Tulah
Namaku Lintang Ayu Shakara Maharani, mahasiswi salah satu universitas di Solo. Tapi, hidupku bukanlah tentang kuliah, tugas, atau teman-teman. Ada urusan lain yang lebih mendesak: hantu. Ya, aku adalah cenayang, warisan "menyenangkan" dari keluargaku. Semua karena tiga pusara di rambutku yang membentuk segitiga misterius.
"Kutukan Jaka Lelana," begitulah warga menyebutnya. Sialnya, aku lahir di malam ruwatan, bertepatan dengan gerhana bulan, saat Jaka Lelana, pendiri Desa Wiru, mengancam akan bangkit jika ada bayi lahir dari darah Wiru dan rahim Cangkiran. Bayangkan betapa seramnya desas-desus itu di telinga bocah 10 tahun sepertiku!
Warga? Mereka ketakutan setengah mati. Anak-anak di desaku dilarang mendekatiku, bahkan menatapku. Orang bilang, tatapanku membawa petaka. Jelas, bukan reputasi yang bagus untuk seorang gadis yang hanya ingin bermain layangan di sore hari.
Tapi yah, hidup tidak pernah sederhana kalau kau anak cenayang. Ibu meninggal saat aku lahir, ayah kabur entah ke mana, dan aku diasuh Bulik Dar, adik ayah yang... ya, tidak jauh berbeda dariku. Dia juga cenayang, hanya saja lebih berpengalaman—dan lebih sering meringis tiap kali roh jahat datang mengetuk pintu rumah.
Bulik memberiku nama yang artinya *Putri pembawa cahaya keberuntungan*. Ironis, kan? Hidupku lebih mirip magnet untuk makhluk halus, bukan keberuntungan. Setiap tahunnya, pada malam ruwatan, pasti ada yang meninggal dengan cara tragis. Dan anehnya, semua menyalahkanku. Kata mereka, aku menukar nyawaku dengan nyawa mereka. Seru, kan?
"Nyawa diganti dengan nyawa!" begitu warga berbisik di belakangku. Bagus sekali, seperti adegan drama supernatural tapi tanpa sutradara.
Semuanya berubah ketika aku menstruasi di usia 10 tahun. Mata ajnaku, pusat energi mistik, terbuka, dan dunia di sekelilingku tidak pernah sama lagi. Roh-roh mereka yang tewas mendadak di malam ruwatan mendatangi rumahku, menuntut balas.
Aku ingat malam itu, Bulik Dar langsung panik dan menyeretku masuk ke lemari. "Jangan keluar sebelum Bulik bilang ya!" katanya dengan wajah pucat. Aku hanya bisa mengangguk sambil memeluk lutut, bingung setengah mati.
Tengah malam, suara gaduh di luar terdengar. Tapi aku terlalu takut untuk bergerak, apalagi keluar. Akhirnya, ketika Bulik kembali, dia tampak lelah dengan wajah berlumuran darah. "Jangan khawatir," katanya dengan senyum lemah, "semuanya sudah beres... untuk saat ini."
Dia membawaku ke padepokan untuk bertemu seseorang bernama Wentira, pria dengan gaya serba hitam dan aura misterius. "Anak ini punya tiga pusara di kepalanya, dan itu menarik energi negatif," katanya sambil mengamati rambutku seperti sedang menilai benda antik.
"Dia tidak akan bertahan lebih dari dua puluh tahun jika tidak menikah," lanjutnya, membuatku terkejut. Menikah? Di usia 10 tahun? Serius?
"Lintang, Bulik akan mencarikan kakak laki-laki untuk menjagamu," kata Bulik Dar, mencoba menenangkanku. Tapi aku hanya bisa menangis. Bayangan pernikahan di usia segitu benar-benar menakutkan.
Wentira memberiku rajah penangkal, kain berisi aksara Jawa yang harus dipakai di mata kiriku jika rambutku tergerai. Rupanya, rambutku yang unik ini bisa memprovokasi hantu-hantu untuk datang menghampiriku. Seru, kan? Hantu-hantu dan rambutku bekerja sama untuk membuat hidupku semakin rumit.
"Tapi jangan kuatir," kata Wentira, "Selama kau menjaga pusara itu tetap terikat, kau akan aman."
Namun, hidup tidak pernah semudah itu. Bahkan dengan jimat dan penjepit rambut ajaib, hantu-hantu masih datang menghampiriku, terutama di malam-malam tertentu saat energi gaib memuncak.
Di satu sisi, ada kelebihan menjadi cenayang. Seperti ketika hantu tua bernama Pak Mul datang untuk mengeluh karena anak cucunya lupa menabur kembang di kuburannya. Aku tertawa sambil berkata, "Pak, saya mahasiswi, bukan petugas pemakaman!" Tapi tetap saja, aku harus menyampaikan pesan itu ke keluarganya, atau dia akan terus datang menghantuiku dengan keluhan yang sama.
Dari situ, aku mulai sadar bahwa kutukanku mungkin bukan kutukan sepenuhnya. Mungkin ini caraku membantu roh-roh yang tersesat, dan yah, mungkin sesekali, aku bisa sedikit menikmati momen kocak bersama hantu-hantu yang, jujur saja, lebih banyak mengeluh daripada menakut-nakuti.
Sudah hampir setahun sejak aku mulai kuliah. Siapa sangka, menjadi mahasiswi yang juga seorang cenayang itu lebih ribet daripada yang kubayangkan. Bukan soal dosen killer atau tugas yang numpuk, tapi soal hantu-hantu yang suka nongkrong di kampus! Serius, mereka lebih rajin datang ke kampus daripada aku sendiri.
Suatu hari, aku sedang duduk di kantin, menikmati es teh, ketika tiba-tiba muncul sosok seorang pria tua. Dia duduk di seberangku, menghempaskan tubuhnya di kursi dengan ekspresi kusut. Wajahnya tampak lelah, seolah baru saja melalui ujian skripsi paling mematikan.
“Mbakyu, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku, sambil berharap dia Cuma orang tua biasa, bukan hantu. Spoiler: dia hantu.
“Ah, akhirnya ada yang bisa lihat aku!” katanya dengan nada kesal. “Aku sudah keliling kampus ini berhari-hari, tapi nggak ada satu pun yang bisa bantu!”
Aku menghela napas. Tentu saja, siapa lagi yang bisa lihat dia kalau bukan aku, si cenayang malang yang lagi pengen makan siang damai. “Oke, Pak, ada apa?”
“Saya Pak Marno, dulu dosen di sini. Skripsi saya belum selesai. Saya nggak bisa tenang kalau belum kelar!”
Aku terdiam. Ini serius? Dosen hantu minta bantuin skripsi? “Pak,” kataku pelan, “sampeyan sudah mati. Saya rasa skripsi itu udah nggak perlu, deh.”
“Tidak!” Pak Marno bersikeras. “Aku harus kelarin ini! Kalau nggak, aku akan gentayangan selamanya di perpustakaan!”
Jadi, begitulah. Aku, Lintang Ayu, bukan hanya cenayang, tapi juga asisten dosen *hantu*. Bayangkan, membantu hantu dosen mengerjakan skripsi yang nggak akan pernah dia serahkan. Ini jelas bukan di job description cenayang manapun.
Tugas kuliah juga nggak kalah ribet, apalagi ketika hantu-hantu mulai ikut campur. Seperti hari itu, ketika aku sedang presentasi kelompok di depan kelas. Semuanya berjalan lancar sampai aku melihat sosok bocah kecil di sudut ruangan, melambaikan tangan kepadaku.
“Astaga, bukan sekarang!” bisikku dalam hati, mencoba mengabaikannya.
Bocah itu mulai merengek, berlari mendekat, menarik-narik ujung bajuku. “Mbak, main yuk! Aku bosan!”
Aku berusaha keras untuk tetap fokus. “Eh, mohon maaf, boleh nanti aja?” bisikku dengan setengah senyum, sementara temanku di kelompok sudah mulai menatapku heran.
“Kenapa bisik-bisik, Lintang?” tanya Sarah, teman kelompokku. “Ada yang salah dengan slide-nya?”
Aku langsung menggeleng cepat. “Ah, enggak, nggak ada apa-apa, kok! Lanjut aja!” Tapi jelas bocah hantu itu tidak mau menyerah. Dia malah naik ke meja dosen dan mulai berjingkrak-jingkrak di sana. Aku mencoba menahan tawa, tapi malah terlihat seperti orang yang menahan bersin. Hasilnya? Semua orang di kelas mulai melirik aneh padaku.
Selesai presentasi, Sarah langsung menghampiriku. “Lintang, kamu kenapa tadi? Kamu kelihatan kayak... errr, lagi ngobrol sama dirimu sendiri?”
Aku menghela napas panjang. Gimana caranya aku menjelaskan bahwa aku sedang mengusir bocah hantu yang lagi bosan di kelas? “Ah, nggak apa-apa, Cuma sedikit... pusing aja.”
Sarah mengangguk pelan, meski raut wajahnya jelas-jelas mengatakan, *’pusing apanya? Kamu kelihatan kayak ngobrol sama udara!’*
Malamnya, setelah seharian dipusingkan oleh hantu-hantu dan tugas kuliah, aku pulang ke kos dengan harapan bisa tidur tenang. Tapi, tentu saja harapan tinggal harapan. Saat aku baru saja merebahkan badan di kasur, terdengar suara ketukan di pintu. Sontak, aku menegang. Jam segini, siapa yang datang?
Aku mengintip dari celah pintu, berharap itu Cuma temanku yang mau pinjam charger. Tapi yang kulihat di balik pintu adalah... hantu Pak Slamet, tetangga sebelah kos yang sudah meninggal dua bulan lalu.
“Lintang, boleh pinjam garam? Mau bikin nasi goreng di rumah,” katanya dengan nada santai.
Aku menatapnya tanpa berkedip. “Pak... bapak kan sudah meninggal, buat apa masih masak nasi goreng?”
Pak Slamet menggaruk kepalanya yang mulai menipis, “Yah, sekadar nostalgia, Lintang. Lagian, nasi goreng favoritku kan buatan tanganku sendiri!”
Aku menghela napas panjang. “Pak, sebaiknya bapak istirahat dengan tenang aja, ya. Biar saya kirim doa aja, bagaimana?”
Pak Slamet tersenyum kecut. “Ah, sudahlah, mungkin besok aja kalau kamu ada waktu. Saya balik dulu, ya.”
Dan begitu saja, dia menghilang. Serius, hantu pun bisa minta garam tengah malam. Apa selanjutnya? Hantu minta resep?
Menjadi cenayang itu memang penuh kejutan. Setiap hari, ada saja hal aneh yang datang menghampiri. Tapi, setidaknya sekarang aku sudah mulai terbiasa. Yah, meskipun hidupku jauh dari normal, aku belajar untuk menertawakannya. Kalau tidak, bisa-bisa aku benar-benar kehilangan akal.
Dan siapa tahu? Mungkin suatu hari nanti, aku bisa buka konsultasi untuk para hantu, lengkap dengan tarif dan bonus nasi goreng untuk pelanggan setia. Lumayan kan, tambahan pemasukan buat bayar kos dan beli es teh!