Menikah

1214 Kata
“Kakak jangan berbuat macam-macam padaku. Aku ini masih kecil, Kak!” seruku mendorongnya pergi menjauh. “Aku hanya mengecup bibir kamu saja. Tapi kamu marahnya luar biasa,” ucapnya dengan beranjak berdiri sembari merapikan bajunya. “Tapi tindakan kakak itu sudah berlebihan. Di dunia manusia hal itu tidak diperbolehkan. Bisa-bisa kakak kena undang-undang tentang perlindungan anak. Kakak tahu Kak Seto, kan. Nah itu dia orangnya, nanti kakak bisa didatangi Kak Seto,” ucapku membabi buta. Dan ya, begitulah, aku lupa kalau dia hantu. Ingin rasanya aku tertawa ketika sadar dengan ucapanku sendiri. “Kak Seto dengan aku lebih tampan siapa?” tanya Mahesa yang tidak nyambung dengan ucapanku. “Kenapa Kakak tanya itu. Kak Seto itu sudah tua, ya jelas beda dong, Kak.” “Tapi aku kan lebih tua dari dia, ketampananku ini belum ada yang menyaingi. Apalagi Kak Seto yang kamu maksud itu, aku yakin dia tidak bisa melindungimu dari roh jahat,” ucapnya dengan tertawa lebar yang seketika membuatku menutup wajah dengan kedua tanganku karena malu. “Sudah! Lebih baik kakak pergi dari tempat ini. Aku lelah!” seruku. Dia menggelengkan kepala dan berkata,” tidak ada yang bisa mengusirku jika aku sedang ingin menemani istriku.” Aku pun memalingkan wajah dan segera berbaring di ranjang dan menarik selimut, berharap Kak Mahesa segera pergi. *** Aku tidak tahu kapan aku tertidur, tetapi ketika aku terbangun, matahari sudah menampakkan sinarnya. Semua itu terlihat dari cahaya yang masuk ke celah-celah jendela kamar. Perlahan aku membuka mata dan mengedarkan pandangan ke seluruh kamar untuk mencari Kak Mahesa, tapi lagi-lagi dia sudah menghilang dari pandanganku. Dengan meregangkan kedua tanganku aku mencoba untuk berdiri. Langkah demi langkah aku menyusuri rumah, tetapi tak menemukan Bulik dan hanya ada makanan yang sudah tersaji di meja yang telah disiapkan oleh Bulik Dar. Setelah sarapan pagi, aku bergegas mandi dan ingin pergi melihat Dwi. Seperti yang dikatakan Kakak, meskipun dia telah melarangku untuk ikut campur, tapi aku tidak bisa berpura-pura tidak tahu keadaannya. Aku hanya ingin memastikan ucapan Kakak. Di bawah teriknya sinar matahari, aku berjalan sendirian menuju rumah Dwi. Tak ada kawan itu sudah biasa bagiku. Sepanjang perjalanan aku selalu teringat dengan Kak Mahesa. Aku teringat dengan kecupan yang dia berikan semalam. Walau hanya sebentar, tetapi sentuhan itu cukup membuatku tersenyum sendiri. Sentuhan dingin dan lembut masih terasa di bibirku, sehingga otakku tidak beristirahat dan selalu memikirkannya. Kini usiaku akan menginjak 11 tahun. Meskipun terlihat masih seumur jagung, tapi aku sudah beranjak remaja. Di usiaku yang ke-10 aku bisa bernafas lega karena tak ada satu pun warga yang menjadi korban setelah aku menikah dengan Kak Mahesa. Tahun ini pun aku berharap seperti itu. Sekarang adalah musim panas dan pada siang hari aku seperti orang mandi yang tubuhnya banyak mengeluarkan keringat hingga membasahi kaos yang aku kenakan. "Gadis terkutuk!" panggil seorang pria yang sudah aku hafal suaranya. Dia adalah Gembul. Segera aku menoleh dan mendapati si gendut berlari-lari ke arahku. Perutnya yang buncit ikut naik turun seirama dengan gerakan kakinya. Jika melihat kedua kaki Gembul yang bengkak seperti kaki gajah, hal itu selalu membuatku ingin tertawa, meskipun dia selalu usil denganku. Pernah dulu dia membuliku dengan perkataannya yang menyakitkan dengan memanggilku ‘Gadis pembunuh’ dan sekarang dia memanggilku dengan panggilan ‘Gadis terkutuk'. “Gak perlu lari, aku melihatmu seperti itu seperti melihat gajah yang sedang berlari. Aku tidak terburu-buru untuk pergi!” teriakku tertawa karena melihatnya berlari ke arahku, terengah-engah untuk waktu yang lama. “Hufft, capeknya!” teriak Gembul dengan nafasnya yang tersengal-sengal. "Ada apa kau memanggilku?" tanyaku dingin, menatapnya menahan tawa. Pria gendut itu mengangkat kepalanya, sembari tangan kanannya menggaruk bagian belakang kepalanya, memberiku senyum malu sambil berkata, "Kamu tidak menikah dengan hantu bukan?” tanyanya yang membuatku kaget. “kamu itu yang hantu. Jangan bicara padaku lagi. " Aku berbalik untuk pergi dan Gembul menarikku kembali. Tangannya yang berkeringat menempel di tanganku, aku melepas tangannya dengan jijik dan kesal. “Jangan marah, aku hanya bercanda. Masa iya kamu nikah sama hantu!” ucapnya dengan mengacak-acak rambutnya sendiri. “Cepat katakan apa maumu. Tidak lihat apa matahari begitu terik begini!” ujarku. Seketika raut wajahnya yang sedari tadi tersenyum malu padaku Kini raut wajah Gendut menjadi gelisah. "Apakah kamu akan menemui anak itu?" tanyanya dengan melirik ke kanan dan kiri seperti melihat situasi yang sepi. "Maksudmu kamu Dwi. Memangnya kenapa? Apa hubungannya denganmu?" tanyaku kembali dengan kesal. Jika bukan karena si gendut itu, aku tidak akan mungkin terjebak di dalam kuburan. Apalagi karena kejahilannya aku harus melihat wajah-wajah mengerikan itu? “Itu, si bodoh itu sekarang aneh.” “Aneh apanya? Kamu itu yang aneh karena suka menggangguku dan Dwi!” kesalku. Aku masih ragu dengan ucapan Mahesa tentang Dwi yang ketempelan hantu. Namun, kau harus membuktikan semuanya, agar aku merasa tenang. Bagaimana pun kejadian ini karena kesalahan anak gendut itu. "Asal kamu tahu, anak i***t itu tidak bodoh lagi sekarang. Di rumahnya saat ini sedang ada pesta, Pak Lurah mengundang semua warga untuk merayakan Dwi yang sekarang tidak i***t lagi. Percayalah sama aku, ini aneh,” ungkap Gembul. Antara percaya atau tidak dengan ucapan Gembul. Namun, perkataannya membuatku terkejut. Aku tidak mengatakan sepatah kata pun dan memilih diam. Tanpa berpamitan aku segera melangkah dengan cepat menuju rumah Pak Lurah. Beberapa kali aku menengok ke belakang, dan Gembul terus mengikutiku. Seperti biasa perutnya melompat-lompat seiring dengan langkahnya yang cepat, terlihat sangat lucu. Aku yang sebenarnya kesal menjadi tertawa melihatnya. “Lintang tunggu!” Aku berhenti sembari berkacak pinggang menatap Gembul. “Apa yang kamu lihat di kuburan kemarin! Kamu benar kan bisa melihat hantu. Aku yakin apa yang dikatakan oleh warga kampung benar, bahwa kamu memiliki mata iblis!” ucapnya tanpa dijaga. Aku hanya meliriknya, dan mengabaikan ucapan Gembul. Namun, ia terus mengejarku. “Katakan padaku, hantu apa yang ada di sana. Kamu berlari dan meringkuk seperti orang ketakutan. Rasanya seperti orang gila, seolah-olah ada sesuatu yang menghantuimu." Aku tetap terdiam dan tak menjawab pertanyaan Gembul. Tanpa menoleh aku terus melangkah menuju ke rumah Dwi. Sementara Gembul bergidik dan bergumam, "Lupakan itu, aku tahu kamu bisa melihat hantu. Dan aku yakin itu kamu bukan manusia tapi keturunan iblis.” "Apakah kamu benar-benar percaya omongan warga.” "Aku sangat percaya, karena mata kamu berbeda dari mata kami, apalagi kamu gadis yang jahat. Setiap tahun di desa kita ada yang mati mengenaskan setiap kali diadakan ruwatan, bahkan saat ruwatan dihentikan justru pagebluk yang mengancam desa kita dan penyebab semua ini adalah kamu!” seru Gembul yang membuatku kesal. Aku memelototinya dengan berkacak pinggang. Setiap tahun di desa kami selalu saja ada yang meninggal tidak wajar. Pernah agar tidak terjadi hal yang serupa, Pak Lurah mencoba menghentikan acara ruwatan, dengan harapan agar tidak ada korban lagi. Namun, semua itu sia-sia, saat Pak Lurah tidak mengadakan acara merti desa, baik di kampung Wiru maupun kampung Cangkiran mengalami pagebluk. Banyak hasil bumi yang gagal panen, bahkan penyakit kulit menyerang seluruh warga. Dan parahnya lagi, Pak Lurah meninggal karena di gigit ular. Karena itulah Pak Lurah yang baru, diganti oleh ayahnya Dwi. Semua hal buruk itu aku menikah. “Semalam aku melihat sebuah kabut putih menyelimuti tubuhmu, aku kira itu adalah suami hantu mu. Namun, ketika aku hendak mencarinya, suamimu tidak terlihat.” “Terserah apa katamu, aku ada hal yang lebih penting daripada sekedar mendengar ocehanmu yang gak masuk akal!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN