“Kenapa, kamu menatapku seperti itu? Jangan takut! Lihatlah aku ini nyata, dan kamu bisa menyentuhku seperti menyentuh manusia lain!” Suaranya terdengar rendah namun tegas, dengan senyum tipis yang membuat wajah tampannya semakin mencolok. Perlahan, ia membelai rambutku, membuatku gemetar tanpa bisa mencegah.
Refleks, aku mundur beberapa langkah. Meskipun aku tahu dia tidak pernah menakutiku, tetap saja kenyataan bahwa Kak Mahesa adalah hantu membuat tubuhku kaku. Sekalipun dia terlihat seperti manusia biasa dan bisa kusentuh, tetap saja, dia bukan manusia.
Kak Mahesa tersenyum sambil mencincingkan matanya, membuat wajahnya semakin memancarkan daya tarik aneh. Aku merasa malu, tapi juga ketakutan. “Bagaimana kamu bisa masuk, Kak? Kalau datang tiba-tiba seperti ini, aku pasti ketakutan,” tanyaku dengan suara sedikit bergetar.
Dia tertawa ringan, tawanya begitu merdu namun terasa menusuk telinga. “Masuk? Tentu saja bisa. Apa yang tidak bisa aku lakukan untukmu?” jawabnya, menghentikan tawanya dengan tatapan tajam.
“Tapi...”
“Maksudmu pagar gaib rumah ini?” Ia memanyunkan bibirnya sambil tersenyum menggoda. Senyuman itu membuatku salah tingkah, seperti biasa.
Aku mengangguk pelan, rasa penasaran mulai mengalahkan rasa takutku. “Bagaimana kamu bisa menembusnya?”
Dia mendekat selangkah, menatapku dalam-dalam. “Semua itu tidak berguna bagiku. Karena... aku adalah roh, yang bisa menemuimu kapan saja!” Nada suaranya penuh penekanan, seolah sengaja menakutiku.
Aku mencoba mengatur napas, menatapnya dengan lebih tenang meskipun jantungku berdegup kencang. Sadar aku tak memberikan respon, Kak Mahesa melanjutkan, “Pagar gaib itu hanya untuk arwah gentayangan, jin jahat, atau makhluk lain yang berniat buruk. Tapi aku? Aku berbeda.”
Aku mulai merasa sedikit lega, meskipun bulu kudukku tetap meremang. “Jadi, pagar itu benar-benar tidak bisa menghentikanmu?” tanyaku lirih.
Dia mengangguk perlahan. “Tentu saja. Dan, jangan khawatir. Selama aku di sini, tidak ada roh jahat lain yang berani mendekatimu.”
Melihat senyumnya yang menenangkan, entah kenapa aku merasa sedikit lebih nyaman. Namun, rasa penasaran tentang cincin merah di jariku mulai menyeruak. Aku menatapnya dengan penuh pertanyaan.
“Cincin ini…” Aku melepaskannya dan melemparkannya ke arah Kak Mahesa. “Aku tidak menginginkannya lagi. Bawa pergi. Aku tidak butuh benda seperti ini!”
Dia menunduk, mengambil cincin itu, dan memandangnya sejenak sebelum kembali mendekatiku. Dengan lembut, ia meraih tanganku dan memasangkan cincin itu kembali di jariku. “Ini bukan sekadar cincin, Lintang. Cincin ini adalah pelindungmu, nyawaku, dan jaminan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang bisa menyakitimu.”
Aku terdiam mendengar penjelasannya, merasa bersalah atas emosiku barusan. “Jadi cincin ini benar-benar bisa melindungiku?”
Dia tersenyum simpul. “Bisa. Tapi hanya jika kamu percaya. Jangan pernah melepasnya, terutama saat kamu berhadapan dengan mereka yang terlihat. Mereka bisa menipumu kapan saja.”
Aku mengangguk pelan, mencoba memahami ucapannya. Namun, pikiranku tiba-tiba teringat pada Dwi, sahabatku. Aku ingin bertanya, tapi ragu. Sayangnya, Kak Mahesa selalu tahu apa yang ada di pikiranku.
“Temanmu itu? Dia hanya boneka,” ucapnya dingin, membuatku terkejut.
“Apa maksud Kakak? Dwi itu sahabatku!” protesku, merasa ada yang tidak beres dengan ucapannya.
Kak Mahesa menghela napas. “Dia dirasuki makhluk yang ingin mendekatimu. Kalau tidak ada cincin ini, kamu pasti sudah jadi sasaran mereka.”
Aku terdiam, menatap cincin merah di jariku dengan penuh rasa campur aduk. Entah kenapa, aku merasa ada beban yang lebih besar menantiku di masa depan. Saat aku memikirkan itu, tiba-tiba Kak Mahesa mendekat. Aku refleks mundur, namun ia mengangkat daguku dengan jarinya.
“Jangan takut. Aku di sini untuk melindungimu,” bisiknya pelan.
Tiba-tiba, dia mengecup dahiku dengan lembut. Aku terkejut, mataku terbelalak, dan tubuhku membeku. Kecupan itu tidak lama, hanya sebentar, namun cukup untuk membuat jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya.
“Kak Mahesa!” seruku dengan wajah memerah.
Dia hanya tersenyum penuh arti, lalu berbisik, “Jangan pernah takut padaku, Lintang. Aku ada untukmu.”
Aku menunduk, menghindari tatapan Kak Mahesa. Pipiku memanas, dan aku tidak bisa menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba menyelimuti.
“Kak Mahesa...” gumamku pelan, berusaha mencari kata-kata yang tepat, tetapi pikiranku terasa buntu.
Dia tersenyum tipis, kemudian melangkah mundur, memberikan jarak. “Aku hanya ingin memastikan kamu tahu bahwa aku di sini bukan untuk menakutimu. Aku ingin kamu merasa aman, Lintang.”
“Tapi… aku masih belum terbiasa dengan semua ini,” jawabku jujur, memberanikan diri menatapnya lagi. “Kakak ini hantu, dan aku… aku hanya manusia biasa. Bagaimana mungkin kita bisa menjalani semua ini?”
Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia berjalan ke arah jendela, menatap bulan yang menggantung tinggi di langit malam. “Aku tahu, semua ini tidak mudah untukmu. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Ikatan ini sudah ditetapkan jauh sebelum kamu lahir.”
“Ditakdirkan? Apa maksud Kakak?” tanyaku, bingung.
Dia menoleh ke arahku, matanya memancarkan kehangatan sekaligus kesedihan. “Kamu mungkin belum menyadarinya, Lintang. Tapi hidupmu tidak biasa. Kamu adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang sudah lama tersembunyi dari dunia manusia.”
Jantungku berdetak kencang mendengar ucapannya. “Apa maksud Kakak? Apa yang tersembunyi itu? Dan apa hubungannya denganku?”
Dia mendekat lagi, kali ini dengan ekspresi serius. “Lintang, kamu adalah kunci. Kunci untuk membuka rahasia yang selama ini dijaga oleh dunia roh dan manusia. Itu sebabnya aku ada di sini, untuk melindungimu. Dan cincin ini… adalah bukti dari ikatan itu.”
Aku menatap cincin di jariku dengan perasaan campur aduk. Sebuah benda kecil yang tampak sederhana, tetapi ternyata memiliki arti begitu besar.
“Lalu… apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku bisa menjadi kunci? Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi…”
Kak Mahesa tersenyum, lembut kali ini, ingin menenangkanku. “Kamu tidak perlu khawatir sekarang. Yang perlu kamu lakukan hanyalah melanjutkan hidupmu seperti biasa. Tapi ingat, jangan pernah melepas cincin itu, dan jangan terlalu banyak berhubungan dengan dunia roh. Saat waktunya tiba, kamu akan tahu apa yang harus dilakukan.”
Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku masih ada banyak pertanyaan.
“Kak Mahesa… kalau aku benar-benar kunci seperti yang Kakak katakan, apakah itu artinya aku dalam bahaya?”
Dia terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada yang lembut namun tegas. “Selama aku di sini, kamu tidak perlu takut. Aku akan memastikan tidak ada yang menyakitimu.”
Ucapan itu seharusnya membuatku merasa tenang, tetapi entah kenapa aku justru merasa beban yang sangat besar tengah menantiku di masa depan.
“Kamu harus tidur sekarang, Lintang. Besok adalah hari baru,” katanya, membelai rambutku sekali lagi sebelum berbalik untuk pergi.
“Tunggu,” panggilku spontan. “Kakak… apakah aku akan selalu bisa melihatmu?”
Dia menoleh, senyumnya kembali bermain di sudut bibirnya. “Tentu saja. Aku akan selalu ada untukmu, kapan pun kamu membutuhkan.”
Dengan itu, tubuhnya perlahan memudar, meninggalkan ruangan yang kini kembali sepi. Namun, kehadirannya tetap terasa, seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar hilang.
Aku menatap cincin merah di jariku sekali lagi, mencoba memahami arti dari semua ini. Meski merasa takut, ada sesuatu dalam diriku yang mulai menerima bahwa hidupku memang tidak akan pernah sama lagi.