Malam Pengantin

1085 Kata
Beberapa hari kemudian, aku melihat sembilan roh kembali berdiri di depan rumah. Wajah mereka mengerikan, seringai tajam mereka seakan menusuk langsung ke dadaku. Ketakutan itu bertambah saat aku tertidur dan sesosok hantu wanita muncul, mencoba mengambil alih tubuhku. Padahal, penangkal yang ditanam di sekitar rumah seharusnya melindungi kami. Namun, entah bagaimana, mereka tetap berhasil menerobosnya. Aku berlari ke arah Bulik, mencari perlindungan dan meminta kepastian tentang kakak laki-laki yang dijanjikan untuk melindungiku. Sepanjang malam, aku tidak berani menjauh dari Bulik. Bayangan wajah mereka terus terlintas, membuat bulu kudukku meremang. Aku hanya bisa menunggu fajar dengan napas tertahan. Keesokan harinya, Bulik mengajakku ke pasar. Ia membelikan pakaian pengantin Jawa berwarna hitam beserta perlengkapan lainnya. Baju itu pas di tubuhku, begitu indah dan penuh makna. Namun, rasa gelisah tak pernah benar-benar hilang. Siapa sebenarnya pria bernama Soca Ludira, yang akan menjadi pengantinku? Bulik mempersiapkan segala kebutuhan untuk pernikahan, dibantu oleh Wentira. Rumah kecil di seberang rumah kami dihias dengan dekorasi serba putih, lengkap dengan taburan bunga mawar merah dan putih yang melimpah. Kursi dan meja tertata rapi, kain putih menutupi semuanya, menciptakan kesan suci namun sunyi. Siang harinya, aku berdiri dengan jarik, roncean bunga melati menutupi dadaku. Sementara itu, Bulik sibuk menyiapkan sajian untuk para tamu, yang ternyata bukan manusia. Mereka adalah makhluk halus yang berkeliaran di desa, termasuk Danyang, penjaga Desa Cangkiran. Dekat gerbang, Wentira menyalakan dupa dan menyebar garam kasar ke segala penjuru, lalu menutup pohon ringin dengan kain putih. Awan hitam mulai berarak, angin dingin bertiup kencang, membuat kain dekorasi beterbangan. Saat ritual dimulai, aku duduk di kursi kecil dengan rambut tergerai. Bulik membasuh wajahku dengan air bunga mawar dari kwali emas, membaca mantra sambil menekan ibu jarinya di antara kedua alisku. Sakit menusuk, tapi aku hanya bisa pasrah. Setelah itu, ia memakaikanku pakaian pengantin lengkap dengan sanggul dan hiasan pentul tujuh di rambutku. “Apa pun yang terjadi, kamu tidak boleh lari. Kamu harus siap melihat semua tamu yang datang hingga upacara selesai,” kata Bulik sambil menyeka air matanya. Ketika aku kembali ke panggung, tamu-tamu gaib mulai berdatangan. Mereka terlihat menikmati perjamuan yang disiapkan. Namun, aku hanya terpaku, memandangi langit yang gelap dengan matahari merah membara di atas kepala. Pernikahan berlangsung, tetapi suamiku, Soca Ludira, tidak muncul. Wajah Wentira dan Bulik menampakkan kekecewaan. “Sepertinya dia tidak datang,” keluh Bulik. “Padahal, semuanya sudah disiapkan.” Aku menatap mereka, bingung sekaligus takut. “Kenapa kakak penyelamatku tidak datang?” tanyaku dengan suara bergetar. Wentira menjawab dengan berat hati, “Karena suamimu bukan manusia biasa. Dia setengah manusia, setengah roh, yang telah moksa dan tinggal di alam lain.” Aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Tubuhku lemas, dan aku dibawa masuk ke rumah. Bulik mengganti pakaianku dengan piyama baru, lalu mengunci pintu dan meninggalkanku sendirian. Malam itu terasa begitu panjang. Suara angin dan binatang malam terdengar kembali, membuatku merinding. Ketika aku hendak menutup jendela yang terbuka tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan sendirinya. Ketakutanku memuncak. Aku ingin berlari ke rumah Bulik, tetapi teringat pesannya untuk tidak meninggalkan rumah. “Bulik... Lintang takut sendirian,” isakku sambil berdoa dalam hati. Bayangan hitam melintas cepat, masuk ke kamar. Aku hanya bisa menahan napas, berdoa agar malam ini segera berakhir. Angin bertiup semakin kencang, pintu kamar yang tadinya tertutup kini terbuka lebar, membuat suara decitnya memecah kesunyian. Aku berdiri terpaku di depan jendela yang separuh terbuka, tidak berani bergerak. Tubuhku gemetar hebat, dan udara dingin menusuk kulitku. Tiba-tiba, ada langkah kaki pelan terdengar mendekat dari arah pintu. Langkah itu berat, seperti menyeret sesuatu. Aku menahan napas, takut menoleh. “Bulik… tolong aku…” gumamku dengan suara hampir tak terdengar. Namun, hanya angin yang menjawab. Langkah itu berhenti tepat di belakangku. Suasana begitu hening hingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Rasanya seperti waktu membeku. “Lintang…” Suara itu berat dan parau, terdengar seperti berasal dari dua arah sekaligus. Aku tersentak, tubuhku kaku. Aku ingin berlari, tapi kakiku seperti terpaku di lantai. Aku beranikan diri melirik dari sudut mata. Namun, yang terlihat hanyalah bayangan hitam yang menjulang tinggi di belakangku, tanpa bentuk jelas. Bayangan itu seperti menghisap semua cahaya di sekitarnya, membuat ruangan yang sudah gelap menjadi semakin pekat. “Siapa… siapa kamu?” suaraku bergetar, hampir tidak keluar. Bayangan itu tidak menjawab, hanya bergerak mendekat perlahan. Udara di sekitarku semakin dingin, hingga membuat nafasku beruap seperti sedang berada di tengah salju. Aku merasakan sesuatu menyentuh pundakku, dingin seperti es, membuatku menjerit kecil. Aku memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Namun, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat, seolah berbisik di telingaku. “Kamu sudah menjadi milikku, Lintang…” Aku membuka mata, berharap bisa melihat siapa yang berbicara. Namun, hanya kegelapan yang menyelimutiku. Bayangan itu melangkah mundur, perlahan menghilang, menyatu dengan kegelapan kamar. Ketika aku berpikir semuanya selesai, pintu kamar tertutup keras dengan sendirinya, membuatku hampir terjatuh. Suara tawa kecil terdengar samar di kejauhan, seperti mengejekku. Malam itu terasa tak berujung. Aku tidak tidur sedikit pun, hanya duduk di sudut kamar dengan tubuh berselimut, berharap fajar segera tiba. Setiap suara kecil membuatku tersentak, membayangkan bayangan hitam itu kembali datang. Ketika akhirnya sinar matahari pertama menerobos jendela, aku menangis lega. Namun, di sudut kamar, aku melihat sesuatu yang membuat napasku tercekat—sebuah jejak kaki besar yang tertinggal di lantai, hitam seperti arang, dan terasa membara meskipun hanya dengan melihatnya. Soca Ludira memang datang. Namun, dia bukanlah penyelamat seperti yang dijanjikan. Dia adalah sesuatu yang lebih gelap dan jauh lebih menakutkan. Lintang duduk terpaku di sudut kamar, memeluk lututnya erat. Jejak kaki hitam itu tampak begitu nyata, seperti menegaskan bahwa kehadiran Soca Ludira bukan sekadar ilusi atau mimpi buruk. Tubuhnya masih bergetar, dan napasnya pendek-pendek. Fajar menyingsing perlahan, cahayanya masuk melalui celah jendela, membuat bayangan di kamar sedikit memudar. Namun, kehangatan matahari tidak menghapus rasa dingin yang merayap di tubuhnya. Setiap kali ia memalingkan pandangannya, jejak kaki hitam itu seakan masih membara, memanggilnya untuk menghadapi kenyataan bahwa malam itu bukanlah yang terakhir. Ketukan pintu depan membuyarkan lamunannya. “Lintang! Lintang, kamu baik-baik saja?” Itu suara Bulik. Lintang tergesa-gesa berdiri, meski lututnya lemas. Ia berlari ke pintu depan, membukanya dengan tergesa-gesa. Begitu melihat wajah Bulik, ia langsung memeluknya erat, menangis tanpa henti. “Bulik… dia datang… dia ada di kamar!” serunya dengan suara yang serak. Bulik mengerutkan kening, memandang Lintang dengan wajah khawatir. “Apa maksudmu? Soca Ludira?” Lintang mengangguk, lalu menarik tangan Bulik masuk ke kamar. Ia menunjuk jejak kaki hitam di lantai yang kini tampak lebih samar, seperti mulai memudar. Namun, tanda itu masih cukup jelas untuk membuat Bulik tertegun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN