Apa yang harus aku lakukan! Aku takut dan sangat takut, tapi aku ingin hidup. Dengan mengendap-endap, aku mencoba untuk masuk ke dalam kamar. Namun, semua kosong tak ada siapa pun di dalam dan aku buru-buru menutup pintu kamar dan berlari ke ranjang.
Di sudut ranjang aku duduk meringkuk dengan tanganku memeluk erat kedua kakiku. Hanya bisa menundukkan kepala karena takut jika saja suamiku datang dengan wujud yang mengerikan. Dalam pikiranku hantu itu sangat menyeramkan, tapi aku butuh bantuannya untuk menolong hidupku. Beberapa menit kemudian, aku pun merasakan ada suara kaki berjalan menuju kamar dan perlahan aku pun membuka mata.
Aneh, bukankah barusan aku duduk di ujung ranjang. Lalu, sejak kapan aku bisa terbaring di ranjang ini. Pandanganku mengedar ke seluruh ruangan sambil berpikir sudah berapa lama aku tertidur, hingga sebuah ndaru berwarna biru datang di hadapanku.
Sontak aku terkaget dan terdiam kaku.Tubuhku seakan mati, tulang persendian seakan sulit untuk digerakkan. Mungkinkah ini yang dinamakan tindihan. Segala ucapan doa aku panjatkan agar terbebas dari makhluk yang datang menghampiri.
Bulik Dar pernah bercerita mengenai ndaru, sebuah cahaya yang menyerupai bola api jika berwarna merah itu adalah makhluk jahat yang terkadang digunakan untuk mengirim santet. Ndaru itu mendekat dan perlahan terlihat memudar dengan disertai sebuah bayangan hitam.
“Siapa kamu? Hantu ataukah manusia!” teriakku bertanya hingga cahaya ndaru benar-benar menghilang dan memperlihatkan seorang pria dengan mengenakan kemeja dan celana berwarna hitam berdiri di sampingku.
Sontak, aku duduk beringsut sembari menatap wajahnya yang tampan. Dia tersenyum dan menatapku dengan begitu indahnya hingga membuatku beberapa kali menelan ludah.
“Kamu pasti menungguku bukan, istri kecilku!” Aku terkesiap menatapnya sembari membatin inikah suamiku yang katanya hantu itu.
“Aku bukan hantu, aku juga manusia sama sepertimu. Hanya saja aku berbeda alam denganmu!” ucapnya yang membuatku semakin ketakutan karena dia bisa membaca isi hatiku.
Jantungku berdebar dua kali lebih cepat mendengar suaranya yang begitu lembut terdengar. Meskipun dia terlihat tampan tetap saja untuk anak berusia sepuluh tahun tentunya masih merasa ketakutan. Apa arti pernikahan pun aku juga belum tahu saat itu.
“Apakah kamu benar So-soca Ludira, suamiku?” tanyaku dengan nada terbata-bata.
“Mendekatlah!” ucapnya dengan menjulurkan tangannya.
Tanganku terus menggenggam ingin merengkuhnya, tapi aku takut jika dia tak bisa tersentuh. “Kemarilah, jangan takut,” ucapnya lagi.
Perlahan aku membuka kepalan tangan kananku dan mencoba menyentuhnya dengan satu jari telunjuk. Sangat nyata. Dia benar-benar bisa aku sentuh. Pria itu tersenyum dan membuatku semakin berani untuk mendekat.
Aku pun duduk di tepian ranjang dengan patuh dan memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seakan tak percaya suamiku yang seperti hantu memiliki wajah normal seperti manusia lainnya.
Pria itu mendekat tepat di depan wajah mungilku, perlahan aku mencoba menyentuh wajahnya. Pipinya dingin seakan tidak ada darah yang mengalir di tubuhnya.
“Kenapa melihatku seperti itu! Apakah karena aku terlalu tampan sampai kamu tidak percaya denganku,” ucapnya dengan tersenyum.
“Tentu saja aku takut! Karena hantu bisa mengubah wujudnya jadi apa pun yang dia mau!” seruku dengan nada takut.
Pria itu tersenyum dengan tangannya kembali meraih tanganku yang kiri, senyuman yang begitu dalam dan penuh arti. Sorot matanya yang intens membuatku tak berkedip sama sekali kala itu.
“Sudah lama aku menunggumu pengantin kecilku. Rinduku kini telah bertuan. Aku akan menjagamu dan ketika usiamu sudah menginjak usia delapan belas tahun aku akan menyelesaikan pernikahan ini dan menyelesaikan tanggung jawabku sebagai seorang suami.”
“Apa maksudnya aku tidak paham sama sekali!”
Dia hanya tersenyum sembari terus menatapku. “Tidak apa-apa istri kecilku. Kamu akan tahu jika kamu dewasa nanti.”
Takut, tentu saja aku takut. Akan tetapi, entah kenapa tiba-tiba rasa takut itu hilang dengan sendirinya. Dia seakan menyihirku agar aku tidak merasa ketakutan. Aku terpana dengan wajahnya, rinduku akan sosok ayah yang tidak pernah aku jumpai selama ini, membuat hidupku seakan lebih lengkap. Pria dewasa ini mungkin lebih cocok menjadi ayahku.
Pria beralis hitam dan tebal itu mengambil sesuatu dari jari manisnya dengan cepat ia pun meraih kembali tangan kananku dan memberikan sebuah cincin di jari manisku. Cincin dengan batu berwarna merah itu memiliki ring yang besar dan tiba-tiba saja cincin itu mengecil menyesuaikan jariku.
“Cincin ini adalah nyawaku dan benda ini akan melindungimu. Jagalah baik-baik.” Aku pun mencincingkan mata dan menatap heran. Bagaimana bisa sebuah cincin bisa melindungiku.
“Kakak aku harus memanggilmu siapa?” tanyaku.
“Panggil saja aku Mahesa. Dan aku akan datang jika kamu memanggilku dengan penuh kasih sayang.”
Kami pun tak berbincang lama karena dia membaringkan tubuhku di ranjang. “Tidurlah yang nyenyak, aku akan menjagamu!”
Sekujur tubuhku tiba-tiba bergidik ketika dia menatapku dengan tersenyum tepat di atas wajahku. Aku tidak mengenalnya sama sekali, dan tiba-tiba dia datang mengaku sebagai suamiku. Beberapa kali aku menggigit kecil bibirku sendiri karena takut dengan tatapan Mahesa yang tak hentinya menatapku.
Dan ketika dia mendekatkan bibirnya di dahiku aku pun memejamkan mata dan sontak menoleh ke kiri menolak. Masih dengan tubuh yang tegang aku memejamkan mata. Tak ada suara dan pergerakan lainnya, aku pun perlahan membuka mata dan sosok Mahesa menghilang begitu saja.
Suara Bulik memanggilku dengan begitu jelas hingga membuatku yang tertidur membuka mata secara perlahan-lahan, seketika Jantung ini rasanya ingin lepas ketika aku melihat di jari tangan kananku terdapat cincin batu permata merah.
Apakah ini nyata? Apakah benar mimpi semalam adalah kenyataan. Aku terus bertanya dalam hati, hingga Bulik yang memanggilku sedari tadi mengetuk pintu kamarku.
“Maaf, Bulik! Aku terlalu nyenyak tidur.” Aku berlari untuk membuka knop pintu dan sesaat menatap Bulik yang justru tersenyum manis.
“Dari mana kamu dapat cincin itu?” tanya Wentira yang ternyata datang bersama Bulik.
“Semalam aku mimpi, paman! Ada seseorang yang datang dia bilang kalau suamiku dan memberikan aku cincin ini. Padahal semalam itu hanya mimpi, tapi bagaimana bisa ada di jariku!” Wentira tak menjawab hanya tersenyum dan menepuk bahuku sambil berpamitan.
“Lintang kamu harus jaga baik-baik cincin ini, sampai usia kamu delapan belas tahun. Kamu harus menjaga baik-baik hubungan kalian. Ingat kelak kamu tidak boleh jatuh cinta dengan pria lain karena kamu telah menjadi istri orang.” Wejangan Bulik hanya aku jawab dengan anggukan dan berpamitan untuk pulang ke rumah.
Aku kembali ke rumah Bulik untuk mandi dan membersihkan riasan wajah. Melihat wajahku dari cermin aku menatap takut pada diriku sendiri. Kenapa hidupku begitu mengerikan, ada rasa malu bersarang di otakku. Bagaimana bisa aku menikah diusia muda?
Andaikan aku bisa bermain dengan teman-teman, mungkin hidupku tak akan menyedihkan seperti ini.