Sore itu, matahari mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga yang hangat di cakrawala. Namun, langkahku terasa berat saat memasuki area pemakaman di ujung desa. Aku menatap nisan-nisan yang berjejer rapi, dihiasi bunga-bunga layu. Beberapa nisan memiliki dupa yang masih berasap tipis, menandakan ada yang baru saja datang berziarah.
Aku datang untuk mendoakan Ibu, seperti yang selalu Bulik pesankan. Sambil membawa bunga tabur dan sebotol air, aku menyusuri jalan setapak kecil yang dikelilingi pohon kamboja. Suasananya begitu hening, hanya terdengar gesekan daun yang diterpa angin.
Setelah selesai berdoa, aku duduk sejenak di samping nisan Ibu. "Bu, Lintang rindu..." bisikku pelan, menahan air mata yang hampir tumpah.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Aku menoleh, dan di sana berdiri seorang pria yang sangat kukenal: Dwi.
"Dwi?" panggilku, setengah terkejut melihatnya. Dia adalah teman masa kecilku yang sejak kecelakaan beberapa tahun lalu sulit berbicara dengan jelas. Namun, sore itu ada yang berbeda darinya. Dwi berdiri tegak, mengenakan pakaian rapi, dan menatapku dengan pandangan yang tajam.
"Lintang," jawabnya singkat, tapi dengan suara yang jernih dan tegas.
Aku tercengang. "Kamu... bisa bicara dengan jelas?" tanyaku penuh kebingungan.
Dwi tersenyum samar. "Aku selalu bisa bicara. Hanya saja, tidak semua orang bisa mendengarnya."
Jawabannya membuat bulu kudukku meremang. "Apa maksudmu, Dwi?"
Dia tidak menjawab langsung, hanya mengulurkan tangannya. "Ayo ikut aku. Ada yang ingin kubicarakan."
"Apa tidak bisa di sini saja?" tanyaku ragu.
Namun, Dwi hanya menggeleng pelan. "Tidak. Tempat ini terlalu ramai dengan... yang lain."
Aku tidak tahu apa yang dia maksud, tapi rasa penasaranku memaksaku untuk bangkit dan mengikutinya. Kami berjalan menyusuri pemakaman, menuju ke sudut yang lebih sepi. Semakin jauh kami melangkah, semakin terasa hawa dingin yang menusuk kulit.
"Dwi, kita mau ke mana? Ini terlalu jauh," tanyaku sambil memeluk tubuhku sendiri untuk mengusir rasa dingin.
Dia berhenti tiba-tiba, lalu menoleh padaku. "Lintang, kamu harus lebih berhati-hati."
Aku mengerutkan kening. "Maksudmu?"
Dia menatapku dengan serius. "Aku tahu tentang Mahesa."
Jantungku berdegup kencang. "Bagaimana kamu tahu tentang dia?"
Dwi tersenyum tipis, tapi kali ini ada kegetiran di wajahnya. "Dia bukan seperti yang kamu pikirkan, Lintang. Dia adalah sesuatu yang tidak seharusnya mendekatimu. Kamu harus menjaga dirimu, menjauh darinya kalau bisa."
Aku semakin bingung. "Tapi dia suamiku, Dwi. Apa yang bisa kulakukan?"
"Dia bukan suami yang seharusnya kau miliki," jawabnya tegas. "Ada alasan kenapa dunia manusia dan dunia mereka tidak boleh bercampur. Kau masih punya waktu untuk memutuskan."
Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi Dwi tiba-tiba menoleh ke belakang, seolah ada sesuatu yang mengawasi kami. Tatapannya menjadi gelisah.
"Kita harus pergi. Sekarang," ujarnya singkat.
"Jelaskan padaku apa maksudmu, Dwi. aku benar-benar tidak paham!"
Dwi terdiam tak mau menjawab semua pertanyaan yang aku berikan.
"Dwi, tunggu! Aku masih ingin tahu—"
Namun, sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, Dwi sudah melangkah cepat, meninggalkan aku sendirian.
Aku hanya bisa berdiri terpaku, menatap punggungnya yang perlahan menghilang di antara bayang-bayang pohon kamboja. Ada sesuatu yang aneh dari pertemuan ini, dan perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti ku.
Sambil memeluk tubuhku yang gemetar, aku berlari pulang, berharap Bulik ada di rumah untuk menenangkan hatiku yang semakin gelisah.
Malam hari kemudian, aku menelan ludah, tenggorokanku tercekat. Di depanku, sosok Kak Mahesa—atau siapa pun dia sebenarnya—tampak begitu nyata. Wajahnya tampan, senyumnya tenang, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Ketampanan yang aneh. Ada keindahan, tapi juga ada sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang.
"Apa yang Kakak lakukan di sini?" tanyaku gemetar, mencoba mengatur napas.
Dia tertawa kecil, suara tawa yang nyaris seperti bisikan. "Sayang, bukankah aku sudah bilang? Aku suamimu. Sudah seharusnya aku di sini untuk memastikan kamu aman. Apa kamu lupa janjimu?"
Janjiku? Dadaku bergemuruh, mencoba mengingat-ingat. Aku memang pernah berjanji sesuatu, tapi apa? Pikiran itu seperti kabur, seolah tertutup tirai tebal.
"Kakak, aku masih kecil. Perkawinan kita... itu hanya karena kutukan," jawabku sambil mencoba menjauhkan diri sedikit darinya.
Namun, Mahesa bergerak mendekat, tidak agresif, tapi ada otoritas dalam gerakannya. "Lintang, apa kamu tahu? Kutukan itu lebih dalam dari yang kamu kira. Apa kamu benar-benar berpikir aku menikahimu hanya karena itu? Tidak, Sayang. Aku menikahimu karena kamu ditakdirkan untukku."
Aku menggeleng, mataku berkaca-kaca. "Tapi aku manusia, Kak! Dan kamu... kamu hantu!" seruku dengan suara gemetar.
Mahesa terdiam, pandangannya sedikit melunak, tapi hanya sesaat. Ia lalu tersenyum lagi, kali ini lebih serius. "Lintang, manusia dan makhluk seperti aku memang berbeda. Tapi hubungan kita telah dicatat, bukan hanya di dunia ini, tapi di alam yang lebih tinggi. Takdir tak bisa kau lawan, Sayang. Kamu adalah milikku."
Hatiku semakin gelisah. Suaranya lembut, tapi ada sesuatu yang mengunci tubuhku dalam rasa takut. "Kakak, tolong pergi. Nanti kalau Bulik lihat bisa marah."
"Marah! Bukankah bulikmu yang sudah menumbalkanmu untukku." Lagi-lagi suara lirih kak Mahase membuat semua buku kudukku meremanh.
Mahesa mendesah pelan, lalu membelai rambutku dengan jari-jarinya yang terasa dingin. Sentuhannya membuatku bergidik. "Aku akan pergi, tapi ingat ini, Lintang, aku selalu mengawasimu. Jangan pernah membiarkan dirimu terluka. Jika ada yang menyakitimu, aku tidak akan diam."
Sebelum aku bisa membalas, angin dingin berembus keras. Tubuh Mahesa memudar perlahan, seperti debu yang terhempas angin. Hanya sekejap, dan dia sudah lenyap. Aku mengusap wajahku, napasku tersengal-sengal.
Namun, sebelum aku bisa mengatur pikiranku, suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Bulik muncul dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Lintang, ada apa? Kamu teriak-teriak?" tanyanya dengan napas terburu-buru.
Aku tergagap, tidak tahu harus berkata apa. "Ti-tidak, Bulik. Aku hanya bermimpi buruk," jawabku akhirnya.
Bulik memandangku dengan tajam, seolah tahu aku menyembunyikan sesuatu. Tapi dia memilih untuk tidak mendesak. "Sudahlah, kalau begitu tidur lagi. Jangan lupa berdoa, Nduk. Dunia ini penuh dengan hal-hal yang tidak bisa kita lihat."
Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku belum tenang. Setelah Bulik keluar, aku kembali berbaring, tapi mataku tidak bisa terpejam. Wajah Mahesa terus terbayang di pikiranku, bersama kata-kata terakhirnya: Kamu adalah milikku.
Pikiranku berputar. Siapa sebenarnya Mahesa? Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Dan yang lebih penting, bagaimana aku bisa terbebas dari semua ini?
Di luar, anjing-anjing kembali menggonggong. Tapi kali ini, aku yakin gonggongan mereka bukan tanpa alasan. Entah apa yang sedang mengawasi rumahku, tapi aku tahu, malam ini aku tidak sendiri.