Kuburan

1682 Kata
Satu Minggu setelah hari pernikahanku, si Gembul tetangga yang tak jauh dari rumahku menghampiri bersama dua teman yang lainnya. Tak ada hujan, tumben mereka mau menemuiku. “Lintang, ayo ikut nonton reog di lapangan. Kamu gak mau tah kaya yang lain bisa ke mana-mana, nanti aku belikan kamu sosis bakar yang lagi rame itu,” ajak Gembul. Tawaran itu sangat menggiurkan, tapi aku takut karena Bulik tidak ada di rumah. Namun, gembul, Zaki dan ferry terus saja mendorongku agar aku mau mengikuti mereka. Dari jauh aku melihat Dwi datang sendirian sembari membawa kuda lumping menuju halaman rumahku. Dia hanya bisa tersenyum sendiri tanpa tahu bahaya sedang mengancamnya. Gembul dan Zaki mereka selalu saja usil jika melihat Dwi, sedangkan Ferry sebenarnya termasuk anak pendiam. Entah mengapa dia bisa bergabung dengan Gembul. “Nah, kebetulan si i***t datang. Kita ajak sekalian nonton reog,” seru Gembul. “Sini kasih ke aku kuda lumpingnya!” sahut Zaki, merampas kuda lumping milik Dwi. “I-itu mainanku Lintang,” kata Dwi seperti meminta pertolonganku. Dwi hanya bisa merengek layaknya anak kecil denganku. “Kembalikan! Itu bukan mainan kalian!” seruku pada Zaki. Namun, lagi-lagi gembul menarik bajuku dan membuatku hampir terjatuh. “Kalau mau kuda jelek ini dikembalikan kamu harus ikut denganku.” Gembul, si gendut yang tubuhnya penuh lemak itu merasa paling jago di kampung, bahkan anak usia di atas Gembul saja masih ada yang takut dengan anak itu. Terpaksa aku mengikuti keinginan mereka karena tak tahan mendengar Dwi yang merengek terus. Kuda lumping itu pun mereka kembalikan, tentu saja dengan melempar begitu saja ke tanah. Aku menengok ke belakang melihat Dwi yang terlihat bahagia bisa bermain dengan kuda lumpingnya, sebelum akhirnya aku mengikuti Gembul dengan yang lainnya dan meninggalkan Dwi sendirian. Setibanya di lapangan hari telah menjelang sore, masih saja banyak penonton yang menikmati acara itu. Padahal dalam permainan reog kalau menjelang usai akan banyak dari para pemain atau pun penonton yang akan kesurupan. Para pemain yang masih muda-muda itu sedang menikmati tarian, berlenggak-lenggok sambil mengincar para penonton yang akan diajak menari bersama mereka. Penonton yang dipilih pun adalah mereka yang biasa diikuti para makhluk halus. Sebenarnya pemain yang sedang kesurupan itu sedang mengajak temannya yang sedang mendampingi atau mengikuti tuannya yang sedang menonton untuk berpesta bersama mereka. Ada rasa takut, jika saja aku juga akan kesurupan seperti mereka. “Katanya kamu bisa lihat hantu! Coba kamu lihat mereka yang kesurupan itu, wujud hantunya apa saja.” “Aku tidak bisa melihat!” ucapku. Tentu saja aku tak melihat karena jimat yang ada di rambutku ini telah menutupi penglihatan ghaibku. “Ah kamu bohong! Coba kamu lihat lagi!” Giliran Zaki memintaku untuk melihat para pemain. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, karena aku memang tidak melihat wujud mereka, itu semua karena jimat yang diberikan Wentira. Tiba-tiba saja salah seorang pemain berlari ke arah kami. Sontak aku pun ketakutan dan mencoba untuk lari. Namun, lagi-lagi Gembul dan Ferry menghadang dan aku hanya bisa pasrah. Jari-jariku gemetar dan aku hanya bisa menutup mata karena ketakutan. “Lari!” Hanya kata itu yang aku dengar dari mulut Gembul. Perlahan aku membuka dengan mencicingkan mata. Benar saja Gembul, Ferry dan Zaki telah lari meninggalkanku. Pemain reog itu pun semakin dekat dan kakiku terasa kaku, aku tak bisa berlari karena ketakutan. Terpaksa aku pun menjerit. Namun, kenapa pemain reog itu tidak menabrakku? Perlahan aku pun membuka mata kembali. Anehnya, beberapa pemain reog itu justru duduk bersila dan menyembahku. Begitu pula dengan Dwi yang ternyata berada di antara para pemain reog itu. Pandanganku pun mengedar, mungkin hampir semua orang menatapku aneh. Hingga beberapa saat, segerombolan orang yang mengobati pemain reog datang dan membawa mereka kembali ke lapangan dan hanya tersisa Dwi yang masih senyam-senyum sembari menyembahku. “Dwi, ayo pergi. Sudah hampir Maghrib,” ajakku. Kami berdua pun berjalan dan setibanya di Makam Praloyo, Gembul bersama Ferri dan Zaki kembali menghadang kami. Ah, sial sekali pikirku. “Aku yakin kamu bisa melihat hantu. Sekarang buktikan padaku kalau kamu bisa melihat hantu,” kata Gembul. “Sudah kubilang aku gak bisa lihat hantu!” “Jangan bohong kamu! Faktanya tadi para pemain reog saja menyembah kamu,” sahut Zaki menimpali. “Sekarang juga buktikan!” seru Gembul dengan menghentakkan kayu yang dia bawa ke tanah. Laki-laki gendut itu terus memaksaku, tapi aku tetap pada pendirianku bahwa tidak akan berurusan dengan hantu, seperti yang dikatakan Bulik. “Kalau aku bilang tidak mau, ya, tidak mau. Tidak tahu apa sekarang sudah petang. Lebih baik kita pulang saja.” “Baiklah kalau kamu gak mau. Kalau anak i***t ini pasti mau, bukankah begitu Dwi!” Dwi hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. Dia selalu saja begitu, patuh dan tak pernah menolak. “Dwi, jangan! Lebih baik kita pulang,” ucapku menggandeng tangannya. “Kamu mau gak ini permen!” Gembul memberikan permen itu kepada Dwi, tapi saat temanku itu mau meraihnya, Gembul menarik lagi permen itu. “Kalau kamu mau ada syaratnya! Pergilah ke makam itu, di sana ada makam yang baru saja dibongkar. Katanya ada banyak kunang-kunang dan batu permata berwarna merah di sana. Pergi! Dan ambilkan batu itu ke sini!” perintah Gembul. Belum sempat aku meraih tangannya, Dwi sudah berlari masuk ke dalam makam. “Kalian ini jahat sekali!” “Jahat! Siapa yang jahat? Yang jahat itu kamu, karena gak mau masuk jadinya si i***t yang mengganti kamu." Mungkin jika reog tadi aku masih sanggup untuk melihat. Namun, kalau disuruh masuk ke dalam pemakaman, terus terang nyaliku pun menciut. Aura di pemakaman yang katanya angker ini sangatlah kuat, bisa saja membuatku pingsan nantinya. “Kenapa kamu masih diam berdiri. Yakin kamu tidak mau masuk mencari Dwi. Kalau ada kenapa-kenapa dengan anak itu, kamu yang harus tanggung jawab,” ucap Gembul tertawa. “Aku! Kenapa bisa aku?” tanyaku sembari berkacak pinggang. “Tentu saja kamu, Lintang. Anak itu masuk ke kuburan hanya untuk menggantikan kamu saja,” tawa pun membuat suasana pemakaman yang sepi menjadi ramai. Tanpa berpikir panjang, aku pun melangkah ke pemakaman mencari Dwi. “Tunggu!” panggil anak gendut itu lagi. “Apalagi! Masih kurang kamu ngerjain Dwi?” tanyaku kesal. “Ambilah senter ini untuk penerangan,” ujar Gembul. Melihat pemakaman yang luas dan begitu gelap, aku pun menerima pemberian gembul. Ternyata aku tidak masuk sendirian, ketiga anak nakal itu ikut mengekor di belakangku. Suasana begitu dingin kerena desa kami berada di bawah kaki Gunung Ungaran dengan banyaknya pohon karet di sekitar. Beberapa kali aku mengusap tanganku, untuk memberikan energi panas agar aku tidak mengigil kedinginan, sambil memanggil nama Dwi. “Dwi ... Dwi ...Dwi!” panggilku berteriak memanggil namanya. Namun, tak ada jawaban dan hanya suara binatang malam yang terdengar begitu nyaring. Tuhan, jangan pertemukan aku dengan mereka yang tak terlihat, gumamku. Tak ada jejak Dwi, hingga membuatku menangis. “Kenapa berhenti?” tanyaku. "Lihat Lintang ada bola api di sana!” tunjuk Ferry yang diikuti anggukan Gembul dan Zaki. Aku tak dapat melihat bola api itu, karena mungkin jimat pemberian Wentira yang menghalangi pandangan. Penasaran akhirnya aku pun membuka sejenak penjepit rambutku. Dan benar saja ternyata itu adalah Banaspati. Kami pun berlarian dan bola itu terus saja mengejar. “Jangan lari, berhenti dan jongkok!” perintahku. Kami semua berhenti dengan berpelukan, hingga bola api itu pergi menjauhi kami. Ada perasaan lega dan aku pun kembali menjepitkan pita rambutku. Namun, aku tersandung dan hampir terjatuh ke sebuah lubang yang berada di tepi makam. Beruntung, Ferry menangkap tanganku. “Jangan lepaskan!” pintaku menggenggam erat tangan Ferry. Namun, tubuh Ferry yang kurus tak mampu menarik tubuhku yang hampir terjatuh. Sementara, Gembul yang ingin membantuku pun juga tak mampu untuk menarikku, dan akhirnya aku terjatuh. “Auw,” pekikku saat tubuh ini jatuh ke dasar. “Lintang! Kamu baik-baik saja, kan?” Suara Gembul bertanya. Aku hanya menatap ke atas, melihat Gembul, Ferri dan Zaki yang sedang memainkan senter ke arahku. “Kamu tunggu di sini, aku akan cari bantuan,” teriak Gembul. Namun, aneh di belakang mereka bertiga terlihat jelas sosok putih berdiri menatapku ke bawah seperti apa yang dilakukan oleh ketiga anak itu. Matanya yang hitam, wajahnya yang pucat membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Sosok pocong yang tinggi terlihat jelas di mataku, karena dalamnya kubangan yang seperti sumur ini hanya sekitar dua meter. Mereka bertiga pun berdiri, ketika menoleh mereka serentak berteriak ketakutan dan lari meninggalkanku sendirian, hanya senter saja yang terlempar ke tempatku. Setidaknya bisa kugunakan untuk penerangan. “Hay, jangan semua pergi!” teriakku. Aku hanya menghela napas kasar karena bersyukur, sosok pocong itu telah menghilang. Setelah tersadar ikatan rambutku tergerai dan jimat yang diberikan pun hilang. Aku pun dengan meraba-raba mencari keberadaan jimat itu. Namun, ketika menoleh lagi-lagi sosok pocong ada di hadapanku, bahkan hanya berjarak satu kilan tangan orang dewasa. Ingin rasanya senter yang ada di tanganku ini aku lempar, tapi apa daya seluruh tubuhku tiba-tiba kaku tak dapat bergerak. Melihat wajahnya yang rusak penuh dengan belatung hidup membuatku jijik hingga aku kencing di celana. Mau tak mau aku terus menatapnya, karena aku tidak bisa bergerak dari tempat ini. Sosok pocong itu menghilang, sesaat tubuhku pun lemas terkulai. Dan saat aku mengadah ke atas, banyak sosok yang telah menungguku di atas. Banyak macam rupa dan wujud membuatku hanya bisa menangis karena ketakutan. “Pergi! Jangan ganggu aku!” Seketika aku beringsut mundur dan mendapatkan sebuah kelapa yang sengaja aku ambil untuk melemparkan ke arah mereka. Sayangnya benda yang kukira kelapa itu tersenyum dan menatapku tajam. Hingga membuatku berteriak. “To-tolong,” seruku. Seketika angin berhembus dan semua sosok itu pun menghilang ketika melihat Mahesa datang. “Kakak!” seruku menangis sembari memeluknya. “Sudah jangan nangis! Ayo sekarang naik!” ucapnya dengan tubuh yang membungkuk. “Gimana caranya, Kak.” “Naiklah ke punggungku aku gendong di belakang.” Aku pun segera naik ke punggungnya dan Kak Mahesa, membawaku naik. Sambil berjalan dia mencoba menenangkan hatiku dan membawaku pulang ke rumah. Kak Mahesa hanya menggendongku hingga gerbang halaman rumah bulik yang cukup luas, lalu ia pun berpamitan. Mungkin saja, Kak Mahesa tidak bisa masuk karena jimat yang telah di pasang oleh Bulik Dar. “Ingat jangan dibuka lagi rambutnya!” ucapnya sambil berlalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN