Bulik Dar adalah Adik kandung ayah, beliau belum pernah menikah. Dia bekerja di sebuah pabrik pembuatan roti. Setiap harinya bulik hanya bekerja separuh waktu di sana karena separuhnya lagi Bulik akan bekerja di kebun. Terkadang beberapa orang datang kemari untuk meminta bantuan bulik. Biasanya mereka yang kemari karena masalah yang berhubungan dengan hal ghaib. Jujur saja bulikku tidak bisa melihat hantu Tapi dia bisa merasakan keberadaannya dan bahkan bisa membantu mengobatinya. Di luar sana bulikku cukup terkenal, apalagi saat bulik membantu melahirkanku dari ibuku yang sudah meninggal. Sementara itu ayahku yang kini tinggal di kota tidak pernah sekalipun mendatangiku. Aku tidak pernah menuntut Ayah untuk mencariku karena aku tahu dia pasti akan ketakutan ketika melihat wajahku
Dua hari ini banyak warga yang merasa kehilangan hewan ternaknya bahkan beberapa anjing yang biasanya menggonggong di desa sudah tidak terdengar lagi. Entah ke mana raibnya hewan-hewan itu.
Ketika malam tiba, aku yang sedang asyik menonton acara televisi tiba-tiba saja merasa terganggu, ketika suara ketukan pintu terdengar begitu jelas. Segera aku membukanya dan mendapati istri Pak Joko tetangga yang tak jauh dari rumah datang.
“Lintang, Bulik kamu ada?” tanya Bu Marni, istri Pak Joko.
“Ada, Bu. Silakan masuk?” Aku segera menuju ke dapur untuk menemui bulik dan mengatakan bahwa ada Bu Marni yang sedang menunggunya di ruang tamu. Dari pembicaraan yang aku dengar Bu Marni meminjam telur ayam untuk ia hidangkan kepada putranya. Kedatangan Bu Marni tak hanya sekedar meminjam telur, dia pun juga bercerita bahwa semua ayam di kampung ini banyak yang mati sedangkan telur-telur yang berada di kandang pun pecah semua.
Aku sedikit tertarik dengan pembicaraan Bu Marni dan bulik. Meskipun mata ini sedang menonton acara televisi, tapi pendengaranku fokus mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Tak hanya ayam, kambing, bahkan anjing pun banyak yang menghilang dari kampung secara perlahan-lahan.
Ada sesuatu yang membuat hatiku sedikit terasa sakit, ketika Bu Marni bertanya kepada bulik apakah fenomena ini terjadi karena aku dianggap sebagai tersangka utama atas menghilangnya semua hewan peliharaan yang ada di kampung.
“Bukankah tahun ini Lintang akan berumur 11 tahun?” tanya Bu Marni.
“Itu benar, Bu.”
“Bukankah bulan ini kita akan mengadakan ruwatan untuk desa. Dan aku yakin semua ini ada hubungannya dengan Lintang!”
“Bukan, Bu. Lintang sudah tidak membawa kutukan buat desa. Jadi ini tidak ada hubungannya dengan kejadian ini!” tegas Bulik mencoba menjelaskan kepada Bu Marni.
"Tapi tetap saja, keponakan kamu itu pembawa sial bagi desa kita!" sahut Bu Marni.
“Justru aku mendengar dari beberapa warga, mereka melihat anjing-anjing itu menggonggong di rumah kepala desa dan setelah itu suara gonggongan itu tidak terdengar lagi. Hanya saja aku belum tahu pastinya, apakah yang mereka bicarakan itu benar adanya."
Aku cukup tercengang dengan apa yang dikatakan oleh bulik. Ternyata bulik mengetahui semuanya. Tak hanya aku, Bu Marni pun yang baru saja mendengar apa yang dikatakan oleh bulik sekaan membuat semua bulu kuduk meremang dan berdiri. Sejenak aku melihat Bu Marni dengan tangan yang gemetar sembari bibir bawahnya ia gigit sendiri.
Memang ada beberapa rumor baru-baru ini, dan aku samar-samar merasa bahwa masalah ini pasti ada hubungannya dengan Dwi, lebih tepatnya, ini ada hubungannya dengan hantu yang melekat pada Dwi. Aku tidak tahu siapa hantu itu, apa latar belakangnya, bagaimana dia bisa berpikir untuk mencuri anjing itu, dan bahkan menguliti dan mencabik-cabiknya? Rumor yang sangat mengerikan. Tentu saja itu adalah tindakan kejam bagaimanapun binatang-binatang itu adalah makhluk ciptaan Tuhan. Bu Marni pun segera berpamitan, karena telur kampung yang tadi meminta kepada Bu Marni.
“Kebetulan saya juga mau ke warung beli kopi,” ucap Bulik sembari dia mendekatiku lalu berpamitan.
Segera setelah Bu Marni dan Bulik pergi aku segera menuju ke pintu depan dan menuju halaman rumah untuk mengambil beberapa jimat yang dipasang oleh Bulik Dar. Semua itu aku lakukan dengan harapan Mahesa akan datang menghampiriku karena aku ingin menanyakan kepadanya tentang banyak hal tentang apa yang terjadi pada Dwi.
Malam pun berkunjung Aku berharap Mahesa segera datang tepat waktu, sembari menunggu kedatangannya aku fokuskan Indra pendengaranku, benar saja yang dikatakan oleh bulik bahwa tidak ada anjing lagi yang menggonggong.
“Jahat sekali aku harus segera membantu Dwi agar terlepas dari gangguan,” gumamku.
Di sudut jendela aku mengedarkan pandangan keluar ruangan hanya ada bulan sabit dan bintang yang bertebaran di langit. Cukup lama aku menunggu, namun seseorang yang diharapkan tidak kunjung datang. Beberapa jimat sudah aku simpan berharap Mahesa akan datang secepatnya karena aku ingin menanyakan bagaimana caranya menghancurkan hantu yang telah menempel di tubuh Dwi.
Angin datang berhembus, rambutku yang tergerai pun menjadi acak-acakan. Alih-alih menunggu Mahesa datang justru penampakan sosok wanita berterbangan dengan menggunakan gaun berwarna putih muncul di hadapanku. Tak hanya itu beberapa benda seperti ranjang lemari bahkan pintu kamar pun berderit seakan ada sesuatu yang bergerak di dekatnya.
Pandanganku kini tertuju kepada sosok wanita itu dia sudah tidak melayang, tetapi dia berdiri menetap ke arahku dengan rambutnya yang menjuntai ke bawah dan menutupi sebagian wajahnya membuatku bergidik ketakutan. Beberapa kali aku menelan ludahku sendiri dan menggigil kedinginan. Sepertinya aku memiliki firasat buruk tentang hal ini.
“Lintang.” Suara wanita yang jauh datang dari belakang telingaku dan sebuah tangan dingin menekan bahuku dengan keras. Aku berteriak ketakutan, dan tangan itu tiba-tiba menarik kembali.
“Lintang ada apa?” tanya Bulik.
Suara bulik terdengar dari balik pintu dan segera aku pun membukanya, “tidak apa-apa Bulik tadi aku hanya terjatuh makanya aku berteriak.”
“Tapi kamu tidak apa-apa kan?” tanya Bulik memeriksa ruangan kamarku.
Aku hanya menggelengkan kepala dan mengatakan pada bulik bahwa aku ingin segera tidur. Tentu saja aku tidak mungkin untuk memberitahu buluk jika aku baru saja melihat sesosok kuntilanak yang mengawasiku dari luar rumah. Karena kalau bulik tahu aku telah mengambil jimat-jimat yang berada di depan rumah tentunya dia akan marah padaku dan parahnya lagi, Bulik akan mengecek jimat yang Mahesa tidak akan bisa menemuiku.
Aku menatap kembali ke luar ruangan, tapi kuntilanak itu sudah menghilang. Diam-diam aku menghela nafas lega, duduk dan berkeringat dingin. Bulik menatapku curiga untuk beberapa saat dan bertanya, “Apakah kamu ingin aku tidur denganmu? “Tidak!” seruku menolak.
“Kamu yakin!” Aku mengangguk, dan ketika aku melihatnya berbalik untuk menutup pintu, aku menghentikannya. “Bulek, bagaimana aku bisa menemukan Kakak Mahesa, aku ingin melihatnya.”
Bulik terkejut sejenak, lalu tiba-tiba tersenyum. “Kenapa kamu ingin melihatnya?"
“A...aku hanya ingin melihatnya.”
“Apakah kamu tidak takut padanya?”
Akan tetapi jika dibandingkan dengan setan-setan yang mengerikan itu, kuntilanak tadi adalah hantu tercantik yang pernah aku lihat. “Tidurlah dan berhenti memikirkan dia."
Aku duduk di tepi ranjang sembari memikirkan Mahesa yang belum datang juga padahal aku ingin segera membantu Dwi agar dia segera terlepas dari gangguan hantu-hantu itu.
Terdengar Bulik berteriak dan memintaku untuk mematikan lampu. Segera aku pun beranjak dan hanya menyalakan lampu tidur di kamar.
Aku tidak mengatakan apa-apa, lalu aku mendengar bulik menutup pintu, dan setelah itu terdengar ada suara mematikan lampu, dan seluruh ruangan jatuh ke dalam kegelapan lagi. Ada hawa dingin yang tak terlukiskan di ruangan itu, membuat tubuhku menggigil. Aku menarik selimut tipis dari sudut tempat tidur dan menutupi kepala, tubuhku berkeringat, tapi aku tidak berani menjulurkan kepalaku.