi Ing tak memberi reaksi apa pun, ia kini malah sibuk menarikan kesepuluh jemari tangannya di atas keyboard laptop. Raut wajahnya yang biasanya konyol, telah menghilang entah ke mana. Ghuan medengus keras. Ia kini menopang dagunya dengan malas, matanya mengamati pengunjung kantin yang berlalu-lalang. Ghuan juga memberikan tatapan dingin pada siswi-siswi yang tampak memandangi dirinya serta Ing dengan penuh minat. Tapi bukanya kesal mendapatkan tatapan seperti itu dari Ghuan, mereka malah histeris karena tatapan Ghuan yang membuat hati mereka meleleh.
“Kyaaa Ghuan liatin gue!!”
“Eh dia liatin gue kali!!”
Lagi-lagi Ghuan mendengus karena hal tersebut. Ia benar-benar bad mood. “Wuihh jangan kesel mulu mas bro. Lo kesel karena cewe itu gak bisa dikabarin kan? Yah parah, kayaknya doi kesemsem sama bule,” ucap Ing sembari menyeruput es teh manis yang ia beli.
“Nah itu, btw cewe yang lo maksud itu, punya nama. Dan namanya itu Affa. Terus, gue yakin dia gak mugkini tertarik sama bule. Buat apa sama bule? Kalo jelas-jelas yang lookal lebih berkualitas.”
“Iya deh iya. Tapikan lo juga bukan asli produk lokal, lo kakn Cipok!! Alias Cina Depok. Tapi sekarang gue gak mau ngomongin maslah itu. Gue ada informasi penting nih. Tapi gue harus konfirmasi sesuatu dulu sama lo.”
“Konfirmasi apaan? Lo kayak orang bener aja,” Ghuan menjawab sambil mengorek lubang hidungnya yang terasa gatal.
“Si anying, jangan ngupil kek, gue baru aja mau nyuap.” Tapi Ing tidak meletakkan sendoknya, melainkan kembali menyuapkan satu sendok siomay hingga memenuhi rongga mulutnya.
“Berenti dulu makanya, katanya lo punya informasi.”
“Oke jadi gini, Affa itu penghuni baru rumah nomor 23 bukan?”
Ghuan mengangguk dan menyipitkan matanya, menerka-nerka apa yang akan dibicarakan oleh Ing.
“Lo udah tau, dan masih mau ngedeketin dia?” tanya Ing tak percaya.
“Tunggu, jangan bilang kalau lo percaya tentang rumor yang beredar itu?” Ghuan hampir tertawa, tak percaya jika Ing, sahabatya yang paling rasional dan jenius bisa termakan oleh rumor.
“Calm down dude!! Gue Cuma tanya doang. Nah sekarang, gue mau kasih tau informasi yang udah tadi gue cari.” Ternyata tadi, Ing sibuk dengan laptopnya tengah mencari informasi mengenai Affa.
“Apa informasinya?”
“Tapi gue harap lo gak heboh ya. Affa sebenernya gak kemana-mana,” jawab Ing singkat.
“Tunggu gue gak ngerti.”
“Ye dasar bego!!! Jadi, tadi gue cek kalo Affa sama sekali gak beli tiket dan terbang ke mana pun. Dan gue lacak, HP dia ada di alamat rmah nomer 23 itu.”
Ghuan terdiam beberapa detik sebelum berdiri sembari menggebrak meja dan berteriak terkejut, “Apa?!!!”
***
Affa masih terisak pelan di atas pangkuan Senu. Senu sendiri tampak memejamkan matanya mencoba menenangkan diri agar tak kembali meledak marah pada Affa. Bagaimana dirinya tak marah ke pada Affa, tadi pagi Senu dengan jelas telah memperingatkan Affa agar tak ke luar sendiri kamar mandi. Bukan apa-apa, Senu hanya takut Affa terluka karena kondisinya yang masih belum bisa meihat. Tapi Affa hanya mengiyakan tanpa melaksanakannya. Saat Senu kembali setelah memasak, ia menemukan Affa terduduk di lantai kamar mandi dengan wajah memerah karena tangisnya.
Seketika Senu marah besar, karena Affa tak menuruti perintahnya dan malah celaka karena ulahnya sendiri. Ia segera mengangkat Affa dan membawanya ke dalam kamar. Dengan teliti Senu memeriksa setiap jengkal kulit Affa, ia bisa bernapas lega karena Affa tidak memiliki luka apa pun, hanya saja setelah ditanya beberapa kali mengapa Affa menangis seperti itu, akhirnya Affa mengakui jika pantatnya terasa sakit karena jatuh tadi.
Senu ingin tertawa saat mendengar jawaban tersebut. Tapi ia tak tega melihat malaikat kecilnya tersebut menangis karena merasa sakit. Tapi apa daya, Senu tak memiliki obat untuk menyembuhkan rasa sakit tersebut. Senu hanya bisa membiarkan hal tersebut, karena ia yakin sebentar lagi rasa sakit tersebut pasti menghilang.
Dan setelah memakaikan gaun rumahan untuk Affa, Senu segera membawa Affa ke ruang keluarga dan menyuapi Affa makan. Tapi, Affa kesulitan mengunyah dan berkali-kali tersedak karena tangisnya. Itu membuat Senu frustrasi. Wajah Affa bertambah merah serta tangisnya semakin kuat saja dari waktu ke waktu. Senu mengusap wajahnya dengan kasar.
Hingga tiba waktu makan siang, Senu tak lagi berusaha menyuapi Affa, dia hanya membiarkan Affa terus menangis di atas pangkuannya. Televisi juga Senu biarkan menyala, menayangkan acara kartun kesukaan Affa. Suara televisi dan tangis Affa seakan bersahut-sahutan. Sedangkan Senu bersandar pada sofa dan memeluk perut Affa yang duduk memunggunginya.
Setelah tangis Affa mereda. Senu membuka matanya, ia mengangkat Affa dan mendudukkan Affa di atas sofa. Lalu, ia segera beranjak ke dapur dan menghangatkan masakannya tadi pagi. Setelah itu ia kembali ke tempat Affa.
"Ayo, sekarang makan siang. Jangan menangis lagi, atau kau akan kembali tersedak." Senu tampak lega, saat Affa menurut dan tak lagi menangis. Ia menyuapi Affa dengan telaten, hingga isi piring tandas.
"Mau tambah?" tanya Senu.
"Enggak mau. Affa kenyang," jawab Affa dengan lirih. Senu meletakkan piring dan membantu Affa untuk minum. Setelah minum, Affa segera digendong oleh Senu. Affa tampak lemas dan menyadarkan kepalanya di bahu Senu. Senu sendiri sudah bisa menebak hal ini. Ia mempercepat langkahnya dan memasuki kamar Affa.
Langkah kaki Senu membawa dirinya menuju sudut kamar Affa, dengan sedikit usaha ia membuka bagian lantai kayu yang menghubungkan kamar Affa dengan ruangan tersembunyi. Affa tampak nyaman dengan kondisinya, ia makin terbuai saat Senu kembali melangkah dan membuat dirinya seperti tengah terombang ambing di udara. Setelah melewati lorong panjang yang gelap. Kini, Senu dan Affa tiba di sebuah ruangan remang-remang yang cukup luas. Senu kembali merebahkan Affa di atas ranjang serta ikut berbaring di samping gadisnya.
"Sekarang kau harus tidur siang." Senu mulai mengusap-ngusap perpus Affa dengan lembut. Tapi, Affa menggelengkan kepalanya. "Affa gak ngantuk." Affa berbicara seperti itu, namun matanya tampak sayu saat menatap Senu tanpa fokus.
"Kau mengantuk, sebentar lagi pasti kau akan tidur," ucap Senu sembari menyusupkan tangannya kedalam gaun Affa. Dan bagai sebuah mantra, Affa memang secara perlahan menutup matanya dan jatuh tertidur dengan dengan lelap, ia bahkan mendengkur pelan. Senu dengan telaten terus mengusap perut Affa, memastikan agar Affa benar-benar jatuh tertidur.
Dan setelah Senu puas memastikan, ia bangkit dan menyelimuti Affa. Ia merogoh ponsel Affa dan mengecek pesan-pesan masuk. Tapi Senu malah mendapatkan sebuah kejutan yang membuatnya marah. "Sepertinya ada cecunguk yang berusaha menantang diriku. Baiklah, aku akan melayaninya."
Senu meletakkan ponsel tersebut di atas meja, dan kembali naik ke atas ranjang. Ia harus membuat rencana tambahan untuk menyingkirkan beberapa cecunguk kurang ajar yang mulai mengganggu rencana utamanya untuk mendapatkan Affa. Ia memeluk Affa dengan erat, dan menciumi leher Affa dengan gemas.
Ia tersenyum setelah mendapat sebuah ide yang brilian. Ah ia tak sabar menunggu rencana barunya dimulai. Dan saat itu dimulai, Senu yakin satu persatu pengganggu itu akan menghilang dari kehidupan Affa. Ah jika boleh, Senu memilih untuk menghilangkan mereka semua dari dunia ini. Tapi, ia tak boleh melakukan hal itu. Malaikat kecilnya tak akan senang, iya bukan? Ah tapi, jika Affa tak mengetahuinya, bagaimana Affa bisa marah? Yang perlu Senu lakukan adalah, melakukan semuanya dengan rapi. Dan semuanya akan baik-baik saja.
Senu tersenyum dengan pemikirannya. Ia tersenyum dan mencuri sebuah kecupan di bibir Affa. Kemudian, ia mengikuti Affa dengan menutup mata dan masuk ke dalam dunia mimpi. Menunggu waktu untuk melancarkan rencananya.