Ah, sial aku sepertinya tertangkap basah lagi dan aku yakin yang berbicara itu bukanlah Dwi melainkan sosok hantu yang beberapa hari ini menempel di tubuhnya. Seketika duit menghentikan permainannya dan perlahan memalingkan wajahnya untuk menatapku. Senyum seringai terbias dari wajahnya matanya yang tajam dan memerah menatapku dengan tajam. Tanpa babibu lagi segera kepalan tanganku ini memukul wajah dan punggungnya berharap hantu yang menempel pada tubuh Dwi segera keluar.
Aneh, hantu itu tidak keluar dari tubuhnya yang membuatku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sosok hantu yang menempel pada tubuh Dwi pun aku tidak melihat wajahnya, padahal rambutku yang panjang dan lurus ini setelah tergerai tanpa menggunakan jimat pemberian Wentira.
Jangan-jangan Apa yang diucapkan Mahesa salah. Padahal malam itu Mahesa dengan yakinnya memberitahuku dengan satu pukulan saja cincin ini akan melumpuhkan sosok hantu yang menempel pada manusia. Apakah sengaja dia membohongiku. Jujur saja aku masih ketakutan beberapa kali aku meneguk ludahku sendiri bingung dengan apa yang telah aku lakukan.
Dwi terus menatapku dengan tatapan yang tajam, bahkan dengan raut wajahnya yang dingin. Lebih herannya lagi, bukannya dia marah dan kesal padaku justru kini dia tersenyum. Senyuman Dwi penuh arti, yang bisa saja kita salah menafsirkan tentang keadaan yang sebenarnya terjadi. Perlahan tanpa kusadari aku mundur selangkah dan bersiap untuk berlari meninggalkan Dwi.
“Jangan khawatir aku hanya bercanda denganmu bukankah lama kita tidak bermain seperti ini. Teruslah bermain, jangan pedulikan aku lagi, hehehe!” .
Sekarang aku yakin bahwa yang berbicara denganku saat ini bukanlah Dwi yang sebenarnya melainkan sosok hantu yang menempel di tubuhnya. Namun strategi yang diberikan Mahesa tidaklah berguna dan saat ini hanyalah lari yang bisa aku lakukan.
Dengan berjalan mundur aku perlahan menjauhi Dwi tentu saja aku takut jika harus membelakangi pria yang sudah bukanlah temanku lagi. Tetapan wajah pria itu masih sama. Aku tidak berani memberikan bagian belakang tubuhku kepada Dwi, tentu saja aku takut jika sesuatu akan terjadi padaku.
Setibanya di pintu aku meraba-raba di mana letak knok pintu itu berada. Setelah menemukannya aku memutar knock itu beberapa kali sembari mendorong pintu agar terbuka. Namun pintu itu sama sekali tidak terbuka dan bahkan bisa jadi pintu itu terkunci. Tuhan apa yang harus aku lakukan? Jantungku berdetak kencang dan dadaku semakin menyesak sehingga membuatku sulit untuk bernafas.
Pria yang pernah dipanggil pria bodoh itu beranjak dari duduknya dan mendekatiku. Tanganku gemetar, meskipun kita masih seumuran tentu saja aku masih takut. Tak ada jalan lain lagi tubuhku sudah menempel pada dinding kamar yang memudahkan Dwi untuk menghampiriku. Anak itu mengulurkan tangannya dan menarik leherku dan aku hanya mampu mempertahankan agar apa yang dia inginkan tidak terjadi.
“Dwi lepaskan aku. Ini aku Lintang teman kamu!” tangannya yang dingin masih menempel di leherku.
“Jangan menggangguku atau kamu akan mati di tanganku!” ucapan dia begitu mengerikan dan tentu saja aku yakin, jika dia tidak bermain-main dengan ucapannya. Aku merasakan tekanan di tangannya semakin berat dan aku hampir tidak bisa bernapas. Terpaksa aku meminta belas kasih duit agar dia mau melepaskan cengkeraman tangannya.
Mata Dwi memerah, seakan penuh amarah, perlahan bola matanya yang hitam memudar dan berubah menjadi warna putih. Sementara cairan hitam pekat keluar dari mulut Dwi tentu saja cairan itu adalah darah karena aku mencium bau amis. Wajah anak bodoh itu pun berubah layaknya seperti kakek tua. Kini wajahnya berubah, mungkin saja itu adalah wajah hantu yang yang menempel di tubuh Dwi.
Ingin rasanya aku berteriak namun cengkeraman itu semakin kuat hingga membuatku sulit untuk bernafas apalagi untuk berkata-kata. Wajah yang berada di hadapanku mirip sekali dengan sosok hantu yang aku lihat di kuburan malam itu. Mungkin saja sosok hantu itu mengikuti Dwi saat dia melihat reog sebelumnya.
Aku mencoba kembali memukul lengan pria itu, tapi cincin itu tetap tidak mengenai sasaran dan percuma saja hantu itu masih menguasai Dwi. Kesadaranku mulai kabur, aku tidak bisa bernapas, bahkan aku tidak bisa merasakan keberadaan tubuhku, dan otak ku benar-benar kosong. Tepat ketika aku berpikir, aku akan mati, pria itu tiba-tiba melepaskan, dan aku jatuh ke tanah dengan lemah, terengah-engah.
Dalam keadaan tubuh yang masih lemas Aku masih mendengarkan suara langkah kaki mendekat dan tiba-tiba terdengar suara seorang pria memanggil-manggil Dwi. Tentu saja itu adalah suara pak lurah yang memanggil Dwi, bahkan teriakannya pun masih terdengar di telinga.
Pak Lurah terus memanggil Dwi agar dia keluar kamar karena banyak tamu yang ingin bertemu dengannya. Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan itu adalah Pak Lurah. Jelas sekali terlihat oh Pak Lurah itu kaget menatapku. Dihapus segera mendekat dan membantuku berdiri.
“Bukankah kamu Lintang. Apa yang terjadi padamu, Nak.’
Setelah aku berdiri aku menyandarkan tubuhku di tembok sembari menatap Dwi yang tadi hampir saja membunuhku. Namun kali ini wajah Dwi kembali seperti biasanya Tidak seperti wajah pria tua yang tadi mencekik leherku.
“Dwi apa yang sudah kamu lakukan kepada Lintang kenapa kamu membuat dia seperti ini!” seru Pak Lurah.
“Ayah bukan aku yang melakukannya, tapi dia terjatuh sendiri saat bermain denganku di sini. Bukankah begitu lintang?” tanyanya yang hanya aku beri jawaban dengan anggukan kepala.
Beberapa kali pak lurah menatapku dan kembali menatap Dwi yang duduk di kursi. “lebih baik kamu istirahat dulu. Baru nanti sore biar Dwi yang mengantarkanmu pulang.”
Tentu saja aku ketakutan jika harus berada di kamar Dwi tadi saja dia hampir membunuhku dan aku tidak ingin itu terulang kembali titik terpaksa aku pun berpamitan kepada Pak Lurah dan segera lari dari kamar Dwi. Seperti orang gila aku berlari begitu kencang meninggalkan rumah Dwi agar segera sampai di rumah bahkan aku sampai lupa bahwa tadi meminta Gembul untuk menungguku di luar rumah. Ah, biarkan saja dia pasti akan pulang dengan sendirinya.
Setibanya di rumah, Bu lek Dar yang sedang bersiap-siap untuk bekerja seakan menatapku heran dan saat itu juga dia bertanya, “Kenapa rambut kamu tergerai. Di mana penjepit rambut kamu?” tanya Bulik yang membuatku tersentak kaget, karena lupa tidak mengenakannya lagi. Segera aku meraba sakuku dan memperlihatkan kepada bulik.
“Maaf Bulik tadi terlepas karetnya!”
“Ya sudah sana cepetan masuk dan mandi. Lihat bajumu kenapa bisa mandi keringat seperti itu.”
Aku pun mengangguk dan segera pergi ke kamar mandi dan setelah itu aku mendekati Bulik yang sedang makan.
“Bulik mau berangkat kerja?” tanyaku berbasa-basi.
Tak ingin melewatkan waktu, aku pun segera bertanya kepada Bulik tentang keluarga Pak Lurah, terutama Dwi. Dan jawaban yang aku dapatkan tidak sesuai harapan. Kata Bulik itu wajar kalau Dwi bisa normal kembali.
Ada yang aneh dengan jawaban Bulik, padahal Bulik Dar adalah seorang Cenayang yang tentunya dia akan tahu apa yang terjadi pada Dwi. Aku hanya berfikir Bulik tidak mau berbagi denganku.
“Bulik kerja dulu. Jaga rumah baik-baik ya!”